tirto.id - Hikmah puasa Ramadhan tidak hanya bermakna sebagai pemenuhan kewajiban seorang muslim terhadap perintah Allah dengan menahan lapar, haus, dan kebutuhan biologis selama bulan Ramadhan. Puasa adalah perisai bagi yang melakukannya. Seseorang yang berpuasa, akan membatasi semua tindakannya, mengendalikan syahwat, sehingga pada titik tertentu puasa adalah pelindung dari api neraka.
Dalam Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa lafal 'shaum' dan 'shiyam' menurut pengertian bahasa (etimologi) berarti menahan, sedangkan menurut pengertian terminologi, 'shiyam' berarti menahan dalam pengertian yang khusus, pada masa tertentu, terhadap hal-hal tertentu disertai syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut makna syar'i, "shaum" adalah menahan diri makan, minum, kepuasan seksual, dan muntah disertai niat sejak terbitnya fajar shadiq (subuh) hingga terbenamnya matahari (maghrib).
Hikmah Puasa Ramadhan: Puasa Sebagai Perisai
Diriwayatkan dari Al A'raj, dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Puasa adalah perisai, maka (seseorang) janganlah mengerjakan rafats (perbuatan dan perkataan cabul)dan jangan berbuat jahil. Apabila seseorang diperangi atau dicaci-maki, maka hendaklah ia mengatakan, 'Sesungguhnya aku berpuasa'. -Nabi mengatakannya sebanyak 2 kali-."
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa lebih baik di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi, ia meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Aku. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku akan memberi balasannya, satu kebaikan akan dibalas dengan 10 kali (lipat) yang sepertinya".
Frasa "puasa adalah perisai" dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Sa'id bin Manshur menyebutkan bahwa perisai dimaknai sebagai perisai dari neraka. Sementara itu, An-Nasa'i meriwayatkan dari hadits Utsman bin Abu Al Ash, puasa adalah perisai diibaratkan seperti "perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan".
Ibnu Hajar al-Asqalani, mengutip Ibnu Abdil Barr menyebutkan bahwa maksud perisai dalam riwayat tersebut adalah perlindungan dari neraka. Sementara itu, Ibnu Katsir menyatakan, puasa adalah perisai dalam konteks melindungi orang yang berpuasa dari syahwat yang dapat mengganggunya.
Imam Abu 'Abdullah Al-Qurtubi menyimpulkan, dalam kaitan puasa sebagai perisai, sudah sepantasnya orang yang berpuasa memelihara puasanya dari hal-hal yang dapat merusak atau mengurangi pahala ibadah tersebut. Ini merujuk pada sabda Nabi, "Apabila salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah berbuat rafats".
Dalam kitab Al Akmal, Al-Qadhi Iyadh menyebutkan, puasa adalah perisai, maksudnya adalah puasa sebagai pelindung dari dosa-dosa dan dari api neraka.
Menurut Ibnu Arabi, puasa dikatakan sebagai perisai dari api neraka karena puasa dapat menahan diri seseorang dari syahwat, sedangkan neraka telah dikelilingi oleh syahwat. Apabila seseorang mampu menahan diri dari syahwat dalam kehidupan dunia, maka hal itu dapat menjadi penghalang baginya dari neraka di akhirat kelak.
Dalam Futuhat Al Makkiyyah, Ibnu Arabi menerangkan bahwa Allah menempatkan berbagai larangan pada pelaku puasa seperti "tidak berkata cabul". Ketika seseorang ditantang berkelahi atau dicaci-maki ia hendaknya mengucapkan, "aku sedang berpuasa".
Dengan ucapan "aku sedang berpuasa", orang tersebut semestinya memahami bahwa puasa berarti meninggalkan perbuatan negatif yang bermula dari letupan-letupan hasrat. Ia mestinya menyadari bahwa puasa telah menjadi perisai agar ia terhalang dari tindakan-tindakan yang bersumber pada keterjebakan nafsu duniawi.
Puasa adalah ibadah yang unik, berbeda dengan ibadah-ibadah lain, seperti firman Allah dalam hadis di atas, "Puasa adalah untuk-Ku dan Aku akan memberi balasannya".
Dalam puasa, tidak ada unsur riya' seperti pada ibadah yang lain. Pelaksanaan puasa tidak tampak oleh manusia, karena secara fisik, tidak ada yang tahu bedanya seseorang yang berpuasa atau yang tidak. Bahkan, puasa merupakan ibadah yang ada di dalam hati.
Hanya sang pelaku puasa dan Allah yang tahu apakah puasanya sempurna atau tidak. Hanya Allah pula yang mengetahui jumlah pahala puasa dan pelipat-gandaan kebaikannya. Ini berbeda dengan ibadah-ibadah lain, yang mungkin diketahui oleh sebagian manusia.
Setelah menjalani puasa yang merupakan perisai dari hasrat-hasrat yang melenakan, Rasulullah saw. bersabda, "orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu Rabbnya".
Dalam Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip Al Qurthubi bahwa riwayat ini dapat dimaknai orang tersebut bergembira karena lapar dan dahaganya telah hilang dengan diperkenankannya berbuka. Ada pula yang mengatakan bahwa kegembiraannya waktu berbuka terjadi karena hal itu merupakan kesempurnaan puasanya, penutup ibadahnya, dan keringanan dari Tuhannya, serta penolong baginya untuk puasa selanjutnya.
Ibnu Arabi menjelaskan, kegembiraan saat berbuka adalah kegembiraan untuk ruh hewani seseorang, sedangkan kegembiraan saat bertemu dengan Rabb adalah kegembiraan untuk jiwa rasionalnya. Puasa memberikan seorang hamba pertemuan dengan Allah, yaitu musyahadah dan penyaksian.
Editor: Iswara N Raditya