Menuju konten utama

"Hail Satan?": Mengapa Aktivis 'Gereja Setan' Tak Percaya Setan?

Karena tak percaya setan atau mahluk supranatural lainnya, The Satanic Temple di AS sering mendapat pertanyaan: “Kenapa nggak tidak ateis saja sekalian?”

Poster Film Hail Satan. FOTO/IMDB

tirto.id - Apa yang muncul di kepala Anda etika mendengar “satanisme”? Aliran sesat? Pemuja setan? Ritual pengorbanan bayi?

Hail Satan?, dokumenter 2019 yang diproduksi Magnolia Pictures pada 2019, mengupas sisi lain satanisme. Tayang di Netflix, film ini mengekspos kaum satanis bernama The Satanic Temple (TST) yang justru tak percaya hal-hal supranatural—termasuk keberadaan setan itu sendiri. TST berfungsi layaknya organisasi advokasi untuk isu kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan pemisahan antara negara dan agama di Amerika Serikat.

Dikerjakan sejak 2013, Hail Satan? menelusuri TST sejak didirikan sebagai organisasi nirlaba, tepatnya sebagai sebuah Tax Exempt Church (Gereja Bebas Pajak) yang sah dan diakui oleh dirjen Pajak AS, yakni IRS (Internal Revenue Service). Selain untuk mengukuhkan keberadaan TST sebagai ‘gereja’ di mata hukum, keputusan memakai status Gereja Bebas Pajak ini diambil untuk menarik perhatian media, publik, serta institusi agama lainnya—dan dengan demikian, membuat orang sadar akan sulitnya pemisahan agama dan negara di AS.

Liputan-liputan media atas keberadaan sebuah organisasi satanis yang berkekuatan hukum dan tidak membayar pajak sengaja digunakan untuk mengekspos kekuatan hukum dan finansial gereja-gereja di AS. Artikel “6 Charts Illustrate the Surprising Financial Strength of American Houses of Worship” yang tayang di The Conversation pada 2019 menunjukkan bagaimana warga negara AS menghabiskan sekitar USD 425 miliar atau Rp6.000 triliun setiap tahunnya untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas keagamaan yang kurang transparan. Berdasarkan data 2014-2017, angka ini terus tumbuh dan hampir setara jumlah hutang negara Indonesia pada 2021.

Melalui dokumenter Hail Satan?, kita melihat bahwa aksi-aksi provokatif yang nekat sekaligus konyol namun dipikirkan secara cermat ini menjadi kekhasan TST untuk merespons berbagai isu hangat seperti hak aborsi, hak untuk memilih mempelajari atau tidak mempelajari agama di sekolah, dan hak untuk akses ke terapi psikologis. Argumen jitu TST: “Perintah agamamu menentang perintah dalam agamaku. Dus, sesuai hukum kebebasan beragama, kita harus mencari jalan tengah agar bisa tetap saling menghormati perintah agama masing-masing”.

Situs TST menjelaskan bagaimana mereka sengaja menggunakan label nama “satanis”. Merejka mengacu pada Setan atau Lucifer, karakter antagonis agama Kristen dalam karya literatur klasik seperti puisi “Paradise Lost” karya Milton, dan juga karya era romantisme seperti Blake, Shelley, dan Anatole France yang memperkenalkan Lucifer sebagai perwujudan sosok ‘pemberontak abadi’ yang mempertanyakan tradisi, memajukan pendekatan rasional saintifik, dan menolak semua bentuk tirani.

TST bahkan memiliki “10 Perintah Tuhan” versi mereka sendiri yang dikenal dengan nama “7 Prinsip Satanis”. Dua prinsip pertama aturan tersebut menyatakan bahwa seorang satanis harus menunjukkan kebaikan serta empati untuk semua makhluk dan memperjuangkan keadilan di hadapan hukum dan institusi.

Dokumenter Hail Satan? sendiri memfokuskan sebagian besar durasinya guna menjabarkan perjalanan TST untuk menurunkan Monumen Sepuluh Perintah Tuhan yang didirikan di halaman sebuah kantor pemerintah negara bagian Oklahoma pada 2012. Monumen ini awalnya adalah alat promosi film The Ten Commandments karya Cecille B. DeMille. Namun, menurut TST, monumen ini adalah simbol pemaksaan suatu agama di dalam sebuah negara yang mengaku menjunjung kebebasan beragama dan menghapus pemisahan gereja dan pemerintah.

Seperti yang diprediksi TST, gereja, publik, dan media massa bereaksi berlebihan dan menyatakan permintaan TST agar Monumen Sepuluh Perintah Tuhan dibongkar sebagai penistaan agama. TST akhirnya mengurus izin pembangunan monumen tandingan tepat di sebelah monumen Sepuluh Perintah Tuhan. Monumen ini berwujud Baphomet, sosok setan berkepala kambing dengan tinggi dua setengah meter. Situasi pun semakin panas.

Film berakhir dengan keputusan Kejaksaan Agung Oklahoma untuk menurunkan Monumen Sepuluh Perintah Tuhan dari Kantor Pemerintah Oklahoma. Meski pembangunan Monumen Baphomet di halaman itu akhirnya tidak diizinkan, TST mendapatkan donasi sebesar USD 30.000 dolar (sekitar Rp400 juta) dari publik yang bersimpati. Kelak, monumen Baphomet dibangun di kantor pusat TST di Salem, Massachusetts.

Infografik Hail Satan

Infografik Hail Satan. tirto.id/Quita

Setelah perilisan dokumenter Hail Satan?, situs web TST mencatat organisasi ini telah berkembang secara internasional dengan cabang di 27 kota di Amerika Serikat dan Inggris, serta tiga ratus ribu anggota menurut artikel Bloomberg pada 2021.

Meski tidak pernah bosan menjelaskan bagaimana TST tidak mempercayai Setan atau kekuatan supranatural lainnya, mereka selalu mendapat pertanyaan, “Kenapa nggak tidak ateis saja sekalian?”

Pernyataan dalam situs web TST menjelaskan mengapa label ateis itu kurang tepat bagi karena mereka. Jika dibandingkan dengan seorang ateis, demikian bunyi pernyataan resmi, TST lebih terbuka mengakui status sebagai orang luar (outsider). Selain itu, TST juga ingin menjadi bagian dari sejarah satanisme yang sudah ada ribuan tahun agar bisa muncul sebagai wajah satanisme modern. Terakhir, TST merasa kepercayaan mereka tidak sejalan dengan filosofi humanisme saintifik a la ateis.

Joseph P. Laycock, profesor kajian agama Texas State University yang menerbitkan buku Speak of the Devil (2020) tentang berbagai bentuk satanisme dalam sejarah, menguraikan dalam sebuah artikel di The Conversation soal pilihan TST memilih label “non-teistik”. Menurut Laycock, TST sebenarnya memiliki sejenis sistem kepercayaan, meski tanpa sosok Tuhan dan kepercayaan atas dunia suprnatural. Laycock juga menguraikan bagaimana sistem kepercayaan—dengan label ‘agama’ atau tidak—tanpa Tuhan ini bukan konsep asing bagi para pemerhati agama. Toh, Buddhisme, Konfusianisme, dan juga beberapa aliran Yudaisme bertahan tanpa memiliki sosok Tuhan.

Menurut Laycock, TST juga patut menyebut dirinya “non-teistik” karena memenuhi apa yang diuraikan Catherine Albanese dalam America: Religions and Religion (1981) sebagai 4C, atau empat ciri-ciri sebuah agama, yaitu: creed (kepercayaan), code (peraturan yang harus ditaati), cultus (ritual yang harus diikuti), dan community (jemaat).

Keputusan TST untuk tidak menjadi ateis juga didukung oleh analisis John Gray dalam buku Seven Types of Atheism (2018). Menurut Gray, ada kekeliruan pada ateisme kontemporer yang menjunjung sains untuk menggantikan agama. Baginya, sains adalah metode untuk menjelaskan dunia. Sains dalam dirinya sendiri akan selalu berubah sehingga sulit untuk menghasilkan suatu paham mutlak seperti agama. Kepercayaan bahwa sains akan menghasilkan suatu kebenaran mutlak adalah pemikiran yang berakar absolutisme agama dan akhirnya malah menghasilkan sebuah paham yang bertolak belakang dengan ateisme. Tak heran, TST memilih untuk menjadikan pemikiran saintifik sebagai salah satu dari Tujuh Prinsip alih-alih inti kepercayaan mereka.

Baca juga artikel terkait SATANISME atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Film
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Windu Jusuf