Menuju konten utama

Haryono Suyono, Si Pengawal Keluarga Berencana & Pencetus Posyandu

Prestasi dan program BKKBN semakin kreatif di bawah Haryono Suyono. Pernah dituduh sebagai antek Amerika.

Haryono Suyono, Si Pengawal Keluarga Berencana & Pencetus Posyandu
Mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Prof. Dr. Haryono Suyono. (FOTO/Indriani)

tirto.id - Suatu hari, Haryono Suyono yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Chicago jatuh sakit. Kepalanya pusing dan badannya meriang karena terpaan cuaca dingin Amerika. Dia juga kurang istirahat kerena terlalu sibuk menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk.

Sebagai orang Indonesia tulen, Haryono menganggap itu sebagai masuk angin biasa. Solusinya cukup mudah: kerokan.

Namun, sakit kepalanya tidak reda juga setelah kerokan. Karena itu, Haryono meutuskan menemui dokter. Si dokter Amerika yang menanganinya justru lebih tertarik memeriksa tanda garis merah gelap bekas kerokan di badannya. Dokter itu sampai memanggil beberapa kawannya sesama dokter di rumah sakit Universitas Chicago untuk melihatnya.

Maklum, kerokan bukan hal yang lazim dalam pengobatan medis ala Barat sehingga dokter pun dibuat kebingungan.

“Dokternya sampai pakai kaca pembesar untuk melihat bekas kerokan itu. Saya cuma diam sambil ketawa saja. Hidup ini kadang-kadang dagelan juga,” kenang Haryono yang menceritakan kejadian itu di usianya yang kini menginjak 82 tahun lebih beberapa bulan.

Haryono Suyono lahir di Pacitan, Jawa Timur, pada 6 Mei 1938. Dia adalah satu dari deretan pejabat penting di era Orde Baru. Di masa Reformasi, dia sempat menjabat sebagai Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan dalam Kabinet Reformasi Pembangunan.

Di masa Orde Baru, Haryono dikenal sebagai “penjaga demografi” Indonesia. Kebijakan-kebijakannya selama bekerja di Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) boleh diajukan sebagai penegas julukan itu.

Prestasi Haryono selama kuliah di Amerika boleh dibilang moncer. Dia berhasil meraih gelar sarjana, master, dan doktor sekaligus dalam waktu yang singkat, dua tahun dan tiga bulan saja. Sebelum kembali ke Indonesia, dia juga sempat menjadi asisten dosen dan mengerjakan beberapa proyek penelitian. Konon, ketika menjadi asisten peneliti, dia mulai dikenal dengan panggilan akrab Mr. Hary. Pasalnya, orang-orang Amerika kesulitan menyebut nama Haryono.

Haryono muda mengawali karir profesionalnya di Biro Pusat Statistik (BPS) pada 1965. Kariernya meroket dalam waktu nisbi singkat. Dari mulanya seorang pegawai biasa, Haryono lalu ditarik ke bagian konsultasi dan humas di kantor pusat BPS.

Masa kerja di BPS ini rupanya mengasah ketertarikan Haryono pada bidang kependudukan. Dia aktif menyebarkan kesadaran statistik kepada berbagai penentu kebijakan publik. Kedekatannya dengan wartawan juga dimanfaatkan untuk menyebarluaskan hasil-hasil survei rutin BPS yang diyakini akan memberikan perspektif penting bagi pembangunan.

Dari Pos KB hingga Posyandu

Diskursus seputar kependudukan sebetulnya sudah sejak lama diangkat oleh para ahli di Indonesia. Widjojo Nitisastro, misalnya, pernah menerbitkan penelitian berjudul Penduduk dan Pembangunan Indonesia pada 1954. Studi itu dia tulis bersama Nathan Keyfits, ahli demografi asal Kanada yang kala itu bertugas di Biro Perancang Negara—cikal bakal BAPPENAS.

Setelah itu, Widjojo bahkan melanjutkan penelitian doktoralnya di Berkeley dan menulis disertasi berjudul Migration, Population, Growth and Economic Development in Indonesia: A Study of the Economic Consequences of Alternative Patterns of Inter-Island Migration. Disertasi itumerupakanstudi mendalam tentang dimensi demografis yang wajib diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan jangka panjang di Indonesia.

Diskursus kependudukan ini diteruskan oleh Haryono muda ketika menjadi pejabat BPS. Namun demikian, tugasnya berkembang lebih kompleks dari masalah itu. Beberapa aspek ekonomi juga menjadi wilayah tanggung jawabnya.

Maklum, Haryono aktif di BPS kala negara sedang giat menurunkan tingkat inflasi yang sempat mencapai 600 persen.

Pada Mei 1969, Haryono mendapat kesempatan untuk berangkat ke Amerika dan menempuh pendidikan di Universitas Chicago. Usai meraih gelar Doktor bidang Sosiologi, dia kembali mengabdikan diri di BPS. Kali ini, dia sekaligus merangkap bekerja untuk BKKBN. Di lembaga inilah, Haryono kemudian dipercaya menjadi deputi di bidang pengembangan.

Kala itu, sesuai aturan, masyarakat yang akan mengikuti program KB diminta datang ke klinik daerah. Haryono melihat prosedur itu sebagai sebuah kejanggalan. Menurutnya, klinik adalah tempat khusus untuk berobat. Oleh karena itu, dia berinisiatif menyediakan pos-pos pelayanan KB yang berdiri sendiri di luar klinik. Dia lantas menyampaikan ide itu kepada Kepala BKKBN Suwardjono Suryaningrat.

“Nantinya, tempat khusus program KB ini dibuat agar masyarakat lebih tertarik dan tujuan program ini dapat tercapai,” kata Haryono sebagaimana dikutip laman Media Publica.

Haryono dapat kesempatan menyempurnakan gagasan dan programnya kala diangkat menjadi Kepala BKKBN pada 1983. Dia naik menggantikan Suwardjono yang diangkat Soeharto jadi Menteri Kesehatan.

Haryono punya rencana untuk meningkatkan kualitas Pos KB di desa-desa. Sementara itu, Suwardjono ingin membangun pos-pos kesehatan di desa-desa. Merasa memiliki kesamaan visi, Haryono pun mengusulkan agar dua program itu dikolaborasikan saja.

“Saya bilang, Pak, daripada bapak bikin pos kesehatan dari awal dan belum tentu sesukses Pos KB, lebih baik kita buat saja pos kesehatan atau KB terpadu, sehingga dapat melayani KB dan kesehatan. Jadi pos KB desa itu kita ubah menjadi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu),” kata Haryono.

Ketua BKKBN

Haryono tidak mengawali tugas barunya sebagai Kepala BKKBN dengan mulus. Di tengah tuntutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas SDM dalam skala nasional, dia terbentur isu-isu klasik seperti agama dan budaya.

Sebagian kalangan meyakini bahwa pembatasan kelahiran itu bertentangan dengan ajaran agama tertentu. Di sisi lain, masih banyak orang percaya pada pepatah lawas “banyak anak banyak rezeki”. Dua isu ini menjadi tantangan tersendiri bagi kampanye KB yang dijadikan program unggulan pemerintah.

“Kalau dulu banyak anak banyak rezeki, sekarang kita mau bilang bahwa dalam satu keluarga cukup dua anak saja, yang penting segala kebutuhan mulai kesehatan sampai pendidikan bisa tercukupi”, kata Haryono.

Program KB bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan pembatasan kelahiran. Untuk mencapai tujuan itu, di masa awal kepemimpinan Haryono, BKKBN menjalankan pendekatan baru melalui koordinasi aktif yang mencoba menyelaraskan peran pemerintah dan masyarakat. Selain itu, BKKBN juga memiliki pendekatan strategis berupa pembagian wilayah untuk mengimbangi laju pelaksanaan program.

Usaha panjang BKKBN akhirnya berbuah manis pada awal 1987, kala Presiden Suharto mencanangkan program KB Mandiri. Dengan program ini, pemerintah mendorong masyarakat menjadi peserta KB dengan kesadaran sendiri. Program itu disosialisasikan ke masyarakat dengan memperkenalkan penyediaan tempat-tempat pelayanan dengan logo lingkaran biru (LIBI) KB.

Program KB dilanjutkan kembali dalam PELITA V pada periode 1988-1993. Kala itu, BKKBN melakukan terobosan penting, yaitu peningkatan kampanye KB LIBI yang terbatas menjadi KB Lingkaran Emas (LIMAS). Pada tahap ini, program KB berhasil mengembangkan tawaran 16 jenis kontrasepsi. Pada periode ini pula, pemerintah menerbitkan UU No. 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Program-program BKKBN di bawah Haryono juga semakin variatif. Untuk mewujudkan keluarga kecil sejahtera, BKKBN membuat program penundaan usia perkawinan, penjarangan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan.

Infografik Haryono Suyono

Infografik Haryono Suyono. tirto.id/Quita

Prestasi dan Kontroversi

Keberhasilan berbagai program kependudukan membuat BKKBN mendapat pengakuan dunia. Majalah Tokoh Indonesia edisi ke-26 (2006) mencatat BKKBAN era Haryono memperoleh dua kali Development Management Awards dari lembaga manajemen yang berpusat di Filipina, Jepang, dan Hong Kong. Haryono juga diakui sebagai satu dari 50 tokoh kependudukan versi majalah Time.

Namun, seperti diakuinya sendiri, Haryono tidak terlepas dari kontroversi sebagai pejabat publik. Sempat ada beberapa pihak yang diam-diam menuduhnya sebagai kaki tangan Amerika.

Haryono dianggap membantu Amerika menjalankan kepentingannya di Indonesia karena berkali-kali berhasil meyakinkan investor asing untuk menanamkan modalnya di berbagai lembaga dalam negeri. Penghargaan kependudukan yang diberikan PBB kepada Soeharto pada 1989 juga dianggap sebagai hasil lobi Haryono.

“Proposal program saya yang banyak minta itu-itu dikasih saja dan didukung sisi pendanaannya. Lama-lama orang curiga ini apa pak Haryono antek asing? Padahal, saya pikir itu yang harus dijalankan supaya program bisa sukses dalam jangka panjang. Tujuannya, kan, membangun rakyat yang sejahtera,” kata Haryono.

Baca juga artikel terkait BKKBN atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi