tirto.id - Puasa Ramadhan tergolong sebagai ibadah wajib untuk setiap mukalaf, yakni muslim yang telah memenuhi kriteria tertentu agar menjalankan perintah Allah Swt. Lantas, bagaimana hukum puasa bagi orang yang sudah tua atau pikun menurut Islam?
Puasa di bulan Ramadhan merupakan perintah ibadah dalam Islam, yang diperuntukkan bagi umatnya yang telah memenuhi kriteria akil dan balig, termasuk orang yang sudah tua. Sekalipun tergolong lanjut usia (lansia), mereka tetap terkena hukum taklif.
Namun, Islam memberikan keringanan bagi umatnya dalam menjalankan ibadah wajib, atau dikenal dengan istilah rukhsah. Kekhususan tersebut berlaku untuk orang dengan kondisi tertentu, termasuk orang tua yang kondisi tubuhnya menurun.
Dengan kesehatan yang kurang prima secara alamiah, lansia tentu bakal kesulitan dalam berpuasa Ramadhan.
Ketentuan tersebut sesuai firman Allah Swt. dalam Surah Al Baqarah ayat 183, yang mengatur tentang kewajiban berpuasa:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al Baqarah [2]:183)
Selanjutnya, pada ayat berikutnya (184), Allah Swt. memberikan pengecualian bagi umatnya yang merasa kesulitan. Berikut isi ayatnya:
“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin,” (QS. Al-Baqarah: 184)
Hal yang sama juga berlaku bagi muslim yang pikun atau hilang ingatan. Orang yang tua dan dalam kondisi tidak sadar apa yang dilakukan, termasuk ke dalam kriteria tidak wajib menjalankan puasa Ramadhan.
Kriteria Lansia dan Orang Pikun yang Boleh Tidak Berpuasa
Tentang ayat Al Baqarah ayat 184, Syekh Zakaria al-Anshari menafsirkannya secara lebih rinci. Hal itu termuat dalam kitab Fath al-Wahhab, juz 1, halaman 213. Di situ dinyatakan bahwa makna dari “orang yang berat menjalankan puasa” adalah orang tua yang sudah mencoba untuk berpuasa tetapi tidak lagi kuat menyelesaikan puasanya hingga waktu magrib.
Batasan umur untuk menyebut seseorang sebagai lansia, menurut Syekh Khatib asy-Syirbini dalam al-Iqna’ fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’, adalah lebih dari 40 tahun.
Lansia berumur di atas 40 ini diberikan keringanan dengan ketentuan; sekiranya berpuasa, ia berpotensi mengalami tekanan fisik amat berat (masyaqqah syadidah) atau yang tidak dapat ditanggung menurut standar umum masyarakat (la tuhtamalu adatan).
“Orang tua renta—yakni orang yang usianya melebihi 40 tahun, wanita tua renta dan orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya—jika mereka tak mampu berpuasa, sekiranya akan mengalami kesulitan yang berat, maka ia boleh tidak berpuasa dan wajib bagi mereka memberi makan untuk tiap hari yang ditinggalkan sebanyak satu mud” (Syekh Khatib asy-Syirbini, al-Iqna’ fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’, juz 2, hal. 397).
Namun, jika pada waktu lain—misalnya di Ramadhan tahun berikutnya—seorang lansia kembali kuat berpuasa, wajib baginya kembali melaksanakan puasa.
Ia hanya wajib menjalankan puasa pada hari ketika kondisi fisiknya kembali prima. Artinya, lansia dengan kriteria ini tidak wajib mengqada puasa yang sebelumnya pernah ditinggalkan. Sebab, dia telah mengganti puasanya dengan fidyah.
Hal tersebut dijelaskan dalam hadis riwayat Ibnu Juraij, atas otoritas Al-Qasim bin Yazid, atas otoritas Ali radhiyallahu ‘anha. Menurut beliau ada dua kondisi yang bisa terjadi:
- Pertama, jika pada waktu sakit, orang tersebut diharapkan kesembuhannya tetapi ternyata tak kunjung terjadi dan belum bisa mengqada, ia tidak terkena kewajiban. Tidak diwajibkan atasnya membayar fidyah, juga mengqada. Sebab, kewajibannya adalah mengganti puasanya, tetapi tak kunjung sembuh.
- Kedua, jika pada waktu sakit, orang itu tidak diharapkan kesembuhannya, puasa yang ditinggalkan harus diganti dengan fidyah. Jika seorang lansia atau pikun tidak bisa membayarkannya, pihak keluarga wajib mewakilinya.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin