tirto.id - Setelah melahirkan, perempuan mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Mereka seakan ikut terlahir kembali sebagai “manusia baru” dengan berbagai tantangan, termasuk perubahan bentuk badan dan yang jarang disorot, tapisangat terasa berbeda: kemampuan mengingat.
Beberapa waktu lalu, saya tengah iseng menggulir lini masa Instagram hingga sebuah video menghentikan jelajah jemari saya. Isinya tentang seorang perempuan memarodikan kemampuan mengingat kalimat untuk diketik menggunakan perangkat lunak.
Situasi awal di dalam video menggambarkan ketangkasan perempuan tersebut ketika mengetik, tanpa perlu bolak balik melihat catatan. Latar waktu kemudian dengan cepat berubah pasca dia memiliki anak. Dia jadi terlihat kusut dan butuh waktu lama untuk mengetik lantaran harus berkali-kali menengok catatan.
Saat itulah saya merasa relate sekali. Sebelum punya anak, saya adalah tipe orang yang teratur, selalu meletakkan barang-barang di tempatnya dan mengingat banyak hal dalam satu waktu tanpa perlu repot-repot membuat catatan kecil atau menyetel alarm pengingat.
Setelah melahirkan setahun lalu, rasanya sudah tak terhitung berapa barang yang sudah saya hilangkan. Lalu dalamurusan berelasi, saya jadi lebih mudah lupa nama orang, meski baru beberapa detik berkenalan. Di bidang pekerjaan—yang butuh kemampuan merangkai kalimat, saya kehilangan dan sulit melafalkan beberapa diksi yang sebelumnya dikuasai.
Banyak perempuan ternyata mengalami gejala serupa pascamelahirkan. Saya tahu setelah membagikan kisah “kepikunan” ini pada beberapa teman dan kemudian membaca beberapa riset yang berkaitan. Fenomena ini lazim disebut mum-nesia,mummy brain, atau baby brain.
Pascamelahirkan, para ibu biasanya akan merasa sulit berkonsentrasi. Ingatannya kabur sehingga mudah lupa pada nama, kata, atau cerita, dan lidahnya sering terpeleset saat berbicara. Dirunut secara logika, penurunan fungsi kognitif tersebut kemungkinan berkaitan dengan gangguan tidur selama kehamilan dan pascamelahirkan.
Selama hamil, perempuan mengalami perubahan hormon dan bentuk tubuh yang membuat mereka sering muntah, sulit tidur karena rasa sesak atau terbakar di dada, dan sering buang air kecil di malam hari. Kurangnya waktu tidur ini terus berlanjut dan semakin parah di awal-awal kehidupan bayi. Para ibu jadi sering begadang karena harus memberi susu setiap 1-2 jam sekali.
Kelelahan dan kurang tidur sudah lama terbukti berkontribusi dalam penurunan fungsi otak. Jadi, kepikunan pascamelahirkan bukan bualan belaka. Fenomena ini nyata, seperti dibuktikan oleh studi terbitan Nature (2016). Peneliti membandingkan struktur otak perempuan sebelum dan sesudah melahirkan.
“Materi abu-abu di daerah otak yang berhubungan dengan kognisi sosial telah berkurang pada perempuan yang sudah pernah punya anak pertama,” tulis studi tersebut.
Pikun Menahun Pascamelahirkan
Para peneliti dalam studi tersebut mengukur perubahan otak menggunakan pencitraan resonansi magnetik. Kesimpulan penelitian itu mengaitkan kepikunan pascamelahirkan pada rasa sakit (saat melahirkan), prioritas (pada bayi yang baru lahir), serta kelelahan.
Kondisi lebih mudah lupa dianggap sebagai mekanisme pertahanan rasa sakit pada tubuh perempuan dari kerasnya proses persalinan. Selain menemukan pengurangan materi abu-abu, peneliti juga mendapati bagian otak lain yang menjadi lebih aktif saat responden diberi gambar bayi mereka.
“Ternyata kemampuan kognitif yang menurun digantikan oleh insting atau kemampuan otak lain untuk merawat bayi (prioritas),” tulis mereka.
Dengan kata lain, beberapa aspek halus dari memori dikorbankan untuk meningkatkan area kognisi lainnya. Mekanisme pengurangan sekaligus pengaktifan bagian otak serupa terjadi juga pada masa remaja. Sinapsis yang lemah hilang untuk memberi jalan bagi jaringan saraf yang lebih efisien dan khusus.
Jadi, seorang ibu baru akan jadi lebih mudah lupa, tapi insting mereka dalam merawat bayi akan semakin tajam. Kemampuan ini dianggap lebih berguna oleh otak, misalnyauntuk membantu ibu mengartikan tangis bayi dengan kebutuhan mereka atau mengidentifikasi bahaya di sekitar bayi. Perempuan yang kehilangan materi abu-abu paling banyak melaporkan hubungan paling hangat dengan bayi mereka.
Meski begitu, menjadi pikun mendadak tetap saja cukup merepotkan. Sayangnya, para ibu pun harus berdamai dengan kondisi ini bahkan sampai jangka waktu dua tahun pascamelahirkan. Guna meminimalisasi efek pelupa ini, ada beberapa tip umum yang bisa dilakukan.
Seperti wartakanlaman CNA Lifestyle, istirahat cukup memang diperlukan oleh para ibu baru untuk mengisi ulang energi tubuh dan otak. Kemudian, coba untuk banyak mengonsumsi makanan kaya antioksidan, seperti beri-berian. Selanjutnya, mulailah membuat catatan dan jadwal kegiatan rutin agar lebih terorganisasi.
Kembangkan relasi dengan bergabung pada forum atau grup ibu baru, ngobrol bersama keluarga, atau bersantai dengan menonton video dan “curhat” kepada teman. Yang terpenting dari semua itu adalah mulai memberi kelonggaran dan memaklumi kondisi diri sendiri. Pasalnya, kesehatan fisik dan mental ibu baru adalah prioritas.
Fokuslah pada gambaran besar dan kebaikan yang telah kita lakukan. Jangan terlalu keras dan menyalahkan diri sendiri atas kesalahan-kesalahan kecil.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi