tirto.id - Hari Raya Galungan 2022 jatuh pada hari Rabu, 8 Juni 2022. Kemudian, selang 10 hari dari perayaan Hari Raya Galungan, maka baru diperingati Hari Raya Kuningan pada tanggal 18 Juni 2022.
Lantas, apa yang membedakan antara kedua upacara penting agama Hindu di Bali tersebut?
Perbedaan Hari Raya Galungan dan Kuningan
Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti bertarung. Galungan juga kerap disebut dengan “dungulan” yang berarti menang. Perbedaan penyebutan wuku Galungan (di Jawa) dan Wuku Dungulan (di Bali) memiliki arti yang sama, yakni wuku yang kesebelas.
Perayaan Hari Raya Galungan umat Hindu di Bali dilakukan dengan bersembahyang di Pantai Padanggalak, Denpasar. Hari Raya Galungan secara filsofis bermakna bahwa supaya umat Hindu mampu membedakan dorongan dalam diri antara adharma (keburukan) dan budhi atma (dharma/kebaikan).
Hari Raya Galungan menekankan bahwa kebahagiaan akan diraih apabila kebaikan dapat melawan keburukan dalam diri. Dilansir laman resmi Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan, berikut ini makna Galungan dalam lontar Sunarigama:
“Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep (Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.)”
Inti dari Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani supaya umat Hindu mendapat pendirian serta pikiran yang terang, yang merupakan wujud dharma dalam diri manusia.
Sementara itu, peringatan 10 hari pasca Hari Raya Galungan ialah Hari Raya Kuningan. Dilansir dari laman Kecamatan Buleleng, Hari Raya Kuningan diperingati umat Hindu dengan cara memasang tamiang, kolem, dan endong.
Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra, Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa, sedangkan Endong tersebut adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan Leluhur saat berperang melawan adharma.
Pada Hari Raya Kuningan, umat Hindu Bali percaya bahwa para Dewa, Bhatara, yang diiringi para Pitara turun ke bumi hingga tengah hari. Oleh karena itu, mereka melakukan pemujaan selama setengah hari kepada para Dewa untuk memohon keselamatan, kedirgayusan, perlindungan, dan tuntunan lahir-batin.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa Hari Raya Kuningan ialah upacara menghaturkan sesaji pada pagi hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan. Inti dari Hari Raya Kuningan adalah memohon keselamatan, kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan lahir-batin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Yulaika Ramadhani