tirto.id - Hari Puisi Nasional diperingati setiap tanggal 28 April. Penentuan tanggal ini sangat erat kaitannya dengan kepergian Chairil Anwar, penyair terkemuka Indonesia.
Chairil Anwar terkenal dengan gagasan puisinya yang mendobrak. Puisi “Aku", yang ditulis tahun 1943, dimuat di majalah Timur pada 1945, dianggap sebagai puisi yang besar pengaruhnya pada Angkatan 45.
“Sebagai orang yang pertama-tama merintis jalan dan membentuk aliran baru dalam kesusastraan Indonesia, ia dapat dikatakan orang yang terbesar pengaruhnya dari Angkatan 45," tulis Artati Sudirdjo seperti dikutip H.B. Jassin dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956).
Sejarah Hari Puisi Nasional
Puisi berjudul “Aku” merupakan karya penyair terkenal Chairil Anwar yang sangat menginspirasi.
Chairil Anwar lahir pada 26 Juli 1922 dan wafat 28 April 1949. Bertepatan untuk mengenang kepergian penyair ini, Indonesia juga memperingati Hari Puisi Nasional pada 28 April.
Chairil Anwar terkenal dengan gagasan puisinya yang mendobrak. Puisi “Aku", yang ditulis tahun 1943, dimuat di majalah Timur pada 1945, dianggap sebagai puisi yang besar pengaruhnya pada Angkatan 45.
Puisi-puisi Chairil seperti para pejuang kemerdekaan di zamannya, juga banyak berisi perlawanan dan semangat merdeka.
Dengan ditetapkannya Hari Puisi Nasional, maka masyarakat memiliki hari nasional sebagai sumber inspirasi untuk memajukan kebudayaan Indonesia.
Profil Singkat Chairil Anwar
Dijuluki "Si Binatang Jalang", Chairil lahir sebagai anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha.
Sang ayah berasal dari Nagari Taeh, Kabupaten Limapuluh Kota, sedangkan ibunya berasal dari Kota Gadang.
Dari pihak ibu, Chairil ada pertalian dengan Mohamad Rasad, ayah Sutan Sjahrir dan wartawan perempuan Rohana Koedoes.
Beberapa sumber lain menyebut Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922. Chairil suka membaca buku sejak kecil.
Saat ia masih duduk di HIS dan MULO (sekolah yang setara SD dan SMP) Chairil malah sudah melahap buku-buku untuk siswa HBS, tingkat SMA saat itu.
Kecintaannya pada literasi membawanya bertemu teman-teman sastrawan lain macam Subagyo Sastrowardoyo, H.B. Jassin dan lainnya.
Nama Chairil Anwar makin terkenal saat tulisannya dimuat pada Majalah Nisan di tahun 1942. Selain puisi perjuangan "Siap Sedia" yang kontroversial bagi penjajah Jepang, dia juga membuat puisi "Aku".
Puisi tersebut diterbitkan di Majalah Timur pada tahun 1945. Puisi "Aku" dianggap sebagai pendobrak cara berpuisi bagi sebagian khalayak. Puisi yang sebenarnya sudah dibuat Chairil dua tahun sebelumnya itu membuatnya dijuluki "Binatang Jalang".
Chairil pernah menikah dengan Hapsah Wiriaredja, meskipun hanya dua tahun, 6 Agustus 1946 hingga akhir tahun 1948 saja. Bersama Hapsah, Chairil mempunyai anak Evawani Alissa.
Setelah bercerai, Chairil tak produktif berkarya lagi. Kesehatan Chairil pun memburuk. Ia bahkan harus dilarikan ke CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) Jakarta.
Paru-paru Chairil terjangkiti Tuberculosis (TBC), hingga akhirnya meninggal pada 28 April 1949 di umur yang belum genap 27 tahun.
Puisi-Puisi Chairil Anwar
HB Jassin menyebut setidaknya Chairil menghasilkan 94 tulisan pada periode 1942 hingga1949. Itu termasuk 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, serta 4 prosa terjemahan.
Puisi-puisi Chairil seperti para pejuang kemerdekaan di zamannya, juga banyak berisi perlawanan dan semangat merdeka.
Pada zaman pendudukan Jepang, Chairil menggambarkan siksaan Kenpeitai Polisi Rahasia Jepang dalam puisinya “Siap Sedia".
“Kawan, kawan. Mari mengayun pedang ke dunia terang," tulis Chairil seperti dikutip HB Jassin dalam Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1969).
Dunia terang yang dimaksud oleh Chairil adalah Jepang. Karena puisi itu pula ia ditahan.
Menurut Ray Rizal, dalam biografi Affandi Hari Sudah Tinggi, pelukis Affandi -- sahabat yang tak pernah merasa paham dengan puisi Chairil -- merasakan kehilangan yang mendalam.
Setelah Chairil meninggal, Affandi berusaha merampungkan lukisannya untuk Chairil yang kemudian diberi judul “Chairil Anwar” (1949).
Tak hanya Affandi, kawan-kawan lain pun merasa kehilangan.
“Chairil Anwar tak mengenal konvensi, kurang ajar, tak tahu adat. Akan tetapi sesuatu yang mengherankan dari padanya ialah, bahwa ia senantiasa disayangi dan dicintai kawan-kawan yang mengenalnya,” kenang Bapak Film Usmar Ismail, seperti dikutip Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Jamannya (2011).
Sjahrir, sang paman juga mengenang Chairil sebagai manusia yang keliarannya tak bisa diukur dengan ukuran-ukuran normatif masyarakat.
“Sebenarnya, untuk Chairil ini harus dimintakan maaf atas segala perbuatannya. Akan tetapi, hal semacam ini tak dapat dilakukan karena ukuran kita yang biasa tak dapat digunakan untuk dia,” ungkapnya.
Bagi generasi 2000-an dan setelahnya, dengan “Aku” lah Chairil dikenang:
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar (Maret 1943)
Editor: Yulaika Ramadhani