tirto.id - Peneliti Lingkaran Survey Indonesia (LSI), Adrian Sopa menyarankan ketiga pasangan calon (paslon) gubernur DKI Jakarta untuk berhati-hati dan mengantisipasi banyaknya golongan putih (golput).
“Angka golput di DKI Jakarta pada pilkada 2007 lalu mencapai 34.6 persen. Kemudian di pilkada DKI 2012 putaran pertama, 36,4 persen. Dan golput putaran kedua sebesar 33.3 persen. Angka golput Februari 2017 cukup layak jika mencapai lebih dari 30 persen,” tutur Adrian di Rawamangun, Jum’at (10/2/2017).
Adrian mengatakan, sebelumnya di zaman Fauzi Bowo, banyak rilis survei yang menyatakan bahwa Foke bakal menang. Namun hasilnya sebaliknya. Hal tersebut, lanjut dia, dikarenakan banyak pendukung Foke yang memilih golput. Karena itu, ia menyarankan setiap paslon untuk mendidik pendukungnya agar tidak melakukan kesalahan pada saat memilih.
Jika setiap pendukung paslon yang tidak datang ke TPS terbagi secara proporsional, lanjut dia, maka golput tidak akan mempengaruhi hasil. Tetapi, jika pendukung yang tidak datang ke TPS lebih banyak dari calon tertentu atau non-proporsional, maka akan mengubah ranking survei seperti yang terjadi pada Pilkada 2012.
Selain adanya Golput, Adrian juga menyarankan agar setiap kandidat untuk berhati-hati terhadap politik uang. Pada survei yang dilakukan LSI, sebanyak 71,1 persen masyarakat masih percaya akan adanya politik uang. Sementara itu, hanya 13,1 persen yang menganggap tidak percaya dan 15,8 persen mengatakan tidak tahu.
“Mereka bisa jadi berkaca dengan Pilkada sebelumnya atau memang dijanjikan akan adanya money politik di hari-H oleh setiap kandidat,” ungkap dia.
Lebih lanjut ada 47,8 persen pemilih yang menyatakan politik uang mempengaruhi pilihan kandidat. Dan 35,8% pemilih mengataan tidak akan dipengaruhi politik uang dan sebanyak 16,4 persen menjawab tidak tahu.
“Money politic menjadi budaya karena pengalaman mereka tidak hanya terjadi di Pilkada, tetapi juga di Pileg, Pilkades malah lebih banyak lagi. Dalam gelaran hajatan ini, mereka ingin mendapatkan porsinya. Money politic, diangap budaya tetapi itu salah kerena yang menjadi pemimpin adalah yang bisa membayar saja,” tutur Adrian mengakhiri.
Istilah golput mengacu pada pemilih yang suaranya tidak dihitung. Baik yang tidak datang ke TPS (Tempat pemungutan Suara ) ataupun yang mendatangi TPS namun suaranya tidak sah.
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Mutaya Saroh