tirto.id - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Dave Laksono membantah ada dana korupsi dari Eni Maulani Saragih masuk ke kas Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar yang diselenggarakan Desember 2017 lalu.
"Enggak, kan kita terbuka dananya dari mana. Namanya bendahara acara itu kan hanya seperti juru bayar, hanya mempertanggungjawabkan keuangan dan kebutuhan apa saja. Tidak ada hubungannya dengan Partai Golkar," kata Dave kepada Tirto, Senin (16/07/2018).
Dugaan bahwa ada dana korupsi yang mengalir ke Munaslub Partai Golkar mengemuka setelah diketahui bahwa Eni adalah bendahara acara yang diselenggarakan pada 17 Desember 2017 hingga 20 Desember lalu.
Eni Maulani Saragih ditetapkan KPK sebagai penerima suap sebesar Rp500 juta dari Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (14/07/2018). Uang itu merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5 persen dengan nilai proyek senilai Rp4,8 miliar.
Berdasarkan keterangan pers dari Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Eni diketahui telah empat kali menerima uang suap terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Pengambilan uang yang pertama dilakukan pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, kemudian Maret 2018 sebesar Rp2 miliar, Juni 2018 sebesar Rp300 juta, dan terakhir Juli 2018 lalu sebesar Rp500 juta.
"Enggak ada hubungannya Bu Eni dengan kebijakan partai apalagi kasus sebesar itu," tegas Dave.
Eni Maulani Saragih ditetapkan KPK sebagai penerima suap, ia diduga menerima Rp500 juta dari Johannes. Uang itu merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5 persen dengan nilai proyek senilai Rp4,8 miliar.
Penerimaan uang kali ini ialah yang keempat kalinya yang dilakukan berturut-turut yaitu pada Desember 2017 (Rp2 miliar), Maret 2018 (Rp2 miliar), Juni 2018 (Rp300 juta), dan kemarin (Rp500 juta).
“Diduga, uang diberikan JBK kepada EMS melalui keluarga dan staf,” terang Wakil Ketua KPK Basaria. Peran Eni dalam proyek itu untuk memuluskan penandatanganan kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Selain uang tersebut, KPK mengamankan barang bukti lain berupa tanda terima uang sebesar Rp500 juta.
Setelah melakukan pemeriksaan dan Gelar perkara dalam waktu 1x24 jam, Basaria menambahkan pihaknya menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah oleh penyelenggara negara secara bersama-sama terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU tersebut.
Kemudian, dari 13 orang yang ditangkap KPK, 11 di antaranya ditetapkan menjadi saksi dan kini masih dalam pemeriksaan yakni staf dan keponakan dari Eni, Tahta Maharya, Sekretaris Johannes, Audrey Ratna Justianty, suami Eni, Muhammad Al-Khafidz, dan delapan orang lainnya yang berprofesi sebagai sopir, ajudan, staf Eni, dan pegawai PT Samantaka.
Akibat perbuatannya, Eni disangkakan melanggar Pasal 12 huruf A atau huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu Johannes dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf A atau huruf B atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri