Menuju konten utama

Hujan Meteor Orionid di Antara Gemerlap Polusi Cahaya

Masihkah bisa menikmati hujan meteori di tengah pekatnya polusi cahaya?

Meteor Shower. iStockphoto

tirto.id - Sejak 20 hingga 22 Oktober 2017 langit bumi dihujani kilauan meteor Orionid. Dinamakan "Orionid" karena meteor tersebut melesat di langit malam hari bersisian di kawasan rasi bintang Orion. Di Indonesia, rasi bintang yang oleh orang-orang Jawa disebut Lintang Waluku itu muncul kisaran pukul 21:00 WIB di timur laut. Ia akan beranjak naik hingga mencapai titik azimut (berada di atas kepala) pengamatnya.

Katalog hujan meteor yang disusun Garry W. Kronk mencatat fenomena hujan meteor Orionid diamati pertama kali oleh E.C. Herrick. Dalam sebuah suratnya kepada American Journal of Science and Arts bertanggal 24 Desember 1838, dia menyatakan bahwa pada 8-15 Oktober adalah “musim ketika meteor mungkin ditemukan sangat banyak”. Namun pada 1840, Herrick meralat pernyataan tersebut dengan mengatakan, “Tanggal pasti frekuensi tinggi hujan meteor kurang diketahui, tetapi ia akan banyak ditemukan antara tanggal 8 sampai 25 bulan tersebut (Oktober).”

Sekitar dua dekade berikutnya, astronom A.S. Herschel melakukan pengamatan hujan meteor orionid secara presisi. Pada 18 Oktober 1864, dia menemukan 14 meteor muncul dari rasi Orion. Setahun kemudian, pada 20 Oktober 1865, Herschel menyatakan bahwa hujan meteor tersebut memang muncul bersisian di rasi Orion.

Baca juga: Kisah Hidup Chandrasekhar Si Jenius yang Temukan Evolusi Bintang

Jika langit cerah, para pengamat dapat melihat sekitar 20 meteor per jam. Hujan meteor ini juga merupakan salah satu hujan meteor dengan aktivitas yang cukup tinggi antara 40-70 meteor per jam selama berturut-turut selama 2-3 hari. Analisis data hujan meteor Orionid dari 1984-2001 memperlihatkan laju maksimum meteor setiap tahunnya beragam antara 14-31 meteor per jam.

Fenomena hujan meteor, selain dapat dinikmati sambil bersantai, juga berperan dalam penelitian astronomi. Kepada Tirto, Dosen Astronomi ITB Muji Raharto menjelaskan bahwa data pengamatan meteor dapat digunakan untuk memahami perilaku komet dan benda-benda langit yang berada di sekitar jalur orbit bumi mengelilingi matahari.

Meteor Orionid adalah salah satunya. Ia merupakan 1 dari 2 hujan meteor yang dihasilkan dari sisa-sisa komet Halley yang jalur orbit nya pernah menyerempet jalur orbit bumi mengelilingi matahari. Selama perjalanannya mendekati matahari komet tersebut pecah dan sebagian elemennya "menguap".

“Jalur orbit bumi mengelilingi matahari itu tidak kosong.Pengamatan itu perlu karena kita bisa material besarnya apakah masih tersisa. Menurut laporan pengamatan, kan, ada meteor dengan data kecerahan maksimum pada 21 Oktober itu. Kemudian dari bentuk dan warna meteor tersebut dapat diamati kandungan besi atau unsur-unsur lainnya,” ujar Muji.

Muji juga menerangkan pengamatan tersebut juga berperan untuk mencegah satelit bertabrakan dengan benda-benda langit di sekitar orbit bumi.

Baca juga: Mengalkulasi Investasi Energi Matahari

Polusi Cahaya yang Mengancam

Hujan meteor memang dapat menjadi pertunjukan cahaya langit di malam hari yang indah. Sayangnya, polusi cahaya yang dihasilkan dari lampu-lampu di perkotaan membuat pengamatan menjadi sukar.

Polusi cahaya menyebabkan langit malam terang oleh cahaya lampu. Sumber cahaya bisa dari berbagai lampu, dari yang digunakan untuk reklame, penerangan jalan, sampai lampu taman. Sebagian dari cahaya tadi akan dipantulkan jalan dan pantulan ke atas itu yang menjadikan cahaya langit malam menjadi lebih terang dari yang diidealkan.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/21/hujan-meteor-orionid--MILD--Quita-01.jpg" width="859" height="1527" alt="infografik hujan meteor orionid" /

Akibat dari polusi cahaya, langit malam jadi lebih terang dari biasanya. Akibatnya pupil manusia yang berada di kawasan tersebut mengalami kesulitan mengamati benda-benda langit.

Berdasar riset yang dilakukan Light Pollution Science and Technology Institute, lebih dari 80 persen penduduk bumi hidup dalam polusi cahaya. Singapura berada di posisi tertinggi negara yang paling tinggi polusi cahaya, disusul Kuwait, Qatar, Arab Saudi, dan Korea Selatan. Survei Asosiasi Astronomi Inggris yang digelar pada 2010 menyebutkan 89 persen sumber polusi cahaya adalah lampu jalan.

Baca juga: Bahaya Polusi Cahaya

Dian Puspita Triani, mahasiswa doktoral bidang astronomi di Swinburne University, menuturkan pengalamannya mengamati benda-benda langit kepada Tirto. Perempuan yang sedang meneliti permodelan pembentukan galaksi tersebut pernah melakukan pengamatan di tiga wilayah langit berbeda: Lombok, Bandung, dan Jakarta.

“Kondisi langitnya juga berbeda. Kalau di lombok langitnya super clear. Di pinggir pantai bisa melihat milkyway, kalau ada hujan meteor bisa kelihatan. Kalau di Bandung lumayan karena di Bosscha masih bisa me-resolve planet. Kalau di Jakarta parah banget. Boro-boro, nggak keliatan apapun,” ujar Dian.

Muji menyarankan jika ingin melihat benda-benda langit tersebut, seorang pengamat baiknya pergi ke daerah pedesaan atau daerah pinggiran kota, di mana polusi cahaya masih minim. Pilihan yang hampir mustahil juga dia sarankan: lampu kota dimatikan semua.

“Meteorid diamati lebih baik dalam kondisi langit yang ideal. Tetapi kalau di Jakarta, Bandung, atau di tempat yang lebih terang lagi hal tersebut sukar didapatkan,” ujar Muji.

Baca juga artikel terkait ASTRONOMI atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Teknologi
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS