tirto.id - Sekitar 1940-an, Hasbi Ash-Shiddieqy menulis artikel berjudul “Memoedahkan Pengertian Islam.” Dalam tulisannya itu, Hasbi menyatakan pentingnya pengambilan ketetapan fikih dari hasil ijtihad yang lebih sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Tujuannya, Hasbi bilang, agar fikih tidak diperlakukan selayaknya barang asing sekaligus antik.
Ada kegamangan dalam tulisan Hasbi. Ia merasa prospek hukum Islam di Indonesia tidak begitu punya arah perkembangan yang jelas. Solusinya, menurut Hasbi, yakni meninjau kembali pengkultusan (taqdis) atas pemikiran mengenai hukum Islam dengan menempatkan sendi ijtihad baru. Konsep dan pemikiran hukum Islam yang sudah tak relevan, tegas Hasbi, harus segera dicarikan alternatif lain—yang lebih memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.
Gagasan Hasbi soal "fikih yang baru" ini berangkat dari kritikan Sukarno—dimuat dalam Panji Islam—yang mempertanyakan cara pandang para ulama yang dianggapnya konservatif, usang, dan, “tidak sesuai karakter bangsa Indonesia.”
Upaya Hasbi untuk mengenalkan gagasannya tentang fikih tak terlalu mulus. Sampai 1948, masyarakat tak kelewat merespons dengan baik pemikiran Hasbi. Namun Hasbi tak patah arang. Ia kembali menuangkan gagasannya dalam tulisan berjudul “Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat” yang dipublikasikan di majalah Aliran Islam.
Dalam artikel ini dijelaskan bahwa eksistensi hukum Islam, pada tataran praktis, rupanya telah sampai di tingkat dekadensi yang kritis; tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti, dan juga tidak berdaya guna. Keberadaannya tak lagi dianggap oleh umat sebab dirasa tidak sanggup mengakomodasi berbagai tuntutan perubahan zaman.
Hasbi menegaskan hukum Islam seharusnya mampu menjawab pelbagai persoalan baru, terlebih dalam segala cabang dari bidang muamalah yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia, kata Hasbi, juga mesti mampu hadir sekaligus berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah masyarakat. Pendek kata, Hasbi memaknai hukum Islam dalam bingkai law as a tool to social engineering—hukum dijadikan sebagai sarana rekayasa sosial.
Ditempa di Serambi Makkah
Ulama, ahli fikih, tafsir, hadis, intelektual, hingga pembaharu (mujaddid) Islam di Indonesia merupakan beberapa “gelar” yang disematkan kepada Hasbi Ash-Shiddieqy. Hasbi lahir di Lhokseumawe, Aceh, pada 10 Maret 1904. Sebagaimana dicatat Nourouzzaman Shiddiqi dalam Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya (1997), Hasbi berasal dari keluarga terpandang.
Ibunya, Tengku Amrah, merupakan putri dari Tengku Abdul Aziz yang memangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi. Sedangkan ayahnya, Tengku Muhammad Husen ibnu Muhammad Su’ud, adalah anggota rumpun Tengku Chik di Simeuluk Samalanga, yang keturunannya dikenal sebagai pendidik sekaligus pejuang yang gigih.
Sejak belia, Hasbi sudah mengenal dan belajar ilmu agama. Di usia delapan tahun, misalnya, Hasbi telah khatam Alquran. Setahun berselang, Hasbi kian mendalami agama, tepatnya tentang dasar-dasar tafsir serta fikih. Pada masa-masa ini pula Hasbi banyak menghabiskan waktu dari satu pondok ke pondok yang lain sebagai santri.
Memasuki 1920-an, Hasbi memutuskan mengembara hingga Surabaya untuk memantapkan ilmu agamanya dengan belajar di Al-Irsyad. Bekal yang ia dapatkan di Al-Irsyad lantas dipakai untuk mendirikan madrasah dengan nama yang sama di Aceh bersama Syaikh Alkali. Sayang, madrasah ini tak bertahan lama. Pemerintah keburu menutupnya sebab dianggap “kafir” lantaran madrasah tersebut menggunakan model pembelajaran secara klasikal.
Pada dekade 1950-an, Hasbi pindah ke Yogyakarta untuk mengajar di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) atas permintaan Menteri Agama saat itu, Wahid Hasyim. Karier Hasbi di dunia akademis perlahan menanjak selepas ia diangkat menjadi Gurubesar Ilmu Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, serta Dekan Fakultas Syariah di kampus yang sama pada 1960 sampai 1972.
Kegiatan Hasbi di dunia akademis mendorongnya untuk terus produktif menelurkan karya. Total, Hasbi telah membikin lebih dari 50 buku dengan tema bahasan yang beragam: sejarah Islam, politik, ilmu hadis, hingga tafsir Alquran.
Berusaha Keras untuk Fikih Indonesia
Hasbi dikenal sebagai intelektual Islam yang getol menyebarluaskan gagasan soal “fikih Indonesia.” Pada 1961, saat acara Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga, Hasbi membacakan orasi ilmiah berjudul “Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman.” Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa syariat Islam akan terasa relevan dipelajari agar dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat.
Akan tetapi, Hasbi berpandangan, usaha mengenalkan fikih dengan cita rasa Indonesia tak semudah membalikan telapak tangan. Hambatannya adalah ikatan emosional yang masih begitu kuat—fanatik dan taashub—antara mazhab tertentu dengan sebagian umat Islam Indonesia.
Sebagai solusinya, Hasbi lantas mengajak kalangan Perguruan Tinggi (PT) Islam di Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter khas yang mampu mengembangkan proyek fikih tersebut. Tujuan Hasbi sebetulnya sederhana: ia tak ingin hukum Islam dikenal serta dimaknai hanya dari dimensi ibadah.
Dalam perspektif Hasbi, fikih Indonesia adalah yang sesuai dengan kesadaran dan budaya hukum masyarakat. Hasbi tak ingin memaksakan penerapan fikih ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Aneksasi demikian, pikir Hasbi, tentu bakal sia-sia. Mempertimbangkan kehadiran aspek tradisi sebagai landasan pembentukan hukum Islam yang baru, dalam amatan Hasbi, menjadi satu keniscayaan. Hukum Islam memuat egalitarianisme yang memandang bahwasanya semua masyarakat punya posisi setara.
Hasbi menyatakan bahwa fikih Islam harus senantiasa berpijak pada prinsip keadilan dan kemanfaatan. Kedua prinsip ini diyakini dapat membawa ketertiban maupun kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat.
Implementasi gagasan Hasbi tentang “fikih Indonesia” kemudian diejawantahkan dalam wujud penolakan terhadap fatwa haram praktik jabat tangan antara pria dan perempuan, ibadah Jumat, hingga kenduri kematian.
Yang populer ialah pandangannya tentang zakat. Dalam perspektif Hasbi, wewenang untuk mengurus zakat ada pada pemerintah dan sudah satu paket dengan proyek penyelenggaraan kesejahteraan rakyat—baik muslim maupun non-muslim. Oleh karenanya, pungutan zakat seharusnya tidak hanya ditujukan kepada kaum muslim, akan tetapi juga kepada masyarakat non-muslim. Argumen Hasbi didasarkan pada poin bahwa hukum zakat, pada dasarnya, juga diberlakukan dalam semua agama.
Hasbi dan Tafsir Kitab Suci
Selain dikenal karena pandangannya akan fikih, Hasbi juga populer lewat kemampuannya dalam tafsir Alquran. Karya monumentalnya adalah Tafsir An-Nur. Hasbi mengerjakan Tafsir An-Nur dari 1952 hingga 1961, di sela-sela kesibukannya mengajar, memimpin fakultas, hingga jadi anggota Konstituante.
Motivasi Hasbi menulis kitab tafsir ini ialah munculnya keinginan menyebarluaskan kebudayaan Islam, ayat suci, maupun ajaran dan sunah rasul dalam bahasa Indonesia. Hasbi sadar, banyak masyarakat muslim yang kesulitan memahami tafsir dalam bahasa Arab. Untuk itulah ia berupaya membikin satu tafsir sederhana yang mudah dimengerti masyarakat Indonesia.
Penulisan kitab tafsir Hasbi merujuk pada beberapa kitab tafsir induk seperti Tafsir Al-Ma’tsur dan Tafsir Al-Ma’qul, maupun kitab tafsir yang menyarikan uraian tafsir induk macam Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Al-Manar, Tafsir Al-Qasimy, Tafsir Al-Maraghy, serta Tafsir Al-Wadhih.
Ketika membikin Tafsir An-Nur, mengutip Yunahar Ilyas dalam disertasinya berjudul “Konstruksi Gender dalam Pemikiran Mufassir Indonesia Modern: Hamka dan M. Hasbi Ash Shiddieqy” (2004), Hasbi menggunakan lima metode.
Pertama, menyebut ayat-ayat yang difirmankan untuk menjelaskan maksud menurut tertib mushaf. Kedua, menerjemahkan makna ayat dalam bahasa Indonesia agar mudah dipahami. Ketiga, menafsirkan ayat dengan merujuk pada makna yang asli. Keempat, melakukan tafsir ayat dengan ayat untuk membantu pembaca mengumpulkan ayat-ayat yang sepokok. Kelima, turut menerangkan sebab-musabab turunnya suatu ayat, dengan bantuan hadis yang shahih dan diakui oleh para ahli.
Howard M. Federspiel dalam Kajian Alquran di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab (1996) mengatakan bahwa Tafsir An-Nur memiliki kekhasan dibanding kitab lain macam Tafsir Al-Misbah, Tafsir Al-Azhar, maupun Tafsir Al-Furqan. Kekhasan tersebut, terang Howard, terletak pada bentuk penyajian dalam daftar isi.
Pada aspek ini, Hasbi tak menyajikan daftar isi secara umum, seperti yang dilakukan, misalnya, oleh Quraish Shihab yang hanya menyebutkan nama surat dan pembagian kelompok masing-masing ayat. Dalam tafsirnya, Hasbi mencoba mengemukakan makna atau maksud dari ayat tersebut.
Bersama Hamka, Mahmud Yunus, maupun A. Hassan, Hasbi, mengutip Ishlah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (2003), merupakan sosok terkemuka yang menulis tafsir genap 30 juz dengan model penyajian runtut (tahlili), sesuai dengan mushaf Utsmani.
Selepas membikin An-Nur, Hasbi kembali membuat tafsir yang kemudian diberi tajuk Al-Bayan. Kitab ini sering kali dipandang sebagai generasi kedua dari tafsir Hasbi, yang ditujukan untuk meningkatkan cakupan atas tafsir sebelumnya, secara komprehensif. Dalam beberapa hal, Tafsir Al-Bayan mengedepankan ajaran Alquran serta konteksnya di bidang keislaman. Karakter lain dari Al-Bayan yaitu sifatnya cenderung lebih “menerjemahkan” alih-alih “menafsirkan.”
Apa yang dilakukan Hasbi melalui kitab tafsirnya semakin membuktikan bahwa upayanya untuk mengenalkan ajaran agama sesuai dengan karakter, budaya, maupun pemahaman masyarakat Islam di Indonesia tidaklah terbatas. Hasbi, sejak awal, ingin (dan berharap) masyarakat Indonesia dapat dengan mudah mempelajari Islam, tanpa harus kehilangan jatidirinya.
==========
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan