tirto.id - Orang yang sedang melaksanakan puasa, baik wajib saat bulan Ramadhan maupun sunnah, harus menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan ibadahnya atau mengurangi pahala.
Sebab puasa bukan semata menahan lapas, dahaga, dan hubungan suami istri (jima’) di siang hari, melainkan untuk meraih predikat sebagai manusia yang bertaqwa.
Namun, terkadang ada kebutuhan untuk melakukan aktivitas yang berdekatan dengan pembatal puasa, seperti mencicipi atau mengunyah makanan untuk bayi.
Keadaan ini menimbulkan keraguan bagi sebagian kaum Muslimin terkait dengan hukumnya dalam syari’at Islam: apakah dibolehkan, makruh, atau dilarang.
Salah satu hal yang membatalkan puasa adalah masuknya benda ke dalam tubuh melalui tujuh lubang yang telah ditentukan. Satu dari lubang yang dimaksud yaitu tenggorokan.
Mulut termasuk kategori anggota badan luar bagi orang yang berpuasa. Berbeda dalam konteks wudhu, mulut masuk kategori anggota badan dalam. Artinya, jika orang berpuasa memasukkan sesuatu sampai mulut, belum sampai masuk tenggorokan, puasanya tidak batal.
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah Kota Semarang dalam artikel “Hukum Mengunyahkan Makanan untuk Bayi saat Puasa” yang dilansir NU Online, menjelaskan bahwa tenggorokan mempunyai beberapa bagian.
Dalam pembahasan ilmu tajwid, ada bacaan idzhar yaitu ketika ada nun mati atau tanwin bertemu salah satu dari enam huruf halq (huruf yang berbasis tenggorokan). Huruf halq tersebut terdiri dari hamzah, ha’, ha’, kha’, ‘ain, ghain.
Keenam huruf ini mempunyai posisi masing-masing (makhraj). Huruf ghain dan kha’ makhraj-nya berada pada pangkal tenggorokan (aqshal halq); ha’ dan ‘ain dari tengah tenggorokan (wasthul halq); sedangkan hamzah dan ha’ keluar dari tenggorokan paling dalam (adnal halq).
Dari tiga bagian tenggorokan tersebut, yang bisa menyebabkan batalnya puasa adalah ketika ada barang yang melewati makhraj ha’ yaitu tengah-tengah tenggorokan. Selama sesuatu itu belum sampai melewati bagian tengah tenggorokan (makhraj ha’) maka ia tidak membatalkan puasa.
Hal ini juga ditegaskan dalam Kitab Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi, yang mana, “Imam al-Ghazali berkata bahwa makhraj ha’ tanpa titik masuk kategori dalam, sedangkan kha’ dengan titik masuk kategori luar. Imam Rafi’i juga sependapat dengan al-Ghazali. Kata Imam Rafi’i, yang tanpa titik keluar dari tenggorokan, sedangkan tenggorokan itu termasuk dalam, sedangkan yang bertitik itu sebelum pangkal tenggorokan,” (juz 6, hal. 319).
Dengan begitu, didapati kesimpulan akhir bahwa mencicipi makanan atau mengunyahkan makanan untuk bayi yang tidak sampai ditelan walaupun ada sisa rasanya, tidak membatalkan puasa. Hal ini karena makanan itu tidak sampai melewati bagian tengah tenggorokan.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Addi M Idhom