tirto.id - Ada harapan yang menyentil muncul saat timnas Indonesia U-22 bersua dengan timnas Myanmar U-22 pada Selasa (21/3) di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor. Tidak hanya hasil kemenangan yang meyakinkan, harapan ini juga menginginkan permainan dahsyat penuh dominasi seperti yang pernah ditunjukkan Indra Sjafri untuk timnas Indonesia U-19 kala menjuarai Piala AFF U-19 2003.
Ada beberapa alasan kenapa harapan ini ada. Alasan-alasan yang rasa-rasanya cukup masuk akal.
Pertama, keberadaaan pemain-pemain alumnus U-19 seperti M. Hargianto, Paulo Sitanggang, Hansamu Yama Pranata, sampai ace timnas: Evan Dimas Darmono. Nama-nama yang dalam sejarah timnas Indonesia, menjadi satu-satunya barisan pemain yang pernah menampilkan dominasi mutlak di atas lapangan terhadap lawan-lawannya.
Paling tidak sejak juara Piala AFF U-19 sampai persiapan uji coba menuju PIala Asia U-19, dalam setiap pertandingan masyarakat Indonesia merasa terlampiaskan hasrat melihat timnas bermain dengan umpan satu-dua, memecundangi penguasaan bola lawan, bermain dengan build-up yang rapi. Hasrat yang sudah pernah terpenuhi—sekalipun akhirnya terbukti tidak berhasil di level Asia—tetap saja kita ingin sekali merasakannya lagi lewat timnas persiapan Sea Games ini.
Kedua, melawan Myanmar skuad menjanjikan alumnus U-19 dikombinasi dengan bakat-bakat organik dari kompetisi dalam maupun luar negeri. Ada Febri Haryadi yang sempat mencuri perhatian bersama Persib Bandung satu musim terakhir. Kecepatan dan kemampuan pemain jebolan SSB Pro UNI Bandung ini sangat menonjol.
Ada juga Gian Zola Nasrullah yang pernah menjadi pemain terbaik Asia Pasifik dalam turnamen Manchester United Premier Cup (MUPC) pada 2013 di Trafford Training Centre, Manchester Inggris, yang juga bermain di Persib Bandung. Dan ada Ezra Walian, pemain naturalisasi Belanda yang memperkuat Jong Ajax. Mereka disebut-sebut akan memberi dampak instan positif layaknya kedatangan Irfan Bachdim atau Stephano Lilipaly di periode timnas sebelumnya. Keberadaan ketiganya tentu menjadi bukti bahwa program Pelatnas jangka pendek, sudah tidak lagi relevan digunakan dalam era sepak bola modern saat ini.
Ketiga, faktor Luis Milla, sang pelatih. Hasil didikan dari La Masia FC Barcelona, dan kariernya sebagai pemain profesional berada pada era yang sama dengan pelatih terbaik dunia saat ini, Josep Guardiola. Catatan perjalanan Milla bahkan hampir-hampir mirip dengan dua pelatih Barcelona tersukses dalam satu dekade ini; Guardiola dan Luis Enrique.
Bermain bersama Guardiola sebagai gelandang sejak 1984 sampai 1990, dan sempat merasakan tangan dingin Johan Cryuff sebagai pelatih Barcelona, Milla juga seperti Enrique yang menyeberang dengan status bebas transfer saat pergi ke klub rival. Bedanya, jika Milla menyeberang dari Barcelona ke Real Madrid, Enrique menyeberang dari arah sebaliknya. Keduanya adalah sedikit pemain yang pernah menjuarai Liga Spanyol bersama dua klub terbaik Spanyol tersebut. Sayangnya, baik Milla maupun Enrique, pergi dengan penuh kerelaan tanpa ada penyesalan dari klub asal.
Karier kepelatihan Milla pun mentereng—bahkan tidak hanya bagi timnas level Asia Tenggara seperti Indonesia—tapi juga bagi klub-klub semenjana Eropa. Sempat menjadi asisten pelatih bagi Michael Laudrup di Getafe FC musim 2007-2008, sampai kemudian menjadi pelatih timnas Spanyol U-19 saat Vicente Del Bosque membawa Spanyol meraih juara Eropa dan juara dunia secara berurutan bersama timnas senior.
Karier Milla kemudian seperti menaiki anak tangga. Berturut-turut sejak 2008 sampai 2012, Milla melatih U-19 sampai U-23. Periode paling dahsyat dari timnas senior Spanyol saat meraih hattrick “super series” gelar sepak bola; Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan Piala Eropa 2012. Periode di mana ia juga sukses mempersembahkan Piala Dunia U-21 untuk Spanyol pada 2012.
Kombinasi ketiganya di atas kertas tentu akan menghasilkan skuad yang luar biasa. Sekelompok anak muda yang pernah bermain bersama dengan gaya imitasi tiki-taka, bakat-bakat potensial yang lahir dari liga Indonesia maupun Belanda, dan terakhir, pelatih dengan pengalaman maupun pengetahuan sepak bola Belanda “total football” dari sanad yang jelas.
Sayangnya, sebagaimana resep makanan tidak menjamin sebuah makanan akan menjadi begitu lezat saat dicicipi, timnas kita tidak menampilkan apa yang diharapkan saat takluk 1-3 dari Myanmar, sekalipun bahan baku resepnya pada daftar sudah hampir terpenuhi.
Memang, awalnya harapan itu sempat muncul saat Indonesia menceploskan bola pada menit ke-22. Gol dari Nur Hadianto, sempat mengingatkan kita akan Bambang Pamungkas. Mendapatkan umpan silang dari Saddil Ramdani, cara mencetak gol dengan kepala dan keputusan pemain berbakat dari Persela Lamongan ini memilih ruang sergapan, menumbuhkan lahirnya stok penyerang murni berkualitas untuk timnas senior di masa depan.
Sayangnya, meskipun masih terus melancarkan serangan, Indonesia kebobolan juga dari sebuah skema lemparan ke dalam pada menit ke-36. Formasi bek empat yang diisi I Putu Gede, Bagas Adi, Ryuji Utomo, dan Ricky Fajrin sempat dikritik saat konsentrasinya terhadap bola terlalu berlebihan dan membiarkan Maung Maung Lwin, pemain Myanmar, bebas berlari di sisi kiri pertahanan Indonesia.
Masalahnya, kesalahan tidak hanya dilakukan oleh kombinasi empat bek Indonesia saja, terutama posisi bek kiri yang diisi Ricky Fajrun. Kesalahan juga terjadi karena gelandang-gelandang terlambat turun untuk memfilter serangan yang muncul dari area kosong antara pertahanan dengan lapangan tengah timnas Indonesia. Keterlambatan Gian Zola dan Hargianto membuat, Ricky mau tak mau ikut serta melakukan tekanan dengan meninggalkan areanya. Situasi yang kemudian dimanfaatkan untuk menciptakan skor penyama kedudukan bagi Myanmar.
Pada babak kedua, Myanmar malah berbalik unggul saat Bagas melanggar Kyaw Ko Ko di dalam kotak penalti. Gol dari eksekusi penalti pada menit ke-74 ini kemudian dilengkapi dengan gol pada menit ke-90, dan membuat beberapa peluang emas yang didapatkan Evan Dimas—yang masuk pada babak kedua—maupun Ezra Walian menjadi percuma pada babak kedua.
“Mereka (pemain Indonesia) sudah memberikan yang terbaik, khususnya di babak pertama. Tapi Myanmar membawa pemain senior,” ujar Milla usai laga. “Mungkin kami kurang tepat melakukan pergantian pemain sehingga ada penurunan peforma, karena lawan tampil lebih bagus,” lanjutnya.
Persiapan yang hanya satu bulan memang tidak menggambarkan apa yang menjadi harapan masyarakat Indonesia akan penampilan timnas. Bahkan bentuk kasar permainan yang dikehendaki PSSI dengan menggaet Milla sekalipun belum terlihat.
Jika harapan yang diinginkan adalah sama seperti yang pernah ditampilkan Spanyol dengan tiki-takanya, maka siap-siap saja PSSI menggali harapannya sendiri. Bahkan untuk mendekati permainan seperti yang ditampilkan oleh Indra Sjafri bersama U-19 akan masih sulit jika logika PSSI masih percaya bahwa prestasi dan cara bermain yang memuaskan bisa didapatkan hanya dengan mengontrak pelatih level Eropa, sekaligus bekal pemain muda yang ditemukan “tanpa sengaja” oleh klub peserta liga, ditambah satu-dua pemain naturalisasi.
Tanpa ada kompetisi usia muda berjenjang yang dikelola secara profesional, niscaya sampai kapan pun, siap-siap saja mimpi memiliki timnas yang bisa bersaing dengan tim seperti Thailand saja akan selalu sulit jadi kenyataan.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi