tirto.id - PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI menandatangani kontrak pinjaman untuk kebutuhan pembangunan proyek kereta api ringan (Light Rail Transit/LRT) sebesar Rp19,25 triliun. Kontrak ini menjadi pinjaman terbesar yang dibuat perseroan sepanjang sejarah perkeretaapian.
Kontrak ini terdiri dari kredit investasi sebesar Rp18,1 triliun dan kredit modal kerja sebesar Rp1,15 triliun. Jangka waktu untuk kredit pinjaman ini selama 18 tahun. Kredit itu diberikan oleh sejumlah bank, baik lokal maupun asing.
"Jumlah bank yang join (bergabung) banyak sekali. Yang sangat bisa diapresiasi, tidak hanya bank lokal tapi bank asing juga join," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Ke-12 perbankan itu terbagi dua konsorsium yakni Joint Mandated Lead Arranger and Bookrunner (JMLAB) yang terdiri dari Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, CIMB Niaga dan Sarana Multi Infrastruktur serta bank kreditur yaitu Bank DKI, Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ (BTMU), KEB Hana Bank, Shinhan Bank Indonesia, Bank Sumut dan Bank Mega. Rinciannya, dari pihak JMLAB senilai Rp24 triliun, dari bank kreditur Rp4,6 triliun.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2017, PT KAI diberi penugasan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan sarana dan prasarana proyek LRT Jabodetabek. Penugasan penyelenggaraan ini mulai dari pembangunan/pengadaan, pengoperasian, perawatan, dan pengusahaan aset sarana dan prasarana dengan masa konsesi selama 50 tahun sejak ditandatanganinya berita acara beroperasinya LRT Jabodetabek.
Direktur Keuangan PT KAI Didiek Hartantyo menjelaskan bahwa bunga dari kontrak pinjaman sebesar Rp19,25 triliun ini sebesar 8,25 persen dengan jangka tiga tahun. Selepas tiga tahun, bunga kontrak berfluktuasi sesuai dengan kondisi ekonomi.
Pencairan dana kontrak ini akan dilakukan setelah dana penyertaan modal negara (PMN) yang dialokasikan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp7,6 trilun dan PMN dari PT Adhi Karya sebesar Rp1,4 triliun habis. Dana ini sudah diberikan bertahap sejak 2015.
"Baru kami akan ambil. Kalau pembayaran ke PT Adhi Karya per triwulanan," sebut Didiek, Kamis (29/12/2017).
Didiek mengharapkan suntikan dana ini membuat nilai proyek investasi LRT Jabodetabek sebesar Rp29,9 triliun dapat terpenuhi dan tidak ada koreksi penambahan lagi, lantaran sebelumnya ada perkiraan bahwa dana Rp29,9 triliun itu dapat membengkak menjadi Rp31 triliun.
"Harapan kami Rp29,9 triliun itu sudah fixed," ungkapnya.
Subsidi Pemerintah untuk Tiket
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai dana pinjaman ini akan mengurangi beban negara dalam pembiayaan proyek sehingga tidak bergantung dengan APBN. Meski begitu, Sri Mulyani mengatakan, konsorsium pembiayaan ini tetap membutuhkan jaminan pemerintah atas pinjaman PT KAI berupa subsidi untuk tarif tiket LRT Jabodetabek agar dapat seharga Rp12 ribu per orang.
"Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk subsidi dari karcis yang akan dijual ke masyarakat sebagai pengguna. Asumsinya dengan begitu mendorong PT KAI mampu bayar kembali dari pinjaman konsorsium perbankan," jelas Sri.
Tak hanya soal subsidi, Sri menjelaskan, skema pembiayaan proyek LRT Jabodetabek ini terbilang rumit karena pembiayaan berasal dari banyak pihak. Sri menyebut, proyek ini perlu berbagai instrumen pembiayaan karena tidak cukup dalam satu tahun anggaran.
"Kementerian/Lembaga diminta berinovasi untuk bisa jalankan program prioritas, tapi tidak bergantung APBN. Bisa lewat anggaran kementerian, penanaman modal negara di BUMN, subsidi penjamin. Instrumen Kementerian Keuangan untuk itu banyak sekali," kata Sri.
Sri juga menekankan, proyek ini harus transparan dan bebas dari korupsi supaya bisa memberikan banyak manfaat maksimal kepada masyarakat.
"Sehingga pinjaman dapat dikembalikan tanpa saya dipanggil (KPK)," sebut Sri.
Solusi Kemacetan Jabodebek
Kontrak pinjaman untuk kebutuhan pembangunan ini juga diapresiasi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Menurut Budi, adanya kontrak ini dapat memberikan kepastian pembiayaan dan menampik keraguan terselesaikannya salah satu proyek besar dari proyek prioritas nasional.
Budi menyebut proyek ini perlu segera beres buat mengatasi masalah kemacetan di Jabodebek yang kian parah. "Jabodetabek mengalami kemacetan lalu lintas karena volume tinggi tidak diimbangi kapasitas jalan yang memadahi. Jakarta harus menggunakan angkutan masal seperti LRT," ujar Budi.
Budi mencanangkan LRT Jabodetabek dapat beroperasi pada 2019 dengan 140 kali perjalanan per hari pada hari kerja dengan headway/waktu antara rata-rata tiga sampai empat menit. Masyarakat yang akan menggunakan moda transportasi LRT ini dapat naik dari 17 stasiun pemberhentian LRT di Jabodetabek.
Dalam satu rangkaian kereta (train set), kata Budi, akan ada enam gerbong dengan daya angkut 116 ribu penumpang per hari pada awal masa operasinya dari 2019, dan diharapkan pada 10 tahun mendatang dapat meningkat sampai 474 ribu penumpang.
Naiknya jumlah penumpang diharapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dapat menurunkan subsidi pemerintah yang sekitar Rp2 triliun untuk ticketing. "Tapi enggak fixed karena cashflow gap," kata dia.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Mufti Sholih