tirto.id - Praktik prostitusi di area-area stasiun berkembang di banyak kota di Indonesia.
Lokalisasi di Semarang salah satunya terdapat di dekat Stasiun Kereta Api Poncol atau di sekitar Jalan Pemuda di dekat Paragon. Di Jogjakarta berada di sisi barat Jalan Malioboro atau tepatnya di selatan Stasiun Tugu yang dikenal dengan jalan Pasar Kembang (Sarkem). Di Surabaya, prostitusi stasiun bahkan terdapat di beberapa stasiun sekaligus: dari Stasiun Wonokromo, Stasiun Kandangan-Banjar Sugihan sampai Stasiun Tandes.
Sedangkan di Jakarta berada di sekitar kawasan Stasiun Tanjung Priok, di Bongkaran dekat Stasiun Tanah Abang hingga kawasan Royal di pinggir rel kawasan Pluit. Tidak hanya di kota-kota besar seperti yang disebutkan di atas, prostitusi di sekitar stasiun juga terdapat di kota kecil-menengah, misalnya di Jember yang berada di dekat Stasiun Rambipuji.
Kawasan prostitusi di dekat lokasi transportasi publik seperti stasiun kereta api meningkat drastis pada abad ke-19, terutama setelah 1870 sampai menjelang awal abad ke-20, ketika ekonomi kolonial membuka diri pada modal swasta. Prostitusi yang muncul di dekat stasiun memang untuk konsumsi kelas bawah, lebih tepatnya para pekerja kontruksi stasiun, sopir truk ekspedisi, tukang becak, kusir andong hingga pedagang kaki lima.
Praktik prostitusi yang berkembang di Stasiun Bandung memiliki sejarah agak berbeda. Di Bandung, awalnya kawasan prostitusi berada di Saritem yang memang tidak begitu jauh dari stasiun. Nama Saritem sendiri sangatlah populer. Bahkan orang yang tidak pernah mencicipi dunia prostitusi pun tahu.
Akan tetapi, selain di Saritem, prostitusi di Bandung juga tumbuh di dekat Stasiun Bandung. Walau Saritem juga tidak terlalu jauh dari stasiun, namun prostitusi yang hendak dibicarakan ini memang tumbuh di jalan-jalan yang mengelingingi Stasiun Bandung, persisnya di Jalan Stasiun Barat. Letaknya di sekitar area pergudangan yang lebih dekat ke arah Jalan Pasirkaliki.
Lokasi ini dipilih karena memang memiliki pencahayaan lebih sedikit. Jika malam sudah tiba, kawasan ini lebih gelap. Aktivitas pergudangan dan logistik memang sangat jarang dilakukan malam hari, sehingga gudang-gudang pun tutup, menyisakan lebih banyak kegelapan ketimbang cahaya. Situasi remang-remang memang menjadi ciri khas lokalisasi kelas bawah.
Prostitusi di Stasiun Barat mulai berkembang sekitar 1970an, dan kian mencolok pada pertengahan dekade 1990an, dan semakin terang-terangan pasca reformasi 1998. Kebanyakan para pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Stadiun Barat adalah “imigran” dari Saritem. Mereka tersisih dari persaingan ketat di Saritem, salah satunya karena faktor usia yang tidak lagi muda.
Praktek prostitusi jalanan di Stasiun Barat ini tidak bisa tidak melahirkan stigma bahwa seolah-olah di sepanjang jalan tersebut seluruhnya dipenuhi praktik prostitusi. Padahal kenyataanya tidak demikian. Lokasi prostitusi di Stasiun Barat tidak berada di kawasan tempat tinggal dan warung milik warga yang digusur PT KAI (yang dibantu aparat TNI, Polisi, Satpol PP dan Polsuska) pada 26 Juli 2016 lalu. Lokasinya cukup jauh, walaupun masih berada pada ruas jalan yang sama, Jalan Stasiun Barat.
Hanya sebagian kecil area Jalan Stasiun Barat yang dijadikan area mangkal PSK. Di sana pun hanya menjadi tempat mangkal, mencari pelanggan, bernegosiasi, sedangkan hubungan kelamin dilakukan di tempat lain. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat rumah warga di kawasan Stasiun Barat yang disewakan kepada orang lain, tetapi itu untuk disewakan saja, siapa pun bisa menyewanya.
Sebenarnya mayoritas warga Stasiun Barat tidak nyaman dengan adanya PSK di sekitar tempat tinggal dan warung makan yang mereka kelola. Para PSK itu juga bukan warga Stasiun Barat, bahkan bukan warga kota Bandung. Mereka selalu kembali ke sana setelah kena razia, dikarantina, atau bahkan diberi pelatihan keterampilan.
Hal ini terus saja berulang. Akhirnya tudingan bahwa prostitusi di Stasiun Barat dilakukan atau didukung oleh warga pun muncul dan melekat. Dan inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan “moral” untuk menggusur rumah dan warung milik warga di Stasiun Barat.
Setelah kawasan hunian dan warung warga di Stasiun Barat digusur, para PSK atau sering disebut bondon ini pindah di jalan-jalan Kota Bandung lainnya, seperti Jalan Oto Iskandar Dinata, Kebon Jati, dan Suniaraja. Mereka memilih pindah dengan alasan tempat mangkalnya sudah rata dengan tanah dan tidak ada aktivitas apa-apa lagi di area tersebut.
Salah satu versi menyebutkan kata bondon berasal dari bahasa Inggris yaitu "bound" (batas) dan "don’t" (jangan) yang kira-kira berarti "jangan dibatasi". Frase “jangan dibatasi” ini merujuk pekerjaan para PSK yang tidak mau dibatasi norma-norma sosial yang baku dan dominan.
Salah seorang yang mengamati fenomena ini adalah Remy Sylado. Penulis profilik yang bergulat dan bergelut dengan dinamika kota Bandung pada 1960an hingga 1970an ini pernah menulis buku Kamus Isme-Isme. Dalam buku itu ia menulis bahwa “bondonisme” adalah perilaku gadis-gadis muda yang meniru kelakuan para bondon.
Pada 1980-an, kata bondon tidak hanya merujuk PSK penuh waktu, melainkan anak-anak sekolah atau kuliahan yang melakukan fornikasi atau hubungan seks bebas tanpa mengharapkan uang jasa mesum seperti lumrahnya PSK profesional. Sebelum 1970-an, para PSK amatir ini disebut gongli.
Sebelum ada penggusuran beberapa bulan lalu, praktik prostitusi di Stasiun Barat dimulai sekitar jam 21.00 atau 22.00 malam, persis sama dengan dibukanya warung nasi yang menyajikan hidangan perkedel. Karena warung nasi itu mulai buka berbarengan dengan kemunculan para PSK, maka istilah bondon pun akhirnya disematkan pada hidangan perkedel di Stasiun Bandung ini.
Perkedel merupakan makanan dengan bahan dasar kentang yang direbus lalu dihancurkan dan diberi bumbu lalu digoreng. Perkedel Bondon disajikan dengan bumbu sambel.
Sebelum masyhur dikenal sebagai Perkeden Bondon, warung ini dikenal dengan nama Perkedel Hostes. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "hostes" berarti perempuan yang pekerjaannya menerima, menjamu, dan menghibur tamu (di hotel, kelab malam, bar, dan sebagainya) alias pramuria. Konotasi kata "hostes" cenderung negatif, bahkan diasosiasikan atau dekat juga dengan praktik prostitusi.
Disebut Perkedel Hostes karena di warung yang menyediakan perkedel ini, tamu atau pengunjung warung dilayani seorang perempuan. Namun lama-kelamaan orang-orang menyebutnya Perkedel Bondon karena perkedel ini hanya dijual menjelang tengah malam, hampir berbarengan dengan dimulainya jam kerja para bondon.
Warung nasi dengan sajian perkedel ini awalnya warung nasi biasa. Dengan tempat yang relatif sederhana, warung ini dulunya hanya dicirikan oleh tulisan “Warung Nasi M. Unus”. Warung ini mulai muncul pada 1970an.
Sepintas warung nasi ini tidak ada bedanya dengan warung-warung makan lainnya. Letaknya di belakang Stasiun Bandung, persisnya di kawasan terminal angkot Stasiun Bandung. Warung ini sebenarnya buka antara jam 21.00-22.00 malam hingga menjelang subuh. Menunya sama seperti warung nasi kebanyakan, menyajikan nasi, lauk pauk, sayur, dan menu hidangan lainnya. Namun sajian perkedel kemudian menjadi ciri yang dikenal luas.
Awalnya warung nasi ini menjadi tempat makan para supir angkot, tukang becak, penumpang kereta kelas ekonomi dan para pegawai stasiun. Namun lambat laun, sejak menu perkedel ini mulai dikunjungi anak-anak muda yang baru pulang dari diskotik, maka perkedel ini “naik kelas”.
Mengapa muncul pelanggan dari segmentasi yang secara ekonomi lebih mapan? Karena tidak banyak opsi warung nasi yang buka sampai dini hari pada era 1980an atau awal 1990an. Orang-orang yang baru pulang dari diskotik dalam keadaan lapar akhirnya banyak yang mampir ke warung nasi ini, dan akhirnya menjadi pelanggan warung nasi dengan sajian perkedel.
Seperti yang diutarakan juru masak warung Perkedel Bondon, biasanya antara jam 2-3 pagi mulai berdatangan orang-orang yang baru pulang dari diskotik. Kebetulan menu hidangan yang paling gampang disiapkan dalam kondisi panas, yang cocok dengan udara dingin Bandung, adalah perkedel. Maka menu perkedel pun akhirnya menjadi hidangan favorit di warung ini yang lantas berkembang sebagai merek dagang dengan nama Perkedel Bondon.
Kini Perkedel Bondon bukan hanya dikenal oleh anak-anak muda Bandung, melainkan sudah menjadi salah satu kuliner yang diincar para pelancong. Pada har-hari libur, antrian di warung ini bisa sangat panjang. Pada puncak masa liburan, menjadi pemandangan biasa melihat tukang becak yang ikut mengantre. Mereka adalah joki yang bekerja memenuhi hasrat para pelancong yang tak sabar mengantre.
Dalam sehari, warung ini mampu menghabiskan antara 40-60 kg kentang sebagai bahan utama perkedel. Kini harganya dijual senilai 2 ribu rupiah per pcs. Saking ramainya, apalagi di puncak liburan, menu perkedel bisa habis sebelum warung benar-benar tutup. Kadang jam 2 dini hari pun sudah habis.
Berjualan sejak tahun 1970, rasa Perkedel Bondon tak pernah berubah. Resep tetap itu-itu saja, sehingga cita rasa pun bisa konsisten. Bangunan warungnya pun tak berubah. Masih di tempat yang sama, masih sesederhana warung-warung di sekitarnya. Tidak ada niat untuk membuatnya menjadi megah walau Perkedel Bondon sudah amat dikenal dan bahkan menjadi salah satu ikon kuliner Kota Kembang.
Begitu juga dalam soal jam beroperasi. Masih malam hari. Hingga dini hari. Tidak ada niatan juga untuk memperpanjang jam operasi. Buka sejak siang hari, misalnya. Perkedel Bondon masih setia dengan udara malam Bandung yang kini sudah tak sedingin dulu lagi.
Penulis: Frans Ari Prasetyo
Editor: Zen RS