tirto.id - Dalam kesepakatan ulama, hadis adalah setiap hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yakni ucapan, perbuatan, juga sifat serta ketetapannya.
Hadis tidak terlepas dari adanya sanad, matan dan rawi. Ketiga unsur ini menyebabkan hadis dibagi menjadi beberapa macam jenis.
Sanad adalah silsilah perawi hadis (rawi) yakni orang yang meriwayatkan suatu hadis. Dalam ilmu kajian hadis, masing-masing perawi memiliki status yang menjadi aspek penting dalam menentukan jenis atau macam hadis. Status rawi jugalah yang melatarbelakangi suatu hadis bisa diterima atau tidak.
Apabila ada kecacatan atau kejanggalan dalam diri rawi/perawi, misalnya pernah ketahuan tidak jujur, maka hal itu akan jadi pertimbangan bagi diterima atau tidaknya suatu hadis.
Proses seleksi sanad yang ketat itu juga terjadi dalam hal seleksi matan. Matan adalah bunyi atau kalimat hadis.
Banyak sahabat nabi yang meriwayatkan hadis secara makna (bi al ma’na), sebab nabi tidak mewajibkan menghapal hadis. Karena itu tak heran jika beberapa hadis memiliki makna sama namun pengucapannya berbeda.
Namun perbedaan matan dapat memicu penyelewengan hadis oleh orang yang berniat jahat atau punya maksud tertentu sehingga melemahkan hadis itu sendiri.
Karena hal itu, di jaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada abad ke-1 H, dilakukan gerakan pembukuan hadis, demikian dilansir lamanPondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Macam-Macam Hadis
Khalifah Umar bin Abdul Aziz membentuk suatu keilmuan yang membahas hadis nabi dan berlangsung sampai abad-abad selanjutnya. Nama kajian keilmuan tersebut adalah ilm mustholah al-hadits.
Melalui keilmuan tersebutlah, para ulama dapat mengklasifikasikan hadis menjadi beberapa macam. Berdasarkan jumlah rawi dalam setiap thobaqoh, hadis dibagi dua, yakni Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
Sementara, dari sisi diterima atau tidaknya, hadis dibagi tiga macam, yakni Hadis Sahih, Hasan dan Daif.
1. Hadis Mutawatir
Disebut Hadis Mutawatir apabila jumlah perawi setiap thobaqoh tak terbatasi. Jika rawi pada setiap tingkatan sanadnya tak terbatas maka menurut akal tidak mungkin perawi tersebut sepakat memalsukan hadis.
Syarat sebuah hadis menjadi mutawatir menurut Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani dan para ulama, yakni apabila jumlah perawi minimal lima sampai sepuluh orang. Dari seluruh perawi itu, menurut kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol dan dusta.
Sandaran hadis mereka dengan menggunakan panca indera, bukan dengan sesuatu yang dipikirkan. Misalnya kata: سمعنا (kami telah mendengar), رأينا (kami telah melihat) dan semacamnya dengan menggunkan panca indera.
2. Hadis Ahad
Disebut hadis Ahad adalah jika jumlah rawi di tiap thobaqoh-nya belum mencapai jumlah mutawatir. Misal jumlah rawi hanya satu, dua atau tiga orang.
Berdasarkan jumlah rawi dalam tiap thobaqoh, ulama membagi hadis ahad menjadi tiga macam yakni: Hadits Masyhur: Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih di setiap thobaqoh-nya.
Hadis Aziz, yaitu hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang. Serta Hadis Gharib, yaitu hadis yang diriwayatkan satu perawi.
3. Hadis Sahih
Disebut Hadis Sahih jika sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang berkualitas dan hafalannya kuat, serta dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan illah.
4. Hadis Hasan
Hadis Hasan adalah hadis yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak terdapat syadz dan illah. Akan tetapi dalam kualitas hafalan tidak sekuat hadis sahih.
5. Hadis Daif
Hadis Daif (lemah) merupakan hadis yang tidak memenuhi persyaratan Hadis Sahih dan Hadis Hasan.
Dalam pemakaian sebagai sumber hukum, para ulama sepakat bahwa hadis sahih dan hasan bisa digunakan. Namun hadis daif atau hadis lemah tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum kecuali dalam beberapa kasus hadis.
Penulis: Cicik Novita
Editor: Maria Ulfa