tirto.id - Karena cahaya buatan manusia, penyu-penyu kesulitan menemukan tempat bertelur. Sebab polusi cahaya dari gedung-gedung tinggi megah nan cerlang, burung-burung yang bermigrasi mengikuti cahaya bintang kebingungan dan mati sebab menghantam gedung raksasa.
Mungkin banyak manusia yang berpikir, “Mereka hanya penyu, mereka hanya burung. Sementara bagi kami, manusia, cahaya adalah kemewahan, kemegahan, sebuah simbol peradaban maju.” Jika pikiran demikian ada di benak Anda, sila dikaji ulang terlebih dahulu. Sebab jenis polusi yang tampak tak berbahaya ini tak cuma memberi dampak negatif pada burung dan penyu, tetapi juga pada Anda, pada saya, manusia.
Tahun 2013 lalu, sekumpulan anak muda di Amerika berkemah ke hutan. Ketika malam datang, satu-satunya sumber cahaya yang mereka miliki berasal dari api unggun atau senter yang dinyalakan hanya ketika dibutuhkan. Selebihnya, mereka mengandalkan cahaya langsung dari bulan dan ribuan bintang.
Setakat satu pekan, para pemuda kembali ke kota dan dibawa ke Laboratorium Tidur dan Chronobiology untuk dilihat pola tidurnya. Terjadi perubahan signifikan pada jam tidur mereka. Mereka tidur lebih awal dan bangun lebih pagi dari sebelum tinggal di hutan.
Penelitian ini dilakukan Ken Wright, seorang profesor fisiologi integratif di University of Colorado, Amerika Serikat. Wright dan timnya ingin membuktikan bahwa polusi cahaya memberi dampak cukup besar pada ritme sirkadian manusia.
Jam sirkadian ini letaknya di otak manusia. Ia semacam jam biologis yang memberitahu otak kapan harus tidur dan bangun, kapan harus makan, dan kapan kita harus waspada. Polusi cahaya membuat jam biologis ini kebingungan dan menggeser jam tidur alamiah manusia yang pada hakikatnya diatur oleh siklus siang malam. Oleh sebab adanya cahaya buatan, kita bisa beraktivitas pada malam hari layaknya siang.
Dalam menanggapi ritme sirkadian, tubuh manusia menghasilkan hormon melatonin. Ini adalah jenis hormon yang memiliki sifat antioksidan, menginduksi tidur, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menurunkan kolesterol, dan membantu fungsi tiroid, pankreas, ovarium, testis serta kelenjar adrenal. Paparan cahaya pada malam hari menekan produksi melatonin. Akibatnya, kesehatan manusia terganggu.
Tak berhenti pada kesehatan, polusi cahaya juga mengancam keselamatan. Kegelapan kerap membuat manusia takut dan merasa tidak aman. Sebaliknya, terang dianggap memberi rasa aman. Ini tentu keliru. Memang benar manusia butuh pencahayaan artifisial untuk membantu penglihatan pada malam hari, tetapi terang tidak berarti aman.
Cahaya berlebihan atau pencahayaan yang tidak tepat membuat cahaya berpendar ke segala arah dan menciptakan kontras cukup tajam antara terang dan gelap. Akibatnya, sulit bagi mata manusia untuk melihat ke arah area di luar area yang diterangi. Ini tentu menjadi celah bagi pelaku kejahatan untuk bersembunyi.
Menurut laporan American Medical Association pada 2012, cahaya terlalu terang pun dapat mengakibatkan indra penglihatan tidak mampu beradaptasi untuk melihat ke arah jalan saat sedang berkendara.
Sayonara Bima Sakti
Gugusan bintang dalam Galaksi Bima Sakti tampak indah dari bumi. Ia membentuk bayangan hitam yang dikelilingi kilau bintang. Bima Sakti menginspirasi cukup banyak karya seni dan sastra di masa lalu. Dalam cerita rakyat Jepang dan Cina, ia digambarkan sebagai sebuah sungai yang memisahkan dua kekasih. Dalam legenda Yunani, Bima Sakti diibaratkan air susu ibu yang tumpah dari Dewi Hera.
Kini, alih-alih memberi ilham pada karya seni, melihatnya langsung saja umat manusia cukup kesulitan. Baru-baru ini, sejumlah peneliti dari Light Pollution Science and Technology Institute merilis riset yang menyatakan lebih dari 80 persen penduduk bumi hidup dalam pencemaran cahaya. Kondisi ini membuat umat manusia kesulitan melihat Bima Sakti.
Mereka yang tinggal di India dan Jerman, masih memiliki kesempatan untuk melihat Bima Sakti dari rumah mereka. Sedangkan bagi warga Singapura, Korea Selatan, atau Arab Saudi, melihat Bima Sakti hanyalah mimpi belaka.
Riset itu juga mengurutkan negara-negara dengan polusi cahaya tertinggi. Singapura berada di posisi teratas, disusul Kuwait, Qatar, Arab Saudi, dan Korea Selatan. Sementara negara-negara di Afrika mencatatkan polusi cahaya yang sangat kecil. Sepuluh negara dengan polusi cahaya paling kecil berada di Benua Afrika.
Tahun 2010, Asosiasi Astronomi Inggris pernah menggelar survei untuk mencari tahu sumber utama polusi cahaya. Sekitar 1.400 orang ambil bagian dalam survei itu. Lalu ditemukan bahwa 89 persen sumber polusi cahaya adalah lampu jalan.
Sebenarnya, ada banyak cara untuk mengeliminasi cahaya berlebih yang mengakibatkan polusi cahaya. Hal paling penting tentu dengan menggunakan cahaya hanya saat dibutuhkan. Di kota-kota besar, banyak sekali papan reklame atau lampu hias yang berlebihan dari segi jumlah dan tingkat kecerlangan. Untuk meminimalkan polusi cahaya, harus dilakukan gerakan reduksi watt. Reduksi watt bukan hanya baik untuk mengurangi polusi cahaya, tetapi juga baik untuk mengehemat energi.
Selain mereduksi watt, usahakan lampu-lampu yang digunakan tidak memantulkan cahaya ke langit. Arahkan cahaya ke tanah atau ke tempat yang memang butuh penerangan. Caranya adalah dengan memakai tudung lampu. Terakhir, untuk efisiensi, papan reklame di perkotaan bisa dimatikan setelah lewat tengah malam. Sebab aktivitas manusia juga kian minim dan efektivitas fungsi iklan tak begitu maksimal.
Pemerintah Indonesia, belum terlalu serius menangani polusi cahaya ini. Padahal pemerintah perkotaan bisa saja mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur penggunaan tudung lampu, terutama bagi lampu jalan.
Lima belas tahun lalu, Tasya dan Sheila on7 merilis lagu anak-anak berjudul Jangan Takut Gelap. “Jangan takut akan gelap, karena gelap melindungi diri kita dari kelelahan,” ungkap Duta dalam penggalan nyanyiannya. Video clip juga berlatar perkemahan di mana sumber cahaya hanya berasal dari sebuah lampu minyak kecil. Lagu ini, secara tidak langsung mengajak anak-anak untuk mematikan lampu ketika akan tidur dan tak perlu takut akan gelap. Sebab, gelap ternyata baik untuk tubuh manusia.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti