tirto.id - Achmad Wiranatakusumah kena apes. Sekali waktu terdapat promes atau surat sanggup bayar yang memakai tandatangannya. Hal ini membuatnya diperiksa Kejaksaan Agung sebanyak tiga kali dalam rentang tahun 1995 hingga 1997. Peristiwa ini membuat nama baiknya mesti dipulihkan, meski tak mudah.
Sejak lama, Achmad sebetulnya adalah perwira yang secara kedinasan dekat dengan Soeharto, yakni sejak bertugas di Komando Tjadangan Stategis Angkatan Darat (Kostrad). Achmad adalah Kepala Staf Kostrad ketika Soeharto mulai menjadi panglima kesatuan tersebut pada awal dekade 1960-an. Namun, hal itu ternyata tak membantunya.
”Maklum pemalsu promes adalah Ibnu Hartomo, adik Siti Suhartinah atau Ibu Tien (alias Nyonya Soeharto),” tulis Aam Taram, RH Sastranegara, dan Iip D Yahya dalam Letjen TNI (Purn) Achmad Wiranatakusumah Komandan Siluman Merah (2019:157).
Saat itu, Presiden daripada Soeharto menempatkan Ibnu sebagai Deputi IV (sekjen) dari Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) Bidang Pengembangan, setelah sebelumnya menjabat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Sosial. Sementara Letnan Jenderal Achmad Wiranatakusumah menjadi Sekretaris Jenderal Wanhankamnas.
Seperti Achmad, Ibnu juga orang militer dengan pangkat Mayor Jenderal, setingkat di bawah Letnan Jenderal. Menurut Achmad, Ibnu jarang masuk kantor. Sepanjang bertugas di Wanhankamnas, ia hanya datang tujuh kali. Karena hal itulah menurut Aam Taram dan kawan-kawan, Ibnu ceroboh dalam memalsukan tanda tangan Achmad.
Saat kelakuannya terbongkar, Ibnu mencoba membela diri dengan mengatakan bahwa Promes itu dalam rangka mencari uang untuk membangun perumahan karyawan Wanhankamnas. Namun, Achmad menampik alasan tersebut.
”Waktu zaman saya, karyawan saya kasih rumah semua, mulai dari tukang sapu, tidak usah nyicil," ujar Achmad kepada Panji Masyarakat seperti dikutip Aam dkk.
Selain itu, Ibnu juga mengaku bahwa ada bunga bank dari pialang minyak Arab yang menganggur karena enggan memakan uang dari bunga bank. Uang itu hendak dimanfaatkan olehnya. Namun Achmad tak setuju.
Belakangan Ibnu bilang ia sudah dapat izin dari Presiden daripada Soeharto. Namun rupanya tanda tangan Achmad dipakai untuk mencairkan promes itu. Achmad baru tahu tanda tangannya dipakai setelah Endover Bank memberitahunya. Achmad kemudian melaporkan hal ini kepada Soeharto.
Menurut Tempo (08/02/1992), seperti dikutip Aam Taram dkk, Ibnu Hartomo rupanya terbuai ajakan Hassan AF Zubaidi, pemilik Zubaidi Trading Company, Beirut.
Proses hukum kasus pemalsuan tanda tangan ini tidak dilanjutkan. Pada tahun 1999, Ibnu mengatakan bahwa kasusnya itu sudah ditangani polisi dan konon ia terbukti tidak bersalah.
Mantan Anggota PETA Membuka Kasino di Batam
Ibnu Hartomo adalah adik Tien Soeharto. Menurut Probosutedjo dalam Saya dan Mas Harto (2010:364), Ibnu termasuk keluarga dekat Tien Soeharto yang pernah ikut tinggal di Jalan Agus Salim, Jakarta. Ia ikut menjaga anak-anak Soeharto.
Dalam dunia bisnis, Ibnu Hartomo pernah menjadi komisaris PT Asuransi Jiwa Pura Nusantara. Selain itu, menurut George Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan (2006:311), Ibnu yang pernah menjadi Direktur Jenderal Bantuan Sosial, pernah mencoba membuka kasino di Pulau Batam. Hal itu ia lakukan setelah beberapa tempat judi di Jakarta ditutup pada 1981 karena diprotes kelompok Islam. Namun, kasino di Batam itu dengan cepat ditutup.
Ibnu yang lahir di Surakarta pada 9 September 1926 itu pernah jadi anggota Pembela Tanah Air (PETA). Ia mengaku pernah dilatih di Solo dan Malang. Pada masa revolusi, ia turut bergerilya dan ikut serta dalam penumpasan PKI Madiun 1948. Dan pada masa revolusi juga ia menikah.
”Perkawinan kami dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 1947, sehingga pada perayaan selamatan perkawinan tersebut, ditandai dengan ditandatanganinya persetujuan Linggarjati (25 Maret 1947). Pada tanggal 20 November 1947, lahirlah putri kami yang pertama (beberapa waktu sebelum perundingan Renville),” tulis Ibnu Hartomo dalam Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan Jilid I (1995:245).
Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1988:130) dan terdapat pula dalam Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan Jilid I (1995:243), Ibnu belajar di sekolah dasar berbahasa Belanda Hollandsch Inlandsch School (HIS). Lalu melanjutkan SMP di Solo waktu zaman Jepang.
Harsya Bachtiar menambahkan, Ibnu memperoleh gelar doktor dalam filsafah (parapsikologi) dari Universitas John Dewey, New York, pada 23 November 1983. Ia juga pernah mengikuti kursus militer di Seskoad dan pelatihan di kementerian luar negeri. Ia pernah menjadi Kepala Bagian Umum Kedutaan Besar RI di Den Haag.
Tidak seperti kakak iparnya, Ibnu Hartomo tak dikenal sebagai komandan tempur. Namun, ia yang pendidikan akademisnya lebih tinggi dari Soeharto, mampu berkarir dengan baik di jabatan non tempur Angkatan Darat.
Pada 1960-an, ia sudah menjadi perwira menengah dengan pangkat kolonel. Meski bukan perwira yang menonjol, ia mampu berkarier sampai pangkat mayor jenderal.
Setelah Soeharto lengser, seperti dicatat George Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan (2006:80-81) Ibnu Hartomo mengorganisasi beberapa partai kecil yang didanai keluarga Cendana. Hal tersebut ia lakukan di rumahnya yang mewah di daerah Condet, Jakarta Selatan. Tiga di antara partai-partai kecil itu berhasil mendapat kursi di parlemen.
Editor: Irfan Teguh