tirto.id - “Saya tidak membela kekerasan, tapi ada saat-saat di mana kita hanya bisa melawan,” ujar Sampat Pal Dev kepada South China Morning Post. “Ada saja orang-orang yang tidak cukup dihadapi dengan kata dan argumen.”
Sampat Pal Dev, 53 tahun, adalah pendiri dan pemimpin Gulabi Gang (Geng Pink), sebuah kolektif perempuan yang dibentuk untuk mengadvokasi korban-korban kekerasan seksual. Seragam anggota Gulabi Gang sangat mencolok, dengan sari berwarna merah jambu dan sebilah bambu.
Gulabi Gang melakukan kerja-kerja lapangan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, mencegah perkawinan di bawah umur, memastikan agar pernikahan orang dewasa yang didasari suka sama suka dapat terlaksana, menjamin hak-hak dasar kaum miskin. Memerangi korupsi juga masuk dalam agenda mereka.
Didirikan pada 2006 di distrik Banda, India, jumlah anggota Gulabi Gang pada 2015 adalah 400 ribu perempuan, tersebar di 11 distrik Uttar Pradesh, negara bagian terbesar India. Anggota wajib membayar iuran tahunan sebesar 500 rupee (Rp104 ribu).
Ketika seorang perempuan mendaftar jadi anggota Gulabi, dia pasti pernah mengalami ketidakadilan, penindasan, dan tak melihat cara-cara lain untuk mengatasinya,” ujar Suman Singh kepada Al-Jazeera, wakil kepala Gulabi cabang distrik Mahoba.
Ada alasan mengapa gerakan ini subur di Uttar Pradesh. Negara bagian ini tercatat sebagai wilayah yang paling tidak aman untuk perempuan, dengan 1.963 kasus perkosaan, 7.910 penculikan dan 2,244 pembunuhan terkait maskawin pada 2013.
“Kami memang melawan pemerkosa dengan tongkat bambu”, ucap Pal Dev kepada Al-Jazeera. Jika kami sudah menemukan pelakunya, kami bikin dia babak belur sehingga dia tidak berani lagi macam-macam dengan perempuan.”
Namun, kekerasan bukan jalan utama yang ditempuh Gulabi Gang. Ketika berurusan dengan kebebalan aparat dan birokrasi, mereka biasanya menempuh prosedur dialog, demonstrasi, dan mogok makan. Jika cara-cara ini tidak berhasil, pentungan bambu jadi jawaban.
Gulabi Gang sendiri mendirikan pos-pos yang menerima laporan kekerasan seksual yang kemudian diteruskan ke polisi. Dalam sebuah dokumenter, Pal Dev digambarkan dengan menekan seorang polisi untuk mem-BAP-kan kasus kematian gadis usia 15 tahun yang dibakar hidup-hidup oleh kerabatnya.
Ibukota Perkosaan
Gulabi Gang adalah respons terhadap fakta bahwa tiap 15 menit, seorang perempuan diperkosa di India.
Pada 2012, seorang mahasiswa kedokteran berusia 23 tahun ditarik dari bis, diperkosa oleh 6 orang, kemudian dibunuh dengan gagang besi. Semenjak kasus itu, India sering disebut-sebut sebagai ibukota perkosaan dunia dan kota Delhi sebagai ibukota perkosaan India.
Mengingat banyaknya kasus kekerasan seksual di dalam transportasi publik, pemerintah telah memberlakukan prosedur keamanan di bus-bus, misalnya memasang tombol panik di badan bus.
Baca juga:
Kasus yang memancing kemarahan di seluruh India itu bukan yang terakhir. Pada 23 Februari 2016, seorang perempuan yang baru beberapa jam rampung menjalani operasi caesar untuk melahirkan, diperkosa di sebuah rumah sakit di sekitar New Delhi. Beberapa hari kemudian, 8 Maret 2016, seorang gadis usia 15 tahun diperkosa dan dibakar hidup-hidup.
Pada 2015, setidaknya 34.651 kasus perkosaan dilaporkan di seluruh India tahun lalu, menurun dari 36.735 kasus pada tahun sebelumnya. Dilansir dari Al-Jazeera, jumlah ini dirilis oleh statistik National Crime Records Bureau (NCRB) India. Kelompok umur korban bervariasi, dari anak-anak di bawah usia 6 tahun hingga yang berusia di atas 60 tahun. Kelompok usia yang paling banyak menjadi korban perkosaan adalah perempuan usia antara 18 dan 30 tahun (17 ribu kasus).
Menurut sumber yang sama, 95,5 persen (33.098 kasus) perempuan yang diperkosa mengenal pelakunya. KUHP India telah memasukkan perkosaan sebagai tindak kriminal, namun tidak bagi perkosaan dalam rumah tangga.
Perkawinan di bawah umum juga menjadi masalah akut di India. Laporan Unicef 2015 menyebutkan setengah dari jumlah pasangan nikah adalah gadis usia remaja. Belakangan, jumlahnya menurun dari 54 persen pada 1992-3 ke 33 persen pada 2015. Perkawinan di bawah umur umumnya terjadi di desa-desa (48 persen) dan di perkotaan (29 persen). Penyebab utamanya adalah kemiskinan dan harga maskawin yang berbanding lurus dengan usia perempuan (semakin dewasa dan terdidik, semakin mahal).
Menurut laporan tersebut, perempuan yang menikah di bawah umur rentan putus sekolah, memiliki pekerjaan berupah rendah, dan daya tawar yang rendah untuk membuat keputusan. Akibatnya, besar risiko mereka terkena penyakit seksual dan HIV/AIDS, serta kekerasan seksual (yang dialami oleh 13 persen perempuan yang menikah pada usia 15-19 tahun).
Inisiatif Pal Dev tidak lepas dari pengalaman pribadinya sebagai korban kekerasan seksual dan pernikahan di bawah umur.
Baca juga:
Pal Dev, anak seorang petani, dipaksa menikah pada usia 12 dengan seorang laki-laki 25 tahun. Pada 2002, ia menyaksikan laki-laki memukuli seorang perempuan. Ketika berusaha menghentikan pemukulan itu, Pal pun ikut dipukuli. Keesokan harinya, ia kumpulkan lima orang perempuan, mendatangi si laki-laki dan menghajarnya habis-habisan.
Ia juga pernah menyeret seorang hakim laki-laki dari ruang sidang lantaran tak berani menindak perkara kekerasan seksual.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani