tirto.id - Hotline Periksa Fakta Tirto (kontak) menerima beberapa aduan terkait informasi bahwa Rusia telah melakukan autopsi terhadap jenazah korban yang meninggal akibat COVID-19, lalu menemukan bahwa virus penyebab penyakit ini tidak nyata.
Menurut pesan itu, dokter Rusia tidak mendengarkan kesepakatan WHO dan tetap melakukan autopsi terhadap pasien COVID-19. Dari autopsi tersebut, dokter-dokter Rusia menyimpulkan bahwa COVID-19 bukan berbentuk virus, melainkan bakteri yang telah terpapar radiasi dan menggumpal melalui darah hingga menyebabkan kematian bagi orang yang terinfeksi.
Pembekuan darah inilah yang kemudian menyebabkan penderita COVID-19 sulit bernapas karena otak, jantung, dan paru-paru tidak dapat menyerap oksigen, sehingga penderita tidak tertolong lagi. Pesan tersebut juga memasukkan tautan berita dari Reuters soal autopsi tersebut.
Menurut pesan tersebut, berdasarkan temuan ini, Kementerian Kesehatan Rusia lalu mengubah rencana pengobatan COVID-19 dan menggunakan aspirin untuk pasien positif. Dokter di Rusia juga disebut menyatakan bahwa COVID-19 adalah tipuan global. Karena itu pula, ventilator dan unit perawatan intensif (ICU) tak diperlukan, menurutnya.
Adapun, menurut pesan itu, COVID-19 bisa diobati hanya dengan aspirin, Imromac, dan uap air hangat yang dihirup.
Lalu, bagaimana kebenaran dari klaim-klaim ini?
Penelusuran Fakta
Tirto menelusuri tautan berita Reuters yang dijadikan sumber dari pesan berantai tersebut. Berita itu dipublikasikan pada 16 April 2021 dan justru menjelaskan hal yang berkebalikan dari klaim pesan yang tersebar di WhatsApp. Melalui artikel tersebut, Reuters memeriksa klaim bahwa COVID-19 tidak nyata dan otopsi di Rusia yang menemukan fakta sebaliknya.
WHO tidak melarang otopsi untuk korban COVID-19. Pada bulan September 2020, WHO bahkan merilis panduan tentang prosedur keselamatan otopsi jenazah yang terinfeksi COVID-19.
Rusia sendiri bukanlah negara pertama yang melakukan autopsi terhadap pasien COVID-19. Menukil dari AFP, laporan autopsi pertama dari pasien COVID-19 yang meninggal dipublikasikan di sebuah jurnal berbahasa Tiongkok pada bulan Februari 2020, yang juga mengutip sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Legal Medicine Tokyo, Jepang.
Rusia memang melakukan autopsi (analisis postmortem) untuk menentukan apakah penyebab kematian pasien COVID-19 disebabkan oleh virus atau hal lain. Tatyana Golikova, Wakil Perdana Menteri Rusia, mengatakan pada Desember 2020 bahwa otoritas Rusia akan melakukan analisis postmortem terhadap semua kematian akibat COVID-19, dengan pengecualian untuk keluarga pasien yang menolak dengan alasan keagamaan.
“Kami melakukan otopsi terhadap 100% kasus di seluruh negeri, dengan beberapa pengecualian karena alasan agama. Dalam kasus penyakit menular – dan virus corona dipandang sebagai penyakit yang sangat menular – kami melakukan otopsi pada 100% kasus," katanya dilansir dari kantor berita TASS asal Rusia (28/12/2020).
Rusia bukan satu-satunya negara yang melakukan otopsi terhadap korban COVID-19. Analisis postmortem juga diterapkan oleh Amerika Serikat, Jerman, Italia, dan Inggris.
Untuk Indonesia, bedah mayat klinis diatur dalam pasal 2 (a) dan 2 (c) Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 1981 (PDF). Disebutkan bahwa bedah mayat diperbolehkan dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti. Kemudian, bedah juga bisa dilaksanakan tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu 2x24 jam (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit.
Namun, tidak seperti klaim pada unggahan tersebut, Rusia tetap menemukan bahwa COVID-19 memang ada. Kementerian Kesehatan Rusia masih memberikan informasi lengkap mengenai COVID-19, yang disebut sebagai penyakit yang memengaruhi sistem pernapasan manusia melalui infeksi virus Corona. Data di laman tersebut juga menyatakan bahwa per 12 Juli 2021 telah terjadi 106.307 kematian akibat COVID-19.
Menurut Alexey Erlikh, kepala unit perawatan jantung di Rumah Sakit Moskow 29, “Tidak ada yang meninggal 'karena' virus. Orang meninggal karena komplikasi akibat virus," katanya seperti dilansir Reuters. "Tapi mereka juga meninggal karena komplikasi penyakit kronis akibat virus. Beberapa orang percaya bahwa kematian seperti itu tidak seharusnya dihitung sebagai jumlah kematian akibat virus Corona. Menurut saya, perlu."
Kemudian, menurut Kementerian Kesehatan Rusia, penyebab COVID-19 dikategorikan sebagai virus, dan bukan bakteri, yaitu SARS-CoV-2 virus. WHO juga telah membantah klaim yang menyatakan bahwa COVID-19 disebabkan oleh bakteri.
Untuk mengetahui asal mula apakah COVID-19 berasal dari virus atau bakteri, kita dapat merujuk pada artikel di jurnal Lancetpada 22 Februari 2020 tentang karakterisasi genom dan epidemiologi virus penyebab COVID-19 baru berjudul “Genomic characterisation and epidemiology of 2019 novel coronavirus: implications for virus origins and receptor binding.” Artikel ini memaparkan 10 urutan genom 2019-nCoV (waktu itu belum dirujuk sebagai SARS-CoV-2) yang diperoleh dari sembilan pasien ternyata sangat mirip.
Lebih lanjut, 2019-nCoV memiliki kemiripan sebesar 88 persen dengan sindrom pernapasan akut (SARS) yang ditularkan dari kelelawar, bat-SL-CoVZC45 dan bat-SL-CoVZXC21, yang ditemukan di Tiongkok, namun sedikit berbeda dari SARS-CoV dan MERS-CoV. Sehingga jelas bahwa COVID-19 merupakan sebuah virus.
Analisis filogenesis menunjukkan bahwa 2019-nCOV masuk ke dalam subgenus Sarbecovirus dari genus Betacoronavirus.
Selain itu, terkait pembekuan darah, para peneliti memang mencatat bahwa salah satu dari banyak dampak kesehatan yang mengancam dari COVID-19 adalah peradangan dan pembekuan darah. Dampak dari COVID-19 ini dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti serangan jantung, kerusakan organ, hingga stroke. Hal ini dipaparkan oleh National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat dan situs Johns Hopkins Medicine.
Namun, pembekuan darah hanyalah salah satu dari banyak efek yang dapat ditimbulkan oleh COVID-19. Oleh karenanya, COVID-19 tidak identik dengan trombosis, yang artinya pembentukan gumpalan darah yang tidak normal di dalam pembuluh darah arteri atau vena.
Selanjutnya terkait pengobatan COVID-19 dengan antibiotik, berdasarkan wawancara Tirto dengan dokter dari RS Mitra Keluarga, Bekasi, Fairuz Primagita, pemberian antibiotik terhadap pasien COVID-19 harus dilakukan dalam pemantauan dokter. Secara garis besar, dokter Gita juga tidak menyarankan untuk melakukan pengobatan COVID-19 secara mandiri di rumah.
Selanjutnya, tentang uap air panas untuk mengobati COVID-19, ini juga merupakan hoaks lama yang telah banyak diklarifikasi Lembaga pemeriksa fakta. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Eka Ginanjar, membantah bahwa menghirup uap air panas bisa mematikan virus Corona. Eka menilai tindakan ini tidak bermanfaat. Hal ini ia sampaikan kepada Tempo pada 2020.
Eka justru khawatir masyarakat salah paham mengenai keefektifan metode tersebut dan akhirnya tidak lagi melakukan hal penting untuk mencegah penularan virus penyebab COVID-19, yaitu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau dengan menggunakan hand sanitizer.
Sebuah studi yang dipublikasikan pada Agustus 2020 oleh Elsevier, berjudul “Steam inhalation: More harm than good? Perspective from a UK burns centre”, bahkan menemukan terapi dengan menggunakan uap air panas merupakan penyumbang signifikan terhadap luka lepuh, baik pada anak-anak dan orang dewasa.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pesan yang tersebar melalui WhatsApp tersebut bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading). Seluruh poin terkait autopsi yang pertama dilakukan oleh Rusia, COVID-19 yang tidak nyata, penyebab COVID-19 yang diklaim berasal dari bakteri, pengobatan dengan antibiotik, dan terapi uap untuk menyembuhkan COVID-19, tidak benar dan sebaiknya tidak dipercayai.
==============
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6288223870202 (tautan). Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty