tirto.id - Perempuan-perempuan dengan noken di kepala berjalan menyusuri lahan-lahan di atas perbukitan. Anak-anak mereka mengikuti di belakang, asyik bercanda satu sama lain, yang masih berumur kurang dari dua tahun digendong oleh salah satu kakaknya dengan sarung yang diikat seperti noken di kepala.
Kampung Huguma, Wamena, Papua hari itu sedang mengadakan acara bakar batu. Tradisi yang biasa dijalankan masyarakat Papua untuk menjaga silaturahmi. Kebetulan, hari itu mereka juga melakukan upacara panen ubi. Perempuan-perempuan memanen hasil bumi, membagikan ubi ke seluruh wilayah desa, menyiapkan perapian dan menumpuk batu di atasnya hingga merah membara.
Setelahnya, batu dimasukkan ke dasar lubang yang sudah diberi alas daun pisang. Di atas batu panas itulah warga memasak daging babi dan segala macam sayur mayur, ubi jalar, dan singkong. Hidangan itu akan disantap bersama-sama warga satu kampung.
Namun, di antara keriuhan perayaan upacara adat itu, seorang perempuan nampak murung. Raut muka kesedihan tak dapat disembunyikan, air mata yang jatuh, berulang kali ia seka. Mama Halosina dan keempat anaknya tak bisa ikut menyantap ubi-ubi yang dipanen. Sebab sang suami, Hosea tak mau membukakan lahan untuknya.
Halosina, sudah hampir dua bulan meninggalkan Kampung Huguma dan menumpang di rumah kakak kandungnya di Kampung Anjelma. Orang-orang mengira ia kabur lantaran tak mau membayar denda adat. Padahal, kepindahan Halosina lantaran ia tak memiliki lahan untuk memberi makan anak-anaknya.
Perempuan itu sungguh memikul beban berat, setelah suaminya mengambil istri kedua, hidupnya tak lagi diperhatikan. Hosea lebih mementingkan istri keduanya, Tina, anak-anak Tina semuanya bersekolah, tapi tidak dengan anak Halosina.
Hosea juga hanya membukakan lahan untuk Tina, tapi tidak untuknya. Tak ada lahan, artinya tak ada makanan untuk anak-anak. Maka Halosina memutuskan mengambil ubi di kebun adik iparnya, menggalinya dengan rapi, bukan serabutan.
Namun Halosina malah dituduh mencuri, denda adat seharga satu ekor babi atau Rp1 juta harus ia bayar untuk mengganti kerugian. Ia kelimpungan, tapi sang suami tak juga turun tangan, maka Halosina berjuang seorang diri untuk membayar denda dengan menjual hasil-hasil bumi ke kota.
Satu cuplikan adegan film yang menggambarkan diskriminasi terhadap Halosina sebagai istri pertama terlihat saat ia berdialog dengan kakaknya. Saat itu, anaknya yang paling kecil sedang menangis, umurnya hampir genap dua tahun, tapi ia belum memiliki nama.
“Anak yang paling kecil ini tidak diakui bapaknya. Sehingga sampai sekarang belum memiliki nama, saya panggil dia Anen, yang artinya bukan anak bapaknya,” ucap Halosina.
Posisi Perempuan Papua dalam Keluarga
Noken di kepala dan kayu pengolah kebun di tangan adalah simbol kedudukan perempuan Papua dalam keluarga. Mama dan noken, mama dan tanah ladang, mama dan kandang babi, mama dan tungku api. Berladang, merupakan salah satu aktivitas pokok yang biasa digeluti oleh penduduk Papua, utamanya yang terletak di geografis pegunungan.
Aktivitas berladang dimulai dengan pemilihan dan pembukaan lahan yang cocok oleh para lelaki. Mereka juga yang membuat pagar, sebagai pelindung atau pengaman gangguan binatang seperti babi hutan. Selanjutnya, rumput-rumput dibiarkan sampai benar-benar kering, dibakar untuk selanjutnya ditanami oleh para istri.
Jenis-jenis tanaman yang sering ditanami adalah singkong, petatas, keladi dan sayur-sayuran. Hasil panen ladang keluarga biasanya dikonsumsi sendiri namun ada pula yang dijual. Jika masih ada sisa, akan dijadikan bahan pangan ternak.
Film “Tanah Mama” yang disutradarai oleh Asrida Elisabeth ini pernah memenangkan penghargaan film dokumenter FFD 2015. Awalnya, film ini mengambil cerita Halosina sebagai dukun beranak yang membantu persalinan para perempuan di kampungnya, termasuk persalinan istri kedua suaminya.
“Saya mau memperlihatkan bagaimana perempuan yang jauh akses pendidikan dan kesehatan. Dengan segala kekurangan dia mau bantu yang perempuan lain, dan memiliki perjuangan luar biasa terhadap kehidupan keluarganya,” katanya kepada Tirto.
Namun, seiring perjalanan riset, Asrida menemukan konflik yang lebih menarik, berkaitan dengan urusan perut yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Perempuan-perempuan Papua digambarkan dalam film ini lewat Mama Halosina, hampir selalu memiliki tanggung jawab pada tugas-tugas domestik. Selain mengurus lahan, mereka juga harus mengurus binatang ternak, dan anak-anak mereka. Untuk menjual hasil bumi, perempuan juga lah yang menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk sampai ke kota.
Jika seorang perempuan tak dibukakan lahan oleh suaminya, maka ia bisa dikatakan tak memiliki akses penghidupan. Ia hanya bisa menumpang makan kepada keluarga yang memiliki lahan. Itulah yang dilakukan Mama Halosina saat bermigrasi ke rumah kakaknya di Kampung Anjelma. Perempuan yang tak memiliki lahan, juga tak berhak atas pembagian panen hasil bumi di kampungnya.
Di film ini Asrida berhasil menampilkan tanggung jawab besar seorang perempuan di Papua dalam menopang kehidupan keluarga. Bahkan, walaupun lelaki masih memegang peranan sentral dalam mengambil keputusan, bisa dikatakan seluruh tanggung jawab dalam keluarga berada pada perempuan.
“Melalui film ini saya ingin bercerita soal bagaimana kehidupan perempuan dalam keluarga, dalam problemnya terhadap suami, terhadap anak-anak,” kata Asrida.
Penulis: Aditya Widya Putri