tirto.id - Dalam seminar di Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Senin (21/7/2020) lalu, Menteri Sosial Juliari Batubara mengusulkan agar rokok “kalau bisa harganya mahal, satu bungkus minimal Rp100 ribu” agar tak bisa lagi diakses anak-anak. Harga rokok saat ini terlalu murah, katanya, “bahkan bisa dijual ketengan” atau batangan.
Konsumsi rokok oleh anak dan remaja di Indonesia terus meningkat, menurut Riset Kesehatan Dasar 2018 (PDF). Anak perokok mencapai 7,2 juta atau naik 1,6 juta dibanding lima tahun sebelumnya.
Selain membuat akses anak terhadap barang ini terputus, menurutnya kebijakan ini juga baik buat negara karena bisa “dapat cukai lumayan.”
Aktivis Koalisi Warga untuk Jakarta Bebas asap Rokok Abdillah Ahsan menegaskan kebijakan ini, jika benar direalisasikan, “sangat cocok untuk menurunkan konsumsi rokok di kalangan anak-anak.” Ia juga menegaskan ada implikasi positif kenaikan rokok terhadap penerimaan negara.
Kepada reporter Tirto, Selasa (21/7/2020), Abdillah, juga Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (UI), mengatakan jika rokok dibanderol Rp100 ribu, berarti harganya naik tiga kali lipat dari nilai termahal saat ini. Dengan harga semahal itu, maka tarif cukai bisa mencapai Rp57 ribu per bungkus dan penerimaannya bisa naik dua kali lipat.
Cukai hasil tembakau berkontribusi Rp72,91 triliun atau setara 96 persen dari total penerimaan cukai Juni kemarin, Rp75,38 triliun. Bulan lalu, hanya penerimaan cukai yang tumbuh positif, yaitu sebanyak 13 persen. Sisanya buruk. Pajak perdagangan internasional minus 5,8 persen, PPh non migas minus 10,5 persen, dan PPh migas minus 12 persen. PNBP saja tumbuh minus 11,8 persen.
Keuntungan dari kenaikan cukai ini bisa dipakai banyak hal, termasuk membantu petani terdampak dengan program alih tanam, katanya.
Merugikan Petani
Pernyataan Juliari nampaknya belum akan direalisasikan. Mungkin pula hanya sekadar usul yang tidak ditanggapi pihak lain. Namun, tetap saja pernyataannya menimbulkan kekhawatiran pihak paling terdampak: petani tembakau.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno menolak kenaikan harga rokok secara drastis lantaran bakal membunuh petani. Logikanya sederhana: harga rokok yang tiba-tiba naik drastis membuat konsumen enggan membeli. Permintaan yang berkurang membuat pabrik rokok mengurangi produksi. Saat produksi berkurang, maka penyerapan tembakau di petani pun anjlok.
Sampai sini efeknya bagi petani bermacam-macam, mulai dari turunnya daya beli sampai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk anak.
“Masak menyelamatkan anak di satu sisi tapi membunuh yang lain? Anak-anak petani tembakau bisa sekolah karena bapaknya memanen tembakau,” ucap Soeseno saat dihubungi reporter Tirto.
Soesono menjelaskan saat cukai rokok naik 23 persen pada 2019 dan diikuti kenaikan harga eceran sebesar 35 persen, serapan tembakau pabrik dari petani langsung turun. Untungnya, waktu itu petani masih terbantu lewat penyesuaian ongkos produksi untuk membantu harga jual rokok tetap terjaga sehingga anjloknya serapan tembakau tidak terlalu parah.
Soeseno bilang belum ada data terkait penurunan tahun lalu. Yang pasti, jika harga rokok naik menjadi Rp100 ribu seperti usulan Mensos, praktis penurunan penyerapan yang terjadi bisa lebih hebat. “Serapan bisa turun lebih dari 50 persen di petani tembakau,” katanya.
Ketua Media Center Hananto Wibosono Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengatakan pemerintah perlu lebih peka dalam membuat kebijakan. Kepekaan semakin diperlukan saat ini, ketika hampir semua sektor terdampak pandemi. Kebijakan terkait harga rokok, katanya, bagaimanapun akan berdampak terhadap sekitar 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan, buruh di pabrikan 4,28 juta orang, dan banyak lagi di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT).
“Ketika pemerintah menaikkan cukai dan harga eceran, masyarakat tembakau merasakan imbasnya. Turunnya produksi dan penjualan rokok ini turut berdampak buruk pada kesejahteraan petani,” ucap Hananto kepada reporter Tirto.
Ia mengatakan kenaikan cukai tiap tahun berbanding terbalik dengan jumlah pabrik rokok kecil. Pada 2011 lalu ada 1.540 pabrik rokok skala kecil, dan dua tahun lalu telah menyusut menjadi hanya 751. Angkanya mungkin semakin sedikit jika memperhitungkan imbas kenaikan cukai tahun lalu.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino