tirto.id -
“Siapapun harus menjalankan salat jika mendengar suara azan,” ujar pemuka agama tersebut kepada jamaahnya.Dengan takut-takut Amir mengacungkan tangan, hendak bertanya.
“Ada apa?” jawab si pemuka agama kepada Amir.
“Bagaimana dengan saya?” tanya Amir.
“Bagaimana apanya?”
“Bagaimana dengan keadaan saya ini? Apakah saya juga kena kewajiban meski saya begini?” kata Amir lagi sambil menyentuh-nyentuh kedua matanya.
Yang dimaksud Amir adalah kedua matanya yang tidak bisa membedakan warna, memfilter cahaya, atau mendeteksi halangan di hadapannya. Artinya, Amir sudah buta sejak teriakan tangis pertamanya terdengar di dunia.
Dengan tersenyum si pemuka agama ini menyeru, “Apakah kamu mendengar seruan azan?” tanyanya.
“Ya, saya mendengarnya,” jawab Amir.
“Kalau begitu kewajiban ini pun juga membebani dirimu.”
Mendapatkan jawaban tersebut, beberapa dari kita akan beranggapan, di mana torelansi bagi orang buta? Namun, tidak dengan Amir. Baginya, kewajiban yang menyamakannya dengan manusia normal yang lain malah merupakan pujian dalam bentuk yang lain. Merupakan bentuk penghargaan bahwa dirinya sama normalnya dengan jamaah yang lain.
Pada akhirnya, hari demi hari, Amir selalu menunaikan salat. Tidak sekadar salat, Amir selalu menunaikan salat berjamaah dengan beberapa tetangganya. Tidak sekadar berjamaah, Amir melakukannya di masjid, di bagian tengah kota. Sendirian tanpa seseorang yang membantunya. Padahal rumah Amir cukup jauh dari masjid.
Tentu saja perjalanan dari rumahnya di pinggiran kota memakan waktu. Jangankan hafal rute menuju masjid dari rumahnya, mengetahui tanda arah masjid saja Amir tidak pernah tahu. Meski perjalanannya begitu sulit, Amir tidak pernah menyerah. Padahal ia melakukannya lima kali dalam sehari. Yang artinya melakukan perjalanan 10 kali untuk pulang-pergi dari rumahnya ke masjid.
Sampai suatu ketika, Amir terjatuh ketika akan menunaikan ibadah salat subuh di masjid. Terjatuh yang menyebabkan kepalanya sampai terbentur batu dan darah mengucur hebat dari kepalanya. Dalam keadaan seperti itu, bukannya kembali pulang atau menuju tabib, Amir malah tetap melanjutkan perjalanan panjangnya menuju masjid.
Begitu sampai dan menyelesaikan salat subuh, para jamaah pun terkejut mendapati keadaan Amir yang berjamaah di barisan belakang karena terlambat. Mereka segera mengobati Amir. Menanyakan kenapa tidak pulang saja dulu jika keadaan sudah separah itu.
Dengan enteng Amir menjawab, “Kewajiban ini sudah dibebankan kepadaku,” katanya. Setelah diobati, Amir pun kembali pulang.
Di waktu salat berikutnya, Amir jadi semakin berhati-hati menuju masjid, ia tahu bahwa jalanan kadang berbahaya. Tentu dia tidak ingin terjatuh untuk yang kedua kalinya.
Tiba-tiba Amir merasakan ada genggam tangan lembut seorang anak kecil di pergelangan tangannya. Menggenggam tangan Amir begitu erat lalu menariknya begitu cepat. Amir tidak tahu siapa anak kecil itu. Yang jelas sebelum tersadar siapa yang menariknya dan belum sempat bertanya, Amir tahu-tahu sudah sampai di masjid. Ia berjalan begitu cepatnya karena tak perlu lagi meraba-raba jalanan dengan tongkat.
Begitu sampai masjid, anak kecil ini cuma tertawa kecil dan mempersilakan Amir menuju masjid. “Siapa engkau, Nak?” kata Amir.
“Lain kali hati-hati ya, Kek?” kata anak kecil ini langsung pergi.
“Oh, iya, Nak, terima kasih, ya,” jawab Amir.
Baru hendak bertanya lagi, si anak sudah pergi. Amir pun ingin membalas kebaikan tersebut, namun apa daya, dirinya buta, tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengenali genggaman kecil dan suara si anak kecil tadi. Amir pun masuk ke masjid dan menjalankan salat berjamaah.
Keesokan harinya, ketika Amir keluar rumah menuju masjid, tiba-tiba tangannya digenggam oleh tekstur kulit telapak tangan yang sama. Dituntunnya Amir menuju masjid dalam kecepatan yang luar biasa. Bagi orang buta seperti Amir, berjalan cepat saja sudah mengerikan, apalagi ini, berlari di dalam kota yang begitu padat.
“Siapa sebenarnya dirimu, Nak? Kenapa engkau begitu baik kepadaku?” tanya si Amir lagi sesampainya di masjid.
“Kakek tidak perlu tahu siapa aku. Yang penting Kakek sampai masjid dengan selamat. Itu sudah membuatku senang,” kata suara yang begitu lembut dari si anak ini sambil berlalu begitu saja.
Dalam pikiran Amir, si anak ini harus dibalas dengan kebaikan serupa. Tapi bagaimana? Amir sadar dirinya bukan orang kaya, tapi paling tidak ia bisa memberikan sesuatu. Sepotong roti kering, misalnya.
Benar saja, di waktu salat berikutnya si Amir kembali sudah menanti di depan rumah. Memasrahkan tangannya. Tak berselang lama suara azan berkumandang, lagi-lagi tangannya digenggam oleh si anak kecil yang sudah Amir kenali benar.
Sesampainya di masjid, Amir langsung merogoh sakunya. Mencoba memberikan anak ini sepotong roti kering.
“Ini apa, Kek?” tanya si anak kecil.
“Itu buat kamu. Tanda terima kasihku untukmu, Nak,” kata Amir.
“Aku tidak butuh,” kata si anak kecil ini kembali pergi. Mendengarnya tentu saja Amir bingung. Atas dasar apa si anak ini terus membantunya menuju masjid?
“Lalu apa yang kamu butuhkan, Nak?” tanya Amir lagi.
Si anak ini awalnya bergeming lalu hendak pergi. “Yang aku butuhkan? Kakek tidak lagi terjatuh ketika menuju masjid.”
Tentu saja Amir semakin heran. Motif apa yang disampaikan si anak ini? Sama sekali tidak jelas dan malah membuat Amir curiga.
“Kalau kamu sebaik itu, kenapa setiap kali mengantarku ke masjid, kamu tidak pernah ikut ke dalam, Nak? Ikut salat bersamaku, berdoa bersamaku,” kata Amir.
Si anak diam.
“Apakah kamu seorang Yahudi?”
Anak ini masih terdiam.
“Kristen?”
Tak ada suara.
“Majusi?”
Masih bergeming.
“Apakah kamu Islam?” pertanyaan ini pun tidak di jawab si anak.
“Baiklah. Meski begitu, izinkan aku tahu siapa namamu. Paling tidak agar aku bisa mendoakan dirimu kepada Tuhanku,” kata Amir.
“Aku tidak butuh doamu, Wahai Amir! Jangan pernah sekalipun kau mendoakanku,” mendadak suara anak ini menjadi begitu besar dan terdengar seolah disuarakan di samping telinga Amir. Membuat Amir begitu tertekan dan merasa takut.
“Siapa kamu?” mendadak Amir tahu bahwa percakapan ini antara di dunia nyata dan tidak.
Suara itu kembali menghilang. “Kalau kamu tidak menyebutkan dirimu siapa? Aku akan mendoakan dirimu kepada Tuhanku,” ancam Amir.
“Ketahuilah putra dari Ummi Maktum, aku adalah iblis yang sedang menyesatkanmu,” kata suara ini.
Amir terkejut sampai hampir saja dirinya kena serangan jantung. Tapi Amir tahu, ini bisa jadi benar-benar iblis, atau sesuatu yang mengaku iblis. Lagipula jika memang sumber suara itu adalah iblis, lalu kenapa selama ini Amir justru selalu ditolong saat menuju masjid? Bukankah seharusnya yang terjadi adalah sebaliknya?
“Mengapa kamu menolongku?” tanya Amir.
“Masih ingat Amir? Beberapa hari lalu dirimu terjatuh dan kepalamu berdarah-darah begitu hebat?” kata suara tersebut. “Lalu bukannya kembali ke rumah, tapi kamu malah melanjutkan perjalanan ke masjid.”
Amir hanya bergeming kebingungan disertai perasaan takut.
“Karena itulah dosamu sepanjang hidupmu sudah dihapus oleh Tuhan separuhnya. Aku khawatir, jika kamu terjatuh lagi yang kedua kali, dosamu yang setengahnya lagi akan ikut terhapus,” kata sumber suara tersebut.
Amir mengerti sekarang.
“Jadi dengan begitu kamu terus menolongku menuju masjid selama ini?” kata Amir.
“Benar, menolongmu agar dosa-dosamu itu masih ada dalam dirimu,” kata sumber suara itu.
Hal yang kemudian diceritakan oleh Amir kepada Pemuka dan Penyeru Agama Islam Pertama Dunia di kota itu dan dibenarkan bahwa sosok yang selama ini mengantar Amir ke masjid memang benar-benar iblis.
Diinsipirasi dari kitab “Shuwar min Hayaatis Shahabah” karya Abdurrahman Ra’fat Basya. Merupakan cerita Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat Nabi Muhammad. Panggilan Amir berasal dari keluarga ayahnya yang merupakan seorang Kurdi. Di Madinah dipanggil Abdullah, di Mekah dipanggil Ibnu Ummi Maktum.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS