tirto.id -
“Mobil listrik hanya akan memindahkan polusi saja jika sumber listriknya dari PLTU Batubara,” ujar Bondan kepada reporter Tirto saat dihubungi pada Selasa (16/3/2019).
Pasalnya, jelas Bondan, PLTU batu bara justru menjadi salah satu penyumbang polusi udara, termasuk di Jakarta. Terdapat sejumlah sumber polusi udara di Jakarta, yang mana salah satu kemungkinannya juga didukung oleh PLTU yang berada di sekitar Jakarta.
Menyikapi hal itu, Bondan mengatakan bahwa sumber pencemaran udara yang ada di Jakarta tidaklah hanya berasal dari Jakarta, melainkan juga sejumlah kota-kota yang berada di sekitarnya.
“Asumsinya, jika 1 mobil listrik butuh 1000 watt per hari pada off-peak, maka 10.000 mobil butuh 10MW per hari. Nah, sementara 10 MW itu sama dengan emisi 17.850 mobil yang biasa berkendara 30km per hari,” jelas Bondan.
Sederhananya, kata Bondan, PLTU batu bara hanya memiliki efisiensi pengolahannya dengan maksimal 65 persen. “Sisanya, 35 persen, jadi limbah. Ada yang ke udara dan jadi endapan,” tambahnya”.
“Jadi sama aja lebih banyak polusinya,” tambahnya.
Kecuali, kata Bondan, saat pengalihan ke transportasi publik, atau pengadaan listrik untuk transportasi publik, memang berasal dari sumber energi yang terbarukan, seperti salah satunya adalah energi surya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) punya standar untuk menyebut udara sehat. Udara sehat adalah yang punya partikel debu halus atau PM (Particulate Matter) 2,5 sebesar 25 µg/m³.
Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi memaparkan PM 2,5 di atas 38 µg/m³, bahkan mencapai 100 µg/m³ pada hari-hari tertentu.
“Jakarta masih mengalami pencemaran udara ya. Masih buruk kualitasnya,” kata Bagus saat dihubungi pada Senin (15/4/2019).
Dampak kesehatan atas pencemaran udara, khususnya PM 2,5 adalah infeksi saluran pernapasan, jantung, paru-paru, risiko kematian dini, hingga kematian. Unicef pun sempat merilis bahwa PM 2,5 menjadi masalah serius saat terpapar oleh anak-anak.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri