tirto.id - Sepanjang 2020, telah terjadi kelangkaan stok darah di beberapa daerah. Pada April tahun lalu, Walikota Bandung, Oded M. Danial menyatakan bahwa stok darah di Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bandung pada waktu itu selalu terbatas sejak pandemi COVID-19 melanda, terlebih saat memasuki Ramadhan tahun lalu.
“Saya dapat info, stok darah di PMI Kota Bandung menipis, sejak ada COVID-19. Apalagi sekarang bulan puasa. Oleh karena saya imbau kepada masyarakat Kota Bandung untuk donor darah. Sekarang ada masjid, artinya bisa donor darah malam setelah tarawih,” kata Oded melalui siaran pers pemerintah provinsi Jawa Barat.
Pada November 2020, humas PMI mengumumkan bahwa stok darah di PMI Kabupaten Pemalang juga menipis. Kelangkaan ini pun melanda Surabaya dan Tangerang akibat kegiatan donor darah yang berkurang karena pembatasan aktivitas berkumpul.
Di tengah stok darah yang menipis dan ajakan untuk donor darah, sebuah video yang tersebar di sosial media kini justru mengajak masyarakat untuk untuk menolak menerima donor darah dari orang yang telah menerima vaksin COVID-19. Salah satunya diunggah oleh akun di Facebook bernama 'Secret Society'.
Unggahan ini menyebutkan bahwa darah yang didonorkan penerima vaksin COVID-19 bisa membahayakan penerimanya, sebab ada efek samping dari vaksin untuk virus tersebut. Video ini mengklaim bahwa ribuan orang meninggal dan jutaan kasus terjadi akibat vaksin COVID-19. Video ini juga mengklaim bahwa vaksin berbasis messenger RNA, atau mRNA, bisa menyebabkan penyakit autoimun serta reaksi antibodi. Lebih jauh lagi, unggahan ini juga mengklaim adanya risiko penyumbatan darah.
Memang, kurangnya pemahaman terhadap vaksin telah membuka ruang untuk misinformasi di tengah masyarakat. Lantas, apakah klaim terbaru soal bahaya donor darah dari penerima vaksin COVID-19 memang akurat ataukah sebuah hoaks?
Penelusuran Fakta
Tim riset Tirto menelusuri kebenaran video tersebut. Klaim utama dari video tersebut mengungkap bahayanya menerima donor darah dari penerima vaksin COVID-19. Namun, beberapa sumber resmi justru memperbolehkan penerima vaksin COVID-19 untuk melakukan donor darah.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, misalnya, mengatakan kepada Kompas.com pada 3 Mei 2021 bahwa masyarakat yang sudah divaksin COVID-19 boleh melakukan donor darah.
Ia menjelaskan, donor darah sebenarnya bisa langsung diberikan setelah menerima vaksin COVID-19. Akan tetapi, donor darah sebaiknya dilakukan 7 hari setelah menerima suntikan vaksin dosis kedua untuk memastikan tidak ada efek samping vaksin.
"Boleh (donor darah), setelah 7 hari divaksin COVID-19," kata Siti. "Tujuh hari itu untuk memastikan tidak ada efek samping dari vaksin.”
Palang Merah Amerika Serikat (American Red Cross) dalam situsnya turut menjelaskan bahwa penerima vaksin COVID-19 boleh dilakukan, meskipun ada beberapa persyaratan yang perlu diikuti tergantung pada jenis vaksin yang diterima.
American Red Cross membagi persyaratan ini berdasarkan beberapa jenis vaksin COVID-19, yaitu vaksin berbasis mRNA, misalnya buatan AstraZeneca dan Pfizer, vaksin yang menonaktifkan virus dan tidak bereplikasi, dan vaksin yang berbasis virus hidup yang dilemahkan.
Menurut American Red Cross, penerima vaksin COVID-19 yang berbasis virus yang dinonaktifkan dan yang berbasis mRNA tidak membutuhkan jeda waktu bagi donor darah yang memenuhi syarat. Sementara itu, penerima vaksin live attenuated (berbasis virus hidup yang dilemahkan) maupun yang tidak mengetahui jenis vaksinnya disarankan untuk menunggu dua minggu sebelum donor darah.
Lebih lanjut, video itu menyebutkan bahwa vaksin berbasis mRNA menimbulkan protein spike, atau protein yang dilalui virus corona untuk menyerang sel, sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang serius seperti penyakit autoimun. Selain itu, reaksi antibodi dan protein darah dari vaksin diklaim bisa mengganggu sistem koagulasi darah, sehingga menyebabkan penyumbatan darah.
Menurut laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), vaksin mRNA adalah vaksin yang "mengajari" sel-sel tubuh seseorang untuk membuat sebuah protein, atau bagian protein, yang bisa merangsang timbulnya respon imun dalam tubuh orang tersebut. Protein inilah yang disebut spike protein, yang CDC tekankan merupakan sesuatu yang tidak berbahaya. Spike protein ini biasa ditemukan di bagian permukaan virus yang menyebabkan COVID-19.
Namun, respon imun inilah yang memproduksi antibodi dan melindungi seseorang dari infeksi ketika virus yang asli menyerang tubuh. CDC juga menekankan bahwa vaksin mRNA tidak menggunakan virus hidup yang menyebabkan COVID-19.
Lebih jauh, penelusuranAssociated Press (AP) pada 6 Januari 2021 tentang vaksin COVID-19 juga tidak menemukan bukti bahwa mRNA dalam vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna dapat menyebabkan penyakit autoimun.
Klaim serupa pernah dinyatakan oleh Tamika Morrow, seorang perawat di Amerika Serikat, pada 16 Desember 2020. Tamika menyampaikan pendapat keliru soal cara kerja vaksin mRNA, yang disebut akan menyebabkan autoimun, melalui sebuah video di Facebook yang diunggah kembali oleh berbagai akun YouTube. Saat dihubungi AP, Morrow mengacu kepada sebuah artikel tahun 2018 yang dimuat di Nature Reviews Drug Discovery.
Namun, Drew Weismann, salah satu penulis artikel tersebut, menjelaskan kepada AP bahwa kekhawatiran tersebut tidak berlaku pada vaksin COVID-19 karena vaksin ini menggunakan RNA jenis baru yang tidak akan menyebabkan penyakit autoimun.
“Tidak ada data yang mengatakan vaksin mRNA dapat menyebabkan penyakit autoimun,” tulisnya kepada AP melalui email.
Terkait klaim penyumbatan darah, pemerintah Australia memang menemukan ada hubungan antara vaksin AstraZeneca dan pembentukan gumpalan darah dalam arteri (trombosis) saat jumlah keping darah (trombosit) di bawah nilai normal (trombositopenia). Namun, efek samping ini sangat jarang karena dapat terjadi pada sekitar 4-6 orang dalam setiap satu juta orang yang divaksinasi.
Selain Australia, Badan Obat-obatan Uni Eropa (European Medicines Agency) juga mempublikasikan artikel pada 23 April 2021 yang menyatakan bahwa efek samping penyumbatan darah pada AstraZeneca ini sangat jarang, hanya pada 1 dari 100.000 orang yang divaksinasi.
Perlu dicatat bahwa data dari berbagai pihak sejauh ini belum menemukan bukti sebab-akibat antara vaksin dan penyumbatan darah, tapi lebih merupakan kemungkinan hubungan antara vaksin dan kondisi langka trombosis dengan sindrom trombositopenia (TTS). Dua vaksin yang banyak disebut untuk kasus ini adalah buatan AstraZeneca dan Johnson and Johnson, seperti dilaporkan Reuters pada 29 Mei 2021 lalu.
Tim riset Tirto juga tidak menemukan artikel berjudul “Scientist Discover Cause of Blood Clots From AstraZeneca COVID-19 Vaccine” yang dimuat di International Business Times. Artikel ini menjadi cuplikan saat narasi video menungkap efek penyumbatan darah yang diklaim sudah “didokumentasikan dengan baik”.
Selain klaim-klaim yang melenceng, pembuat video tersebut ternyata bermasalah pula. Tim riset Tirto menggunakan penelusuran Google dengan kata kunci “Vaxxed Blood The Mirror Project” sesuai teks di bagian akhir video.
Tirto menemukan bahwa video tersebut berasal dari akun YouTube berjudul The Mirror Project yang tertanggal 7 Mei 2021. Akun YouTube ini memiliki lebih dari 18,000 subscribers dan sudah ditonton oleh hampir 370,000 orang. Video aslinya berdurasi 4 menit 46 detik, lebih panjang daripada video Facebook sebelumnya yang berdurasi 2 menit dan 36 detik. Artinya, video yang diunggah di Facebook tersebut telah dimodifikasi.
Tirto juga menelusuri situsThe Mirror Project. The Mirror Project memperkenalkan dirinya sebagai “inisiatif nirlaba baru dengan misi mengembangkan sumber informasi tunggal anti-propaganda” dan menawarkan narasi yang tidak bias.
Namun, beberapa pemberitaan justru mengungkap sebaliknya. Dilansir artikel AP tertanggal 13 Maret 2021, video lain The Mirror Project berjudul “The Truth Behind The Vaccine Trials” yang beredar pula di dunia maya dinilai telah memberikan informasi bohong tentang pembuatan vaksin COVID-19 serta keamanan dan kemanjurannya.
Business Insider pun melaporkan pada 7 Oktober 2020 bahwa penyedia layanan transaksi online PayPal telah menutup akun The Mirror Project setelah organisasi tersebut menggalang dana hampir $30.000 dari pendukungnya. Penulis artikel tersebut mengecap organisasi ini sebagai "pembuat teori konspirasi".
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa klaim-klaim dalam video tersebut melenceng dari kajian-kajian yang ada terkait bahaya donor darah dari penerima vaksin COVID-19. Video ini dibuat pula oleh organisasi yang sudah beberapa kali dicap sebagai pembuat teori konspirasi dan berita bohong. Dengan demikian, unggahan yang dibagikan di media sosial Facebook itu bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).
==============
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id. Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty