tirto.id - Beberapa hari lagi akan terjadi pergantian tahun menuju 2023. Sudah menjadi kebiasaan banyak orang untuk merayakan tahun baru setidaknya mengucapkan selamat.
Lalu bagaimana Islam menanggapi hukum merayakan tahun baru?
Pergantian tahun baru selalu disambut dengan suka cita dan dengan penuh harapan untuk tahun yang lebih baik lagi.
Islam selalu mengajarkan untuk tetap bersikap optimis menghadapi segala hal, termasuk menghadapi pergantian tahun.
Dilansir dari NU Jatim, pergantian tahun sebaiknya dilakukan dengan berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan dan dijauhkan dari segala musibah di tahun yang baru.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadis juga bersabda untuk berbuat baik kepada tetangga. Salah satu caranya, seperti ketika dia berbahagia, maka ucapkanlah selamat.
Rasulullah SAW bersabda,
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya." (HR Bukhari-Muslim).
Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Islam
Menurut pandangan ulama Abul Hasan Al-Maqdisi saat ditanya mengenai hukum merayakan tahun baru, beliau menjawab bahwasanya hal tersebut adalah mubah (boleh), bukan sunah dan bukan juga bid’ah.
Ahmad Samsul Rijal, Katib Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) mengatakan bahwa pergantian tahun masehi hanya sebuah momentum dan tidak memiliki makna khusus di dalamnya.
Dia menjelaskan bahwa banyak ulama salaf dan khalaf yang memandang proses pergantian tahun masehi dari segi sosial.
Ketika hidup di tengah masyarakat dengan agama, budaya, dan tradisi yang beragam, maka banyak ulama yang berfatwa bahwa hukum merayakan tahun baru masehi ataupun mengucapkan selamat adalah mubah.
Katib Syuriah PCNU ini pun menegaskan bahwa dalam kehidupan bersosial, diperlukan toleransi, sikap moderat, harmoni dan amar ma'ruf nahyi munkar demi kebaikan bersama.
Hal tersebut dikarenakan bahwa dalam kehidupan sosial, merupakan hal penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan serta kebersamaan dan alasan tersebut menjadi acuan hukum, bukan dari sudut pandang aqidah.
Pendapat lain mengatakan bahwa hukum merayakan tahun baru adalah dilarang (haram) terlebih jika mengisi pergantian tahun dengan melakukan maksiat atau sesuatu yang tidak dianjurkan dalam Islam.
Banyak umat Islam yang justru merayakan tahun baru dengan berhura-hura, konvoi keliling kota, meminum minuman keras, bahkan berzina.
Padahal di dalam Al-Qur-an jelas dikatakan bahwa Allah SWT telah menjadikan malam sebagai waktu untuk beristirahat (QS. An-Naba : 9-10) dan tidak dianjurkan untuk melek sepanjang malam kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT seperti melakukan shalat malam (QS.Al-Isra : 79).
Dilansir dari laman UII, larangan merayakan tahun baru juga berkaitan dengan sejarah itu sendiri yakni sejarah terciptanya tahun masehi.
Bermula ketika Julius Caesar pada abad 46 SM yang membuat kalender berdasarkan matahari karena keakuratannya melebihi sistem penanggalan-penanggalan yang pernah dibuat sebelumnya.
Sebelumnya, pada abad 153 SM, seorang pendongeng di Roma bernama Janus lah yang menetapkan awal mula tahun.
Janus mampu melihat peristiwa yang telah dan akan terjadi. Janus merupakan simbol dari resolusi di tahun baru.
Bangsa Roma mengharap dengan pergantian tahun, kesalahan-kesalahan akan dimaafkan dan pertukaran kado dilakukan dengan harapan dosa-dosa bisa ditebus.
Dalil Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Islam
Pendapat mengenai hukum merayakan tahun baru adalah dilarang yaitu berdasarkan hadis Nabi yang melarang untuk mengikuti perayaan atau juga menyerupai suatu kaum:
"Dari Anas bin Malik RA dia berkata, saat Rasulullah SAW datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, “Dua hari untuk apa ini?”. Mereka menjawab, ”Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyah”. Lantas beliau bersabda, “Artinya: sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Idul Adha dan Idul Fitri”.
Selain itu, terdapat riwayat lain yang isinya seperti di bawah ini:
Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak RA. bahwasanya dia berkata,
“Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah SAW sembari berkata, “Sesungguhnya aku telah bernazar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi SAW bertanya, “Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah? Mereka menjawab, “Tidak”. Nabi bertanya lagi, “Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka?”. Mereka menjawab, “Tidak”. Rasulullah SAW bersabda, “Tepatilah nadzarmu karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia”.
Umar bin Al-Khattab RA berkata, “Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka”.
Dia berkata lagi, “Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka”. Abdullah bin Amr bin Al-Ash ra. dia berkata, “Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka”.
Rasulullah SAW bersabda yang maknanya:
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Abu Dawud, hasan)
Itu tadi beberapa pendapat mengenai hukum merayakan tahun baru dalam Islam beserta dalilnya. Sebagai muslim, adalah kewajiban untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Islam mengajarkan untuk selalu berbuat kebaikan di manapun berada dan perbuatan maksiat bukanlah hal yang diperbolehkan dalam Islam.
Segala sesuatu yang dilakukan haruslah memiliki niat dan dampak yang baik, termasuk mengisi tahun baru masehi dengan hal-hal baik pula.
Penulis: Fajri Ramdhan
Editor: Dhita Koesno