Menuju konten utama

Hanum dan Rangga: Diskusi Usang Tentang Perempuan Muslim Berambisi

Duo pasutri penegak Islam di negeri-negeri Barat kembali. Pertarungan mereka kali ini tentang sejauh mana batas ambisi perempuan ketika ia juga seorang istri.

Trailer film Hanum dan Rangga. FOTO/hanumrangga.com

tirto.id - Hanum dan Rangga bukanlah nama asing bagi banyak penonton film Indonesia. Meski baru kali ini benar-benar dipakai jadi judul utama, karakter pasangan suami-istri (pasutri) asal Indonesia ini sudah lebih dulu dikenal lewat dua cerita: 99 Cahaya di Langit Eropa (1,2), dan Bulan Terbelah di Langit Amerika (1,2).

Dua karakter fiksi ini diilhami dari dua tokoh nyata yang menulis petualangan mereka hidup di luar negeri menjadi novel-novel yang kemudian diadaptasi jadi film-film tersebut. Keduanya adalah Hanum Salsabiela Rais, putri Amien Rais, Ketua MPR 1999-2004, dan suaminya Rangga Almahendra.

Film yang diadaptasi dari buku Faith & The City ini sebetulnya adalah lanjutan petualangan Hanum dan Rangga setelah Bulan Terbelah di Langit Amerika 1 dan 2, yang tayang 2015 dan 2016 silam. Dalam kisah pertama, Hanum (Acha Septriasa) adalah jurnalis yang ditugaskan meliput dampak tragedi 9/11, dengan judul provokatif: Apakah Dunia Akan Lebih Baik Tanpa Islam?. Sedangkan Rangga (Abimana Aryasatya) adalah kandidat doktor di Wina, Austria, yang ditugasi dosennya mencari seorang dermawan, dan menanyakan mengapa ia mau beramal untuk dunia.

Singkat cerita, jawaban dari judul artikel yang dikerjakan Hanum tentu saja iya. Dan filantropi yang dicari Rangga punya jawaban: sang filantropi berubah jadi dermawan karena ada seorang Muslim yang menyelamatkannya dalam tragedi 9/11.

Artikel Hanum kemudian terkenal di semesta film ini. Namanya sebagai jurnalis harum. Artikelnya digambarkan film sebagai penegak citra buruk umat Islam di Amerika Serikat pasca-9/11. Dalam Bulan Terbelah di Langit Amerika 2, Hanum kembali ditugaskan menulis artikel yang tak kalah kontroversial. Kali ini pertanyaannya: apakah betul Amerika lebih dulu ditemukan Muslim asal Cina, sebelum Colombus?

Semangat yang ingin ditonjolkan oleh duo pasutri ini dalam cerita Bulan Terbelah... masih sama dengan semangat yang juga ditonjolkan dalam saga 99 Cahaya... Dalam latar tempat di Eropa dan Amerika, dua benua tempat muslim adalah minoritas, Hanum dan Rangga seolah punya misi menegakkan nama Islam.

Menurut Hikmat Darmawan dalam "Imajinasi Islam dalam Nalar Kekalahan", penggambaran Hanum dan Rangga yang seolah hero itu tercipta dari narasi nalar kekalahan.

Nalar kekalahan yang dimaksud Hikmat, adalah penggambaran Muslim dan Islam di Eropa dalam film 99 Cahaya... sebagai pihak yang hampir menaklukkan Eropa lewat perang, tapi lantas gagal dan kalah. Sehingga, meski lewat jalan-jalan damai seperti kompromi, hasrat penaklukan itu masih ada. Serupa semangat yang terselip—dan hampir jadi premis utama—dalam Bulan Terbelah ...2 .

“Dalam Nalar Kekalahan ini, seorang Muslim mendefinisikan identitas keislamannya berdasarkan perasaan menjadi korban, dan terpaksa harus bersabar menyesuaikan diri dengan dunia Sang Penakluk, agar bisa mengalahkan Sang Penakluk dalam permainan mereka sendiri,” tulis Hikmat.

Permainan itu masih sama dalam Hanum dan Rangga. Cerita tentang artikel kontroversi sudah sedikit lebih diredam, meski kalimat “Would the world be better place without Islam?” tetap dipakai dalam trailer promosi film ini. Hanum tak lagi ditugasi menjawab pertanyaan kontroversial. Namun, bukan berarti penokohan Hanum dan Rangga sebagai "pahlawan" penegak Islam di dunia Barat justru melempem. Film ini malah mempertebalnya, terutama pada karakter Hanum.

Dalam satu adegan bertengkar dengan Rangga, Hanum akan menjelaskan tugas mulianya sebagai penegak Islam. Katanya, “Kamu tahu kan ini impian aku. Aku mengubah semua pandangan orang ini (dunia barat), mengubah pandangan mereka tentang Muslim. Tentang Islam.”

Semua dimulai ketika perjalanan mereka pulang ke Wina harus kembali tertunda, karena Hanum ditawari bekerja di GNTV, perusahaan TV yang dipimpin Andy Cooper (Arifin Putra), jurnalis senior yang diidolainya sejak kecil. Artikel Hanum tentang 9/11 masih jadi hype sehingga Cooper berminat mengontraknya sebagai jurnalis magang.

Cooper adalah simbol penakluk yang jadi musuh utama duo pasutri Hanum dan Rangga. Dalam sebaris kalimat yang diucapkannya di TV, film ini tegas menggambarkan simbolisasi itu. Kata Cooper, “Jika ingin menguasai dunia, Anda harus menjadi penguasa media.”

Lewat kalimat itu pula, kita akan sadar bahwa Cooper adalah seorang megalomania yang tertarik pada konsep kuasa-menguasai, dan film ingin penonton sadar bahwa media bisa juga punya perspektif buruk, tergantung siapa yang memilikinya. Apa kaitannya dengan Islam? Cooper digambarkan sebagai atheis yang tak percaya pada konsep Tuhan dan beberapa kali terang-terangan tidak suka pada Islam.

Kesalahpahaman Cooper pada Islam ini masih jadi benang merah petualangan Hanum dan Rangga di dunia Barat. Cooper, meski digambarkan sebagai perantauan dari Indonesia, termasuk dalam golongan orang asing yang menekan alias otoritatif yang menurut Hikmat selalu muncul dalam hidup Hanum dan Rangga.

Maka, tak heran jika Cooper nantinya akan kalah di ujung cerita. Sosok ini mesti tumbang, agar tokoh Hanum dan Rangga benar-benar tampil sebagai hero-nya.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/11/10/hanum-dan-rangga--misbar--fuad.jpg" width="860" alt="Infografik Misbar Hanum & Rangga" /

Ranah Perempuan Sebagai Pekerja dan Istri

Selipan lain dari petualangan Hanum dan Rangga kali ini adalah bahasan mengenai sejauh mana ranah seorang perempuan Muslim yang sudah jadi istri, tapi juga memilih untuk bekerja. Hanum, sejak awal selau digambarkan sebagai perempuan mandiri yang selalu bertanggung jawab pada keputusan-keputusannya. Ia digambarkan sebagai Muslimah modern, yang bisa jadi jawaban bagi pertanyaan klasik tentang apakah muslimah tak boleh bekerja atau sekolah tinggi?

Hanum hadir sebagai jawaban positif, bahwa mereka bisa.

Film Hanum dan Rangga hadir untuk lebih menguji premis itu. Kini nama Hanum harum, dan tawaran bombastis mengikuti kariernya yang terang. Sayang, film ini masih berkutat pada konflik lawas tentang para perempuan yang bisa berkarier tenang tanpa harus jadi ancaman buat hidup para pria. Seolah-olah, suami dan istri tak akan pernah menemukan kompromi yang menguntungkan keduanya jika bicara tentang karier.

Di sekujur film, kita akan disuguhkan kompromi-kompromi itu. Di awal sekali film, Rangga (yang kali ini diperankan oleh Rio Dewanto) memilih mengalah dan membiarkan Hanum masuk ke GNTV. Meski homofobik dan ketat pada pembagian tugas perempuan dan laki-laki menurut sistem patriarki, karakter Rangga ditampilkan sebagai tokoh yang selalu mengalah pada kompromi itu. Kebutaan Rangga pada beda kodrat dan gender dibingkai film sebagai bagian dari sikap yang baik.

Sementara, sikap Hanum yang berontak memilih profesional dibingkai sebagai perbuatan salah. Yang bikin karakter Hanum terus gelisah dan akhirnya memilih mengikuti keputusan suaminya kembali ke Wina, ketimbang menerima tawaran jadi pemred di sebuah TV.

Pada akhirnya, perempuan yang bekerja tetap harus dikembalikan ke kodratnya, yang bila mengutip dialog Hanum, bertugas “melayani suami”.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nuran Wibisono
-->