Menuju konten utama

Hidup Sengsara di Negara Kaya Minyak

Hari-hari ini, hidup di Venezuela sangat menderita. Untuk mendapatkan kebutuhan pokok saja, masyarakat harus antre berjam-jam, bahkan melintas ke negara tetangga. Sebagai negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, Venezuela gagal total mengelola negaranya.

Hidup Sengsara di Negara Kaya Minyak
Rakyat Venezuela berbaris untuk membeli kertas toilet dan popok luar apotek di Caracas, Venezuela 16 Mei, 2016. [Reuters / carlos garcia rawlins ]

tirto.id - Siang hari pada 21 Juni 2016, sebuah antrean mengular beberapa blok di depan sebuah supermarket di Caracas, Venezuela. Butuh waktu delapan jam dalam antrean untuk bisa sekadar membeli bahan makanan.

Video antrean yang diambil dari udara itu dibagikan Hannah Dreier, seorang jurnalis yang hidup di Caracas, lewat akun Twitter-nya. Setiap bulan, mereka yang hidup di Venezuela harus menghabiskan rata-rata 35 jam dalan antrean.

Antrean terpanjang adalah antrean makanan. Remaja, orang dewasa, orang tua, hingga anak-anak tampak berdiri memenuhi panjangnya antrean. Setiap warga Venezuela hanya boleh berbelanja dua hari dalam seminggu.

Dalam kicauannya yang lain, Hannah mengatakan sembilan dari sepuluh orang di Venezuela tak bisa membeli makanan yang cukup. Menurut analisi Statista, Caracas menjadi kota dengan biaya hidup paling mahal. Untuk kebutuhan makan sehari, warga Venezuela harus mengeluarkan $1.000. Di Indonesia, uang sebesar itu bisa untuk makan pagi, siang, malam di Warteg selama delapan bulan.

Andrés Guevara, yang juga seorang wartawan di Venezuela merekam kondisi pusat perbelanjaan di Caracas pada 7 April 2016 lalu. Lampu padam. Gerai-gerai tutup, meski masih siang. Mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM) tak berfungsi. Rekaman itu kemudian diunggahnya lewat akun YouTube miliknya.

Dalam videonya yang lain, Andrés merekam antrean warga di dekat rumahnya. Warga yang berbaris dalam antrean dengan panjang lebih dari satu kilometer itu menunggu giliran untuk membeli bahan makanan.

April lalu, dua warga Amerika Serikat, Jeff Berweick dan Luke Rudkwoski datang ke Caracas. Baru saja menginjakkan kaki di bandara, mereka melihat satu aksi perampokan dan pembunuhan. Tiba di hotel, penerangan seadanya, cenderung gelap. Saat keduanya berjalan di koridor, mereka berpapasan dengan tamu hotel lainnya.

“Mereka melihat kami dengan tatapan curiga, semacam memastikan kalau kami bukan penjahat yang mengancam keamanan mereka,” kata Luke.

Luke bilang, kriminalitas di Venezuela kian menjadi-jadi. Perampokan, pembunuhan, penculikan tak lagi menjadi kabar berita yang mengejutkan. Di malam hari, Caracas tampak seperti kota mati. Tak banyak orang berlalu lalang di jalanan yang minim penerangan.

Ekonomi Venezuela jelas sedang tidak baik-baik saja. Nilai mata uangnya jatuh begitu dalam. Sejak 2013 hingga saat ini, nilai Bolivar turun 98 persen. Inflasi pada 2016 tercatat menyentuh angka 400 persen dibandingkan tahun lalu. Ini adalah negara dengan inflasi tertinggi di dunia.

Jadi tak perlu heran jika warga Venezuela tak lagi bisa menyimpan uang mereka di dompet untuk sekadar belanja ke supermarket. Mereka butuh ransel atas tas besar untuk membawa uang. Restoran-restoran pun harus mengganti menu mereka tiap pekan, mengikuti nilai tukar Bolivar yang terus tertekan. Venezuela bukan lagi menghadapi inflasi, tetapi hyper-inflasi.

Jhonny Mendez, warga Caracas hanya mengkonsumsi karbohidrat, seperti nasi, tanpa lauk. Bukan karena tak punya uang, tetapi karena kesulitan mencari bahan makanan. Untuk membeli dua atau tiga produk kebutuhan sehari-hari, Jhonny harus keluar rumah jam lima pagi dan mengantre sepanjang hari.

Di kota Maracaibo, seorang ibu rumah tangga bernama Norvelis Contreras harus berdiri dalam antrean selama lima jam hanya untuk membeli beras dan minyak. “Kami hanya berjuang untuk bertahan hidup,” katanya.

Imbas Harga Minyak dan Krisis Listrik

Ketika Venezuela berada dalam krisis berkepanjangan, satu pertanyaan muncul. Bagaimana bisa sebuah negara yang kaya akan minyak berada dalam kondisi yang begitu terpuruk?

Venezuela merupakan salah satu negara yang diberkahi oleh besarnya cadangan minyak. Berdasarkan data OPEC, cadangan minyak mentah terbuktinya mencapai 300,878 miliar barel, yang merupakan terbesar di dunia. Produksi minyaknya sebesar 2.653 juta barel per hari. Venezuela sangat bergantung pada ekspor minyaknya. Pendapatan negara, 95 persennya berasal dari minyak. Sektor minyak dan gas memberikan kontribusi hingga 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Turunnya harga minyak yang sudah berlangsung sejak 2014 tentu saja membuat Venezuela menderita. Apalagi, harga minyak bertahan lama di bawah 50 dolar per barel, jauh di bawah nilai keekonomiannya. Akibatnya, pendapatan negara tersebut turun hingga 40 persen. Di saat pendapatannya turun, Venezuela kesulitan membayar utang-utang sejak tahun sebelumnya.

Karena uang untuk membayar-utang luar negeri lebih sedikit, Presiden Maduro memutuskan memangkas impor untuk menghindari default. Total utang Venezuela mencapai $120 miliar atau setara Rp1.500 triliun.

Tahun ini, total utang yang harus dibayar adalah $7 miliar. Sebagian besar utang harus dilunasi pada semester kedua. Jika harga minyak tetap rendah, Venezuela diprediksi akan mengalami gagal bayar utang tahun depan.

Tak berhenti di sana, Venezuela juga dilanda krisis listrik parah. Kehadiran El-Nino yang mengakibatkan krisis listrik memperburuk kondisi Venezuela. Memang, Venezuela sangat kaya akan minyak bumi. Namun, mayoritas pasokan listrik Venezuela tidak berasal dari generator diesel yang menggunakan bahan bakar fosil.

Lebih dari 60 persen listrik diperoleh dari hydropower. Negara di Selatan benua Amerika ini mengandalkan pembangkit listrik tenaga air. Sebuah bendungan bernama Guri Dam telah dibangun sejak tahun 1970-an. Bendungan ini mampu menghasilkan 10.300 megawatt listrik.

Tahun 2014, hydropower hanya mampu memenuhi 25 persen kebutuhan listrik di Venezuela. Rendahnya curah hujan pada musim dingin tahun ini yang disebabkan El Nino, membuat level air di bendungan makin surut.

El Nino memang penyebab krisis listrik di Venezuela, tetapi hal semacam ini harusnya bisa diantisipasi. Pasalnya, ini bukan kali pertama krisis listrik terjadi. Krisis listrik yang cukup hebat pertama kali menimpa Venezuela pada 2009 hingga 2010, saat Chavez masih memimpin negeri itu.

Pada dasarnya, tak ada yang salah dengan menggunakan hydropower. Ia malah jauh lebih "bersih" dibandingkan menggunakan bahan bakar fosil seperti minyak dan batubara. Masalah terjadi ketika volume air di Guri Dam surut, sedangkan Venezuela tak punya pembangkit listrik cadangan yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan listrik di negeri itu. Sementara Guri Dam memasok 75 persen kebutuhan listrik di Kota Caracas, ibukota Venezuela.

Tahun 2011 lalu, Inter-American Dialogue meminta pandangan sejumlah pakar energi terkait bagaimana menyelesaikan krisis listrik di Venezuela. Ini adalah sebuah forum yang menganalisis berbagai persoalan di Benua Amerika. Pada dasarnya, para pakar itu mengatakan hal senada, kuncinya hanya satu, rencana investasi yang dieksekusi dengan baik. Satu hal paling penting adalah, diversifikasi energi.

Masalah terkait listrik lainnya di Venezuela adalah banyak warga yang ‘mencuri’ listrik. Menurut data dari Administrasi dan Informasi Energi Amerika Serikat, sepanjang 2003 hingga 2012, konsumsi listrik masyarakat meningkat 49 persen. Sementara jaringan listrik yang terpasang hanya bertambah 28 persen.

Akan tetapi, sepanjang krisis listrik yang sedang dialami warga Venezuela saat ini, Presiden Maduro melulu menjadikan El Nino sebagai "kambing hitam". Fokus pemerintah hari ini hanya pada solusi jangka pendek. Ia abai pada rencana dan solusi jangka panjang.

Krisis pangan, krisis keuangan, krisis listrik. Itulah yang terjadi di Venezuela. Cadangan minyaknya yang sangat besar, ternyata tak mampu menolong negara itu. Kegagalan mengelola kekayaan membuat Venezuela terjerumus ke dalam krisis yang menyengsarakan jutaan rakyatnya.

Baca juga artikel terkait VENEZUELA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti