tirto.id - Isu rush money menyeruak di media sosial Twitter bersamaan dengan situasi Jakarta yang sempat memanas akibat aksi massa di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Sejak 21 Mei lalu, beberapa akun media sosial mulai memainkan tanda pagar (tagar) rush money hingga Jumat (24/5/2019).
Sejumlah pemilik akun pun mengasosiasikan tagar tersebut dengan dukungan mereka terhadap calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto. Selain itu, ada juga yang menghubungkannya dengan penolakan terhadap presiden terpilih Joko Widodo dan memintanya untuk turun.
Pemilik akun Twitter @noerc88 misalnya, menuliskan hastag “#RushMoney #DukungPrabowo” pada 22 Mei 2019.
Lalu ada juga akun @mhmfikri yang menulis “Untuk apa kita hanya mengumpat Jokowi di medsos. Tarik uang di bank belikan ke emas.dlm tempo singkat Jokowi klojotan. Kok msh planga-plongo kayak si Jae.. ya laksanakan dong. #RushMoney” pada 21 Mei 2019.
Peneliti fiskal dari Center of Reform on Economics Yusuf Rendy menduga bila tagar itu memang dimunculkan secara politis dan sengaja untuk menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) masyarakat kepada pemerintah dan perbankan.
Menurut Yusuf, secara teoritis tindakan menarik uang secara besar-besaran pada jangka waktu pendek memang dapat mengguncang bank itu. Sebab, bank pada umumnya hanya memiliki cadangan uang pada jumlah terbatas.
Alhasil, jika hal ini terjadi, kata Yusuf, maka akan ada gangguan likuiditas yang dialami bank dan secara tidak langsung turut memengaruhi perekonomian.
“Saya menduga gerakan ini diinisasi untuk memainkan psikologi masyarakat. Nanti bank jadi kaget dan terguncang, lalu berdampak ke perekonomian,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (24/5/2019).
Meski demikian, kata Yusuf, tujuan sang pembuat ide gerakan tagar rush money itu agak sulit direalisasikan. Sebab, saat ini fundamental perekonomian Indonesia sedang berada dalam keadaan stabil meski tumbuhnya lambat. Hal ini berbeda dengan peristiwa 1998 ketika situasi memang sedang krisis.
Selain itu, kata Yusuf, sebagian pinjaman masyarakat juga sudah dikawal oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Alhasil guncangan yang dialami perbankan, kata dia, juga akan dapat diredam dan kepercayaan masyarakat masih tetap dapat dijaga.
Yusuf juga mengingatkan bahwa sekitar 63 persen simpanan yang berada di bank adalah yang bernominal Rp1-5 miliar dan notabene memiliki literasi keuangan yang baik. Kalau pun ada tagar itu, Yusuf yakin mereka tidak akan melakukannya.
Ia menduga hastag tersebut hanya akan berpengaruh bagi mereka yang notabene kelas menegah ke bawah. Dengan demikian, kata Yusuf, dampaknya akan semakin tidak terasa.
“Jadi saya liat rush money ini enggak akan terlalu pengaruh. Lagi pula ini gerakan lebih ke politik ketimbang ke aspek ekonominya,” ucap Yusuf.
Penyebar Tagar Bisa Dipidana
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Paku Utama menilai tagar rush money ini lebih dari sekadar menciptakan kepanikan atau mendelegitimasi pemerintah.
Menurut dia, penyebar menghasut, memberikan propaganda, dan memanipulasi masyarakat agar masyarakat beramai-ramai menarik uang dapat dikenakan Pasal 28 UU No. 19 Tahun 2016 atau ITE. Merujuk Pasal 45a seseorang dapat dituntut 6 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Pola ini pun pernah dilakukan polisi ketika menangkap penyebar ajakan rush money pada 2016 lalu. Saat itu, pelaku segera dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan dituntut 5 tahun penjara.
Penyebaran tagar yang menyebabkan rush money tidak hanya membahayakan perekonomian dan pemerintah, tetapi juga masyarakat yang menjadi nasabah lantaran simpanan, seperti deposito diambil secara mendadak sebelum jatuh tempo. Alhasil, nilainya akan tergerus akibat penarikan secara masif.
Di balik para pihak yang dirugikan, kata Paku, pasti terdapat pihak yang diuntungkan. Misalnya memanfaatkan margin atas fluktuasi kurs dan indeks harga saham akibat kerusuhan dan propaganda (tagar) rush money.
“Jadi eskalasi pemidanaannya tidak hanya cukup UU ITE. UU TPPU harus dimasukan,” ucap Paku saat dihubungi reporter Tirto.
Karena itu, hukuman pada pelaku pun masih dapat diperberat dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang. Pasal 2 huruf z memungkinkan aktivitas tagar menjadi kejahatan asal tindak pidana pencucian uang selama memiliki hukuman minimal 4 tahun dan dengan catatan memperoleh hasil (harta kekayaan) dari kejahatannya.
Dengan diperolehnya keuntungan atau kekayaan berasal dari kejahatan tersebut, maka aktivitas ekonomi yang selanjutnya dilakukan pelaku terkait hasil kejahatan tersebut dapat dijerat pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam pasal 3,4, dan 5. Hal ini memberikan gambaran bahwa pelaku dapat dikenai dua UU sekaligus.
Lalu pada Pasal 69, jeratan UU TPPU ini pun juga dapat berdiri sendiri tanpa harus menunggu pembuktian tindak pidana asalnya. Dengan demikian, kata Paku, semula hanya berupa perkara UU ITE dapat langsung masuk ke UU TPPU. Ancaman hukumannya pun lebih berat yaitu maksimal 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar.
Paku menambahkan Pasal 6 UU TPPU ini juga dapat menjerat pelaku yang kedapatan bekerja secara terorganisir dan sistematis berbasis suatu kelompok berupa badan hukum atau bukan badan hukum. Hukumannya pun dapat berujung pada denda Rp100 miliar, pembekuan, pencabutan, dan pembubaran korporasi. Bila tak sanggup membayar asetnya dapat diambil negara.
Lalu sesuai Pasal 10 UU TPPU itu, kata Paku, seseorang yang membantu tindakan sang pelaku atau organisasi sentral terkait pencucian uangnya, dapat turut dikenakan hukuman serupa.
“Pelaku (penyebar) rush money dapat dipidanakan pencucian uang,” ucap Paku.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz