Menuju konten utama
Ramadhan 2021

Hukum Buka Puasa karena Kerja Berat, Apakah Diperbolehkan?

Hukum buka puasa karena kerja berat dan hal yang membatalkan puasa Ramadhan.

Hukum Buka Puasa karena Kerja Berat, Apakah Diperbolehkan?
Seorang pekerja membajak sawah yang akan ditanami padi, menggunakan traktor, di Desa Kalukku, Mamuju, Sulawesi Barat. ANTARA FOTO/Akbar Tado

tirto.id - Islam merupakan agama yang mudah dan luas (al-islamu dinun yusrun wus’atun).

Islam memberikan kemudahan bagi para pemeluknya terutama dalam melaksanakan ibadah, termasuk menjalankan ibadah puasa Ramadan.

Dalil Tentang Ibadah Tidak Memberatkan

Dalam hadis dari sahabat Hurairah RA, Rasulullah SAW berkata, yang artinya:

“Sesungguhnya agama itu mudah. Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan memudahkannya. Karena itu, luruskanlah, dekatilah, dan berilah kabar gembira! Minta tolonglah kalian di waktu pagi-pagi sekali, siang hari di kala waktu istirahat dan di awal malam,” (HR. al-Bukhari [39] dan Muslim [2816]).

Allah SWT juga berfirman:

اَيَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍؕ فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَ‌ؕ وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَهٗ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡنٍؕ فَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗ ؕ وَاَنۡ تَصُوۡمُوۡا خَيۡرٌ لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

Ayyaamam ma'duudaat; faman kaana minkum mariidan aw'alaa safarin fa'iddatum min ayyaamin ukhar; wa 'alal laziina yutiiquunahuu fidyatun ta'aamu miskiinin faman tatawwa'a khairan fahuwa khairulo lahuu wa an tasuumuu khairul lakum in kuntum ta'lamuun.

Artinya: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah ayat 184).

Hal ini bermakna bahwa bahwa orang sedang sakit atau musafir (orang yang sedang bepergian) boleh tidak berpuasa dan wajib menggantinya di luar bulan Ramadan."

Hal ini dilakukan karena apabila tetap berpuasa ditakutkan akan menimbulkan masyaqah (kesulitan/keberatan).

Lalu, bagaimana dengan hukum membatalkan puasa Ramadan karena kerja berat?

Hukum Buka Puasa Bagi Pekerja Berat

Dikutip dari laman Muhammadiyah (2021), apabila seseorang tidak mampu menjalankan puasa karena ketidakmampuan dan akan menimbulkan petaka (sakit) maka diperbolehkan tidak menjalankan puasa dan tidak berdosa.

Allah SWT melarang umatnya demi keselamatan diri sebagai berikut:

البقرة:١۹٥…وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ …

Artinya: “…dan janganlah kamu mencampakkan dirimu ke dalam kebinasaan..” (QS Al-Baqarah: 195).

Kemudian, dari laman NU online, Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain fi Irsyadin Mubtadi’in mengatakan sebagai berikut:

“Ulama membagi tiga keadaan orang sakit. Pertama, kalau misalnya penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayamum, maka penderita makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa.

Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi, atau kuat diduga kritis, atau kondisi kritisnya dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya.

Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayamum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah.

Sama status hukumnya dengan penderita sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan profesi seperti mereka,” (Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtai’in, Al-Ma’arif, Bandung, Tanpa Tahun, Halaman 189).

Kedua pernyataan di atas didukung dengan pendapat dari Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam kitab Busyrol Karim terkait orang yang bekerja agak berat dalam keseharian sebagai berikut:

“Ketika memasuki Ramadhan, pekerja berat seperti buruh tani yang membantu penggarap saat panen dan pekerja berat lainnya, wajib memasang niat puasa di malam hari. Kalau kemudian di siang hari menemukan kesulitan dalam puasanya, ia boleh berbuka. Tetapi kalau ia merasa kuat, maka ia boleh tidak membatalkannya.”

Gus Yusuf dalam "Delima Puasa Pekerja Keras" melalui laman YouTubenya juga menjelaskan perihal tersebut.

Menurutnya, ada yang namanya ruqsah, yakni keringanan atau dispensasi. Ruqsah dalam Islam haruslah berdasarkan adanya alasan.

"Alasannya itu adalah bahaya. Tapi, menjaga jiwa raga harus didahulukan daripada menjaga agama," kata Gus Yusuf.

Ia mengatakan, dalam berpuasa juga seperti itu, kalau dalam kondisi sakit dan membahayakan, seperti sakit akut yang direkomendasikan untuk tidak berpuasa oleh dokter, maka sebaiknya tidak berpuasa.

Atau, lanjutnya, seseorang yang dalam perjalanan jauh minimal 80 km maka boleh membatalkan puasa di tengah jalan.

"Intinya, penyebabnya pada tingkat kepayahan dan kesulitan. Sakit yang membahayakan, perjalanan membahayakan seperti yang dilakukan zaman nabi dahulu yang berjalan kaki jauh di padang pasir dan berpotensi menimbulkan dehidrasi," katanya.

Begitu pula jika pekerjaan seseorang membuat kepayahan, hukumnya sama seperti orang sakit dan musafir yang melakukan perjalanan berbahaya.

"Misalnya tukang panen, tukang bangunan atau pekerja-pekerja berat lainnya, boleh membatalkan dan menggantinya pada hari lain. Jadi jikalau berpuasa yang dalam kondisi seperti itu, maka tidak baik memaksakan diri," tukas Gus Yusuf.

Karenanya, Dari semua dalil dan pernyataan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa membatalkan puasa pada siang hari diperbolehkan untuk orang-orang yang bekerja sangat berat.

Namun, ketika malam hari para pekerja diwajibkan untuk berniat puasa pada siang hari. Tetapi jika tidak kuat dan berbuka di tengah puasanya, maka wajib mengganti puasa yang sudah dibatalkan di luar bulan Ramadan.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2021 atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Dhita Koesno