tirto.id - Kepala Sub Pertanahan dan Penataan Ruang Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Edison Siagian menilai tidak mudah untuk merelokasi jutaan penduduk yang saat ini bermukim di kawasan rawan longsor.
"Kalau pertanyaannya mengenai bagaimana relokasi. Saya balik bertanya, apakah mungkin merelokasi 40 juta orang?" Kata dia kepada reporter tirto pada Selasa (8/1/2019).
Pernyataan Edison menanggapi data rilisan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebut sekitar 40,9 juta jiwa di 274 kabupaten/kota di seluruh Indonesia bermukim di daerah rawan longsor. Wilayah rawan longsro itu mencakup sepanjang Bukit Barisan di Sumatera, Jawa bagian tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Edison menjelaskan, relokasi terkendala karena banyak penduduk sudah bermukim di banyak kawasan rawan longsor sejak lama. Pembiayaan relokasi dan penentuan lokasi baru, kata dia, bukan kebutuhan yang mudah untuk dipenuhi.
"Tidak harus memindahkan orang, karena itu bukan persoalan mudah. Persoalannya jadi bukan relokasi. Tetapi bagaimana mengantisipasi bencana," ujar Edison.
Menurut Edison, mitigasi pada kawasan dengan tingkat kerawanan bencana tinggi perlu diperkuat agar meminimalisir korban saat muncul kejadian.
Ketika ditanyakan, apakah kondisi saat ini bertentangan dengan UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Edison mengatakan persoalan tata ruang tidak semudah mengurus tanah kosong.
"Dalam tata ruang, kalau wilayah [rawan bencana] itu masih kosong tidak boleh dijadikan pemukiman. Maka dialihkan menjadi kawasan lindung. Namun kalau sudah jadi pemukiman, harus diperketat mitigasinya," ujarnya.
"Bukannya kami membiarkan 40 juta [orang] itu," Edison menambahkan.
Sementara itu Koordinator DebtWatch Indonesia, sebuah lembaga pemantau pembangunan, Arimbi Heroespeotri menilai relokasi memang penting, tapi bukan satu-satunya solusi. Menurut dia, relokasi warga di kawasan rawan bencana juga harus didasari komunikasi bersama antara pemerintah dengan masyarakat setempat.
“Yang penting itu solusi diambil berdasarkan partisipasi inklusif dari masyarakat. Masyarakat diberi informasi soal bencana dan risikonya. Mereka bisa putuskan alternatif solusinya seperti apa? Apakah relokasi, [tetap] tinggal di tempat tersebut dengan risiko, atau hal lainnya,” kata Arimbi.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Addi M Idhom