tirto.id - Ibu menggorok anak kandung di Brebes viral di media sosial seperti Twitter hingga Instagram. Bahkan pada Senin (21/3/2022) kasus ibu bunuh anak kandung di Brebes menjadi salah satu trending topik di Google Trends.
Kronologi kasus ibu bunuh anak kandung di Brebes ini terjadi pada Minggu (20/3/2022). Sekitar pukul 04.30 WIB, bibi pelaku mendengar adanya teriakan dari dalam kamar yang ditempati oleh terduga pelaku KU (35 tahun) bersama ketiga anaknya.
Mendengar teriakan, bibi pelaku lantas berusaha membuka pintu kamar, tetapi pintu dalam keadaan terkunci dari dalam. Lantas karena panik, bibi pelaku berteriak minta tolong.
Tidak lama kemudian, ada seorang warga atas nama Irwan (46) datang ke lokasi dan keduanya berusaha membuka paksa pintu menggunakan palu.
Saat pintu kamar sudah berhasil dibuka, anak kedua KU sudah meninggal dengan luka di leher, anak perempuan pertama berusia 10 tahun, terluka pada bagian dada, dan anak ketiga laki-laki berusia 4,5 tahun, terluka pada bagian leher.
Dalam video yang ramai beredar di media sosial, KU yang menggorok tiga anak kandungnya berdalih ingin menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sengsara seperti yang ia alami.
Selain itu, terdengar pelaku juga mengatakan bahwa suaminya sering kali menganggur dan tak memiliki pekerjaan tetap.
"Suami saya sering nganggur, saya nggak sanggup kalau kontraknya habis terus dia nganggur lagi," kata KU dalam video itu.
Sehingga ia ingin menyelamatkan anaknya agar tidak merasakan hidup sengsara seperti dirinya.
"Menyelamatkan anak biar nggak hidup susah, dibentak-bentak, bingung hidup di mana, mending mati aja," katanya.
Tanggapan psikolog dan bagaimana sebaiknya kita bersikap?
Sylvi Dewajani, psikolog yang juga Ketua KPAI Jogja mengatakan bahwa kasus serupa seperti KU sudah beberapa kali ia temui. Menurutnya, biasanya kasus ibu yang membunuh anak dengan alasan ingin menyelamatkan anak dari penderitaan diawali dari tekanan dan stressor yang berat.
"Kasus-kasus seperti ini kan diawali dari tekanan dan stressor yang berat, biasanya di Indonesia karena kasus ekonomi. Karena resiliensi (atau) daya lenting terhadap tekanan dan kesulitan, sehingga tetap bisa kuat dan adaptif di dalam tekanan ataur stres," kata Sylvi saat dihubungi redaksi Tirto.
"Sepertinya memang resiliensi sebagian besar dari masyarakat kita rendah, sehingga seringkali saat menghadapi kesengsaraan cenderung mencari jalan pintas," tambahnya.
Sylvi juga mengatakan, dalam kondisi COVID-19 ini hantaman ekonomi cukup besar, sehingga diperlukan resiliensi yang kuat juga.
"Resiliensi keluarga, pun demikian, di mana keluarga dapat saling menopang dan mendukung satu dengan yang lain untuk tetap kuat menghadapi tekanan bersama. Mendidik anak-anak, suami dan keluarga saling bekerjasama dalam menghadapi kesengsaraan sehingga muncul sistem dukungan sosial di keluarga," jelasnya.
Sylvi menjelaskan bahwa resiliensi terbangun sejak kecil. Ia menekankan bahwa keluarga yang berada atau kaya tidak jaminan akan kuat resiliensinya atau sebaliknya keluarga dengan status ekonomi sosial rendah juga dapat lebih kuat.
Resiliensi lebih pada bagaimana di dalam pola asuhnya, orang tua mengajarkan anak untuk tangguh pada tekanan dan tantangan, dalam berbagai kondisi.
Salah satu faktor yang dapat mendukung resiliensi adalah meningkatkan konsep diri dan harga diri anak di masa kecil. Anak diajak untuk dapat menghargai dan menggambarkan dirinya secara positif, bukan sebaliknya dilukai dengan kata-kata yang menghancurkan harga dirinya. Konsep diri dan harga diri yang kuat ini akan membuat anak tumbuh jadi orang yang optimis dan tangguh.
Selain itu, biasanya anak-anak juga diajari untuk mampu mengendalikan dorongan diri, agar tidak selalu mengumbar keinginan dan kemauan secara liar, diatur sesuai dengan kebutuhan utamanya, belajar menahan saat keinginan tidak selaras dengan kebutuhan, sambil belajar ekspresi emosi dan kematangannya. Semua ini perlu dilatih dalam pola asuh yang kuat.
Sedangkan dari kasus KU yang membunuh anaknya, berdasarkan berita yang Sylvi baca menurutnya juga karena KU sering mendapat kekerasan sejak kecil.
"Sedangkan dari kasus KU sepertinya memang dari kecil sering mendapat kekerasan dari orang tuanya, tentu saja yang begini akan menyebabkan resiliensinya menjadi lemah. Cenderung mengambil jalan singkat," katanya.
"Saat KU menyatakan membunuh anak-anak agar tidak menderita, ini fenomena bagaimana saat seseorang punya spiritual yang kuat, namun tidak dibarengi dengan penguatan mental (dalam hal ini resiliensi yang kuat juga)," tambahnya.
Sementara itu, saat Anda menemukan atau mengetahui tetangga, teman, maupun kerabat Anda mengalai masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental tak ada salahnya untuk membantunya.
Seperi menjadi pendengar atas masalah yang ia hadapi hingga menyarankan untuk mendapat bantuan ke psikolog yang bisa di akses dengan BPJS di puskesmas.
Hal terpenting dalam isu kesehatan mental ini adalah jangan pernah melakukan diagnosa sendiri. Sebab diagnosa hanya bisa dilakukan oleh tenaga profesional.
=================================
Catatan:Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, ingin membunuh orang terdekat seperti anak atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Editor: Iswara N Raditya