Menuju konten utama

'Harga' Indeks Manufaktur Naik: Merebaknya Klaster Corona di Pabrik

Indeks manufaktur naik menandakan ekonomi membaik. Tapi ini dibayar dengan harga mahal: munculnya klaster COVID-19 di pabrik-pabrik.

'Harga' Indeks Manufaktur Naik: Merebaknya Klaster Corona di Pabrik
Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT. Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.

tirto.id - Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia terus meningkat. Angkanya mencapai 50,8 poin Agustus lalu. Ini pertama kalinya zona positif terlampaui--di atas batas netral 50 poin--dan menjadi penanda bisnis manufaktur berekspansi.

PMI Indonesia sempat terpuruk hingga posisi terendah 27,50 poin pada April, membaik menjadi 28,6 (Mei), 39,1 (Juni), dan 46,9 (Juli).

IHS Markit, yang menghitung PMI, menyatakan perbaikan disebabkan peningkatan produksi dan pesanan baru seiring pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Peningkatan itu terjadi mengikuti perbaikan permintaan klien maupun domestik, meski ekspor masih lemah.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menilai perbaikan ini jadi salah satu indikator perekonomian mulai membaik. Dalam keterangan tertulisnya, Selasa (1/9/2020), Agus berkata, “ini merupakan kabar gembira.”

Tapi pencapaian ini harus ditebus dengan harga yang mahal, yakni munculnya klaster COVID-19 di pabrik.

Klaster pabrik salah satunya muncul di Kabupaten Bekasi, kawasan industri di Jawa Barat. Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) COVID-19 Kabupaten Bekasi bahkan menyatakan industrilah penyumbang kasus positif terbanyak, Senin (31/8/2020). Kurang dari dua pekan, gugus tugas mendapat laporan tiga klaster besar dengan total 406 kasus. Rinciannya: PT LG Electronics Indonesia (248), PT Suzuki Indomobil (70), dan pabrik suku cadang PT NOK Indonesia (88).

Daftar ini belum termasuk klaster yang muncul Juli (PT Unilever Indonesia dan PT Hitachi) dan Mei (PT Denso Indonesia).

Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi bahkan mencatat ada 30 perusahaan yang melaporkan karyawannya positif. Ironisnya, ruang isolasi kabupaten dilaporkan penuh sampai-sampai gugus tugas harus mengirim pasien ke wilayah lain.

Ada pula klaster industri Banten dengan 43 kasus positif pada Senin (24/8/2020). Sehari kemudian, dilaporkan klaster industri dengan 16 kasus muncul di pabrik di Probolinggo, Jawa Timur. Lalu ada klaster industri di Semarang, Jawa Tengah dengan hampir 300 kasus pada Juli. Pada Mei, dua perusahaan di Jatim menjadi klaster, yaitu PT Hanjaya Mandala Sampoerna dan pabrik rokok Mustik.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan munculnya klaster industri adalah ironi dari pencapaian ekonomi yang dibanggakan pemerintah. Saat ekonomi tumbuh, jumlah kasus positif meningkat dan lebih banyak nyawa terancam.

Pandu bilang pembukaan aktivitas ekonomi sebenarnya sah-sah saja, tetapi harus dijamin tak menciptakan klaster baru bahkan harus menyentuh nol. Dalam hal ini peran pemerintah menjadi penting, bukan satgas yang fokus utamanya adalah pemulihan ekonomi, bukan kesehatan warga. Ia mengingatkan pemerintah memiliki tanggung jawab moral mencegah penularan dan kematian.

“Menteri yang urusin punya tanggung jawab moral. Itu yang kami pertanyakan. Sekarang era pandemi bisa berdampak pada kematian. Kematian yang seharusnya bisa dicegah,” ucap Pandu saat dihubungi Rabu (2/8/2020).

Selain itu, ia juga bilang perusahaan perlu mengeluarkan sedikit investasi. Misalnya untuk edukasi para karyawan, membelikan mereka masker, bahkan insentif bagi yang mematuhi protokol kesehatan.

Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan perlu ada evaluasi prosedur dan protokol kesehatan di industri terutama padat karya--yang rentan penyebaran. Sebab jika kenaikan PMI tidak disertai dengan penurunan kasus, bukan tak mungkin indeks akan turun lagi. Saat terjadi penularan, pabrik harus ditutup atau produksi dipangkas. Belum lagi jika penyebaran semakin tak tertangani dan memaksa penerapan PSBB yang memukul PMI pada titik 27 poin di April 2020.

“Masih tingginya kasus COVID-19 juga berdampak pada lambatnya proses pemulihan ekonomi sehingga bukan tidak mungkin PMI akan kembali terkontraksi jika PSBB kembali diberlakukan,” ucap Yusuf.

Yusuf juga mengingatkan pada Agustus sudah terjadi deflasi yang kedua setelah Juli. Inflasi inti Agustus saja hanya 2,03%, lebih rendah dari 2019 yang 3,3%, pertanda pelemahan daya beli dan permintaan. Hal ini menjadi ironi lantaran saat pemerintah menggenjot suplai, kenyataannya tidak direspons dengan permintaan yang memadai lantaran COVID-19 masih tampak tak tertangani.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan sektor industri memang rentan menjadi klaster penyebaran. Namun pembukaan tetap bisa berjalan selama mematuhi protokol kesehatan. Oleh karenanya ia meminta para pekerja disiplin mengikuti protokol kesehatan.

Kementerian Ketenagakerjaan dan Kemenperin katanya juga sudah menerbitkan aturan dan melakukan pengawasan. Namun ia menegaskan pengawasan utama tetap berada di pundak pengelola industri.

“Mohon agar peraturan ini dipatuhi,” ucap Wiku dalam konferensi pers daring, Selasa (1/9/2020).

Baca juga artikel terkait KLASTER COVID-19 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino