Menuju konten utama

Habis Gempa dan Tsunami, Terbitlah Polemik Peneliti Asing

Peneliti asing mengeluh sulitnya perizinan untuk turun lapangan ke Palu dan Donggala. Tapi pemerintah mengklaim izin sebetulnya mudah.

Warga korban gempa yang selamat mengangkat sisa harta bendanya di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (6/10/2018). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/foc/18.

tirto.id - Gempa dan tsunami yang menghantam beberapa kota di Sulawesi Tengah pada 28 September lalu memikat para ilmuwan. Bukan cuma dari lokal, tapi juga peneliti asing. Mereka penasaran apa yang sebetulnya terjadi di balik bencana alam yang menewaskan ribuan orang itu.

Sayangnya rencana itu tak semulus yang diperkirakan. Beberapa ilmuwan mengeluhkan soal birokratisnya mekanisme pemberian izin. Ada yang bertahan sampai izin keluar, lainnya memilih balik kanan kembali ke negaranya sendiri.

Misalnya Philip Liu, wakil presiden untuk penelitian dan teknologi di National University of Singapore. Mengutip Nature, ia akhirnya memilih tidak jadi turun lapangan meski menurutnya itu "sangat penting."

Semakin Dipermudah

Faktanya, memang banyak pihak terlibat sebelum izin penelitian keluar. Dokumen Kementerian Luar Negeri (PDF) menyebutkan izin diberikan oleh Tim Koordinasi Pemberian Izin Peneliti Asing (TKPIPA), yang di antaranya terdiri dari Kementerian Riset dan Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, hingga Badan Intelijen Strategis TNI dan Mabes Polri.

Tim ini yang nanti memutuskan apakah mengizinkan penelitian atau tidak, setelah aplikasi dilayangkan via online atau offline lewat KBRI/KJRI.

Beda dengan pernyataan Philip Liu yang menyebut perlu waktu berbulan-bulan agar izin terbit, dokumen Ristekdikti mengklaim waktu yang diperlukan hingga izin keluar cuma dua minggu, terhitung sejak dokumen lengkap diterima.

Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual Kemristekdikti Sadjuga mempertegas kalau pihaknya tidak pernah bermaksud mempersulit peneliti asing, bukan cuma riset soal gempa, tapi juga topik-topik lain.

"Kami tidak pernah mempersulit," kata Sadjuga kepada wartawan Tirto, Jumat (19/10/2018) siang.

"Buktinya kemarin ada delapan orang peneliti dari Korea Selatan, sudah diizinkan meneliti. Mereka hanya menunggu tujuh hari. Mereka daftar online," tambahnya.

Meski begitu, ia mempertegas bahwa tidak ada satu pun aturan yang boleh dilangkahi, termasuk pendampingan dari peneliti lokal. Hal ini penting sebab menurutnya pihak Indonesia juga harus tahu apa hasil penelitian.

"Kami tidak ingin data atau hasil penelitian itu hanya dimiliki pihak asing. Perlunya perizinan agar data itu dimiliki [juga] orang Indonesia."

Masalahnya, tidak semua aspek bisa dengan mudah dipenuhi peneliti asing. Padahal, untuk tema bencana, riset harus dilakukan sesegera mungkin.

"Survei bencana perlu dimobilisasi dalam beberapa hari pertama setelah bencana, sebelum data yang diperlukan untuk memahami lebih dalam terhapus secara permanen," ujar Costas Synolakis, peneliti tsunami dari University of Southern California di Los Angeles, Amerika Serikat.

Seminggu setelah tsunami, Synolakis dan tim bergegas ke Singapura. Kini ia masih di Singapura, tapi beberapa anggota tim memilih pulang. Ia menyebut butuh waktu setidaknya satu minggu lagi untuk memenuhi semua persyaratan.

Kepala Pusdatin BNPB Sutopo Purwo Nugroho punya pendapat yang agak beda. Menurutnya hasil penelitian kerap kurang relevan untuk Indonesia.

"Setiap terjadi gempa dan tsunami memang banyak sekali peneliti asing yang ingin melakukan penelitian ke lokasi bencana. Semua ingin mengumpulkan data karena jika terlalu lama bisa hilang tanda-tanda bekas bencana. Namun selama ini hasil penelitian tersebut juga tidak jelas kontribusinya terhadap Indonesia. BNPB jarang dapat hasil laporan penelitian-penelitian yang dilakukan penelitian asing maupun nasional," katanya kepada Tirto, lewat pesan teks.

Tidak semua peneliti asing protes terhadap kebijakan Indonesia. Misalnya JC Gaillard, seorang ahli geografi di University of Auckland di Selandia Baru. Menurutnya Indonesia sudah benar mengendalikan riset pasca-bencana.

"Tidak ada yang tahu dan paham konteks serta masalah lokal... lebih baik daripada orang Indonesia," katanya.

"Ini tidak berarti kalau peneliti asing harus dilarang, tapi peneliti lokal, yang didukung institusi lokal, harus memimpin dalam merancang proyek penelitian yang relevan dan sesuai. Mereka juga harus memimpin mengumpulkan data dan analisis serta potensi publikasi sesudahnya."

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino