tirto.id - Tanggal 23 Juli 1984, tepat hari ini 35 tahun lalu, boleh jadi merupakan salah satu hari penting dalam hidup Soeharto. Pasalnya, selain anak ketiganya, Bambang Trihatmodjo, genap berusia 31 tahun; di tanggal itu pula untuk pertama kalinya dalam sejarah pemerintah menggelar perayaan Hari Anak Nasional (HAN).
“[...] dari Istana Negara ini, saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada seluruh anak Indonesia. Bergembiralah dan tumbuhlah menjadi anak-anak yang sehat, cerdas, taat kepada orang tua, patuh kepada bapak dan ibu guru, taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan cinta kepada Tanah Air kalian yang indah dan luas ini,” kata Soeharto.
HAN diresmikan lewat Kepres Nomor 44 Tahun 1984 yang diteken 4 hari sebelum perayaan. Perayaan HAN yang pertama ditandai dengan Konperensi Nasional Pembinaan dan Pengembangan Kesejahteraan Anak di Istana Negara, yang digelar berbarengan dengan Kongres ke-4 KNPI di Binagraha.
Tiga puluh dua tahun setelah HAN perdana dirayakan, survei Varkey Foundation di Inggris (September-Oktober 2016) menyebut anak-anak Indonesia yang berusia 15-21 tahun adalah anak-anak paling bahagia di dunia—dengan skor bersih 90 persen.
“Ini mungkin menunjukkan bahwa tinggal di negara yang relatif makmur dan maju secara ekonomi tak serta merta menjamin kebahagiaan," terang tim peneliti Varkey Foundation, sebagaimana dilansir BBC.
Survei tersebut juga menerangkan saat anak-anak muda di berbagai negara merasa pesimis dengan masa depan mereka, anak-anak muda di Indonesia, Cina, dan India justru menunjukkan optimisme.
“Bagi anak-anak muda di Indonesia, optimisme masa depan disebabkan nilai-nilai yang mendukung perdamaian yang dipegang mereka, sementara kekhawatiran terbesar di masa depan adalah konflik dan perang.”
Namun demikian, temuan “Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNHPAR) 2018” yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) penting diperhatikan. Salah satu temuan survei tersebut mengatakan: 3 dari 4 anak melaporkan bahwa pelaku kekerasan (emosional dan fisik) adalah teman atau sebaya.
Salah satu kelompok responden pada temuan di atas adalah anak-anak di rentang umur 13-17 tahun. Dengan demikian, selain rentan menjadi korban, anak-anak juga rentan menjadi pelaku kekerasan—hal yang membuat mereka rentan menyandang status ABH (Anak Berhadapan Hukum).
Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar menyebutkan 9,9 juta anak rentan terhadap kekerasan. Dan terkait hal tersebut, ia juga menegaskan pihaknya tak akan tebang pilih dalam memandang sekaligus menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap anak.
"Korban anak maupun pelaku anak harus tetap menjadi perhatian kami," kata Nahar.
Psikolog Anak dan Remaja Irma Gustiana menyatakan, anak yang bertindak kriminal biasanya disebabkan oleh kurang kasih sayang, sehingga mencari pemuasan psikologis di luar.
“Sedangkan dari sisi eksternal seperti lingkungan pergaulan, seorang anak bisa menjadi pelaku kriminal demi mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebayanya,” kata Irma kepada Tirto.
Keluarga Berkualitas
"Anakmu bukanlah anakmu," kata Kahlil Gibran. Ujaran ihwal anak-anak bukan milik orang tua, namun “milik kehidupan”, menjadi penting karena orang tua sering gagap memahami mengapa sikap anak-anak di dalam rumah bisa sangat berbeda dengan di luar rumah. Kegagapan ini membuat orang tua sering kerepotan memahami anaknya sendiri.
Contoh terbaik mengenai kasus di atas barangkali adalah David Kim, sosok ayah dalam film Searching. Saat Margot, anaknya, hilang, Kim berkali-kali menegaskan “I know my daughter”. Merasa diri tahu betul soal putri semata wayangnya, apa yang tidak diketahui Kim mengenai Margot ternyata jauh lebih besar ketimbang apa-apa yang ia ketahui. Dalam konteks semacam itulah perilaku baik-baik seorang anak di rumah, dalam keluarga baik-baik, tidak seharusnya diterima begitu saja.
Kim dan Margot memang hidup di layar lebar. Namun tak berlebihan bila menyebut kondisi keluarga-keluarga di Indonesia juga punya persoalan yang berdekatan. Karenanya, saat Kemen PPPA menetapkan “Peran Keluarga dalam Perlindungan Anak” sebagai tema perayaan HAN tahun ini dan “Kita Anak Indonesia, Kita Gembira” sebagai slogan kegiatan, kita patut menyambutnya.
Elizabeth Santosa, psikolog sekaligus penulis buku Raising Children in Digital Era menilai seorang anak layak bahagia, bergembira, sebab hal demikian punya peran dalam membentuk kesadaran diri, manajemen diri, serta kemampuan sosial anak—termasuk dalam soal mengambil keputusan—menjadi lebih baik.
“Perhatikan jam tidur anak, berikan cinta tanpa syarat, dukung kompetensi mereka, dan terakhir, pastikan anak makan tepat waktu serta berikan mereka makanan yang bergizi,” kata Eliza, soal kiat-kiat membuat anak-anak bahagia, seperti dikutip Suara.
Tiap orang tua tentu memiliki pendekatan yang berbeda dalam mendidik anak. Namun, kita sepakat: apa pun caranya, semua pendekatan tersebut pada dasarnya dilakukan agar anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Negara bisa turut ambil bagian, salah satunya dengan membuat road map pengasuhan berbasis hak anak.
“Kualitas pengasuhan dan keluarga sangat penting dalam upaya-upaya perlindungan anak,” kata Sekretaris Menteri PPPA Pribudiarta Nur Sitepu.
Ia menambahkan, tujuan HAN dirayakan adalah memunculkan kepedulian semua pihak untuk mewujudkan lingkungan yang berkualitas bagi anak dan arti penting peningkatan kualitas anak melalui pola pengasuhan yang berkualitas.
“Anak adalah harapan dan investasi bangsa Indonesia di masa depan. Kualitas anak-anak akan menentukan Indonesia menjadi bangsa yang kuat atau lemah,” pungkasnya.
Jika anak-anak Indonesia tumbuh dengan kualitas yang menjanjikan, publik patut menyadari bahwa hari esok akan lebih baik dari hari sekarang—dan kita percaya hal itu bukanlah utopia.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis