Menuju konten utama
Diajeng Berdaya

Gigih Pelajari Strategi Iklan: Upaya Lisa untuk "KAMA Watch"

Pengusaha asal Yogyakarta, Lisa (28), mengisahkan bisnis jam tangan kayunya yang berdesain etnik dengan bahan strap unik seperti kain tradisional.

Gigih Pelajari Strategi Iklan: Upaya Lisa untuk
Lisa, Produsen Jam Tangan Kayu. tirto.id/ Sekar Kinasih

tirto.id - Ketika duduk di bangku kuliah, Elisabeth Retno Kusharjanti atau Lisa (28) sadar bahwa dirinya tidak dapat berpuas diri hanya dengan menimba ilmu di dalam kelas.

Sembari mengikuti perkuliahan, mahasiswi Ilmu Komunikasi ini gencar mengeksplorasi minat di berbagai bidang—dari aktivitas jurnalisme, beragam proyek freelance, sampai membuat biro perjalanan sendiri dan menjadi pemandu wisata.

Bungsu dari tiga bersaudara asal Wonosari, Yogyakarta ini akhirnya mulai tertarik dengan bisnis mebel yang dikerjakan oleh kakak kedua, Stefanus Kushartanto atau biasa disapa Aan (32).

Aan mulai memproduksi mebel untuk coffee shop yang jumlahnya kian menjamur di kota gudeg. Dalam prosesnya, pembuatan mebel ini menyisakan banyak potongan kayu kecil. Alih-alih terbuang sia-sia, potongan kayu tersebut diolah Aan menjadi komponen-komponen jam tangan.

Pada 2015, lulusan teknik sipil ini bereksperimen merakit jam tangan yang dibuat dari kayu seutuhnya. Sayangnya, produksi aksesori yang diberi jenama Danawa tersebut tidak diteruskan.

Selang tiga tahun kemudian, di akhir masa kuliah, Lisa tertarik memasarkan jam tangan serupa mirip buatan Aan, tetapi dengan desain lebih ramping dan feminin.

Setelah melakukan riset, Lisa mencetuskan ide tentang jam tangan kayu dengan strap berbahan kain yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia.

Kenapa Kain Tradisional?

“Aku, sebagai anak muda, kalau disuruh pakai kain atau batik jadi merasa tua,” jelas Lisa.

Dengan menyematkan kain tradisional pada jam tangan, Lisa berharap tidak ada yang merasa kuno setiap kali mengenakan aksesori bernuansa etnik tersebut.

Demi mendapatkan hasil terbaik, Lisa sampai berburu kain asal Kalimantan dan Ende. Seiring itu, Aan semakin bersemangat bereksperimen dengan berbagai jenis kayu demi menghasilkan komponen dan desain paling pas untuk jam tangan sang adik.

Jam tangan dengan jenama INA Watch ini awalnya Lisa tawarkan kepada teman-temannya di kampus. Selain itu, sepanjang 2019, Lisa juga aktif memasarkan jam tangan kayunya di berbagai pameran kerajinan tangan.

Setidaknya ada lima pameran yang diikuti tahun itu, termasuk Adiwastra Nusantara, pameran terbesar untuk produk-produk berbahan kain tradisional Indonesia.

“Aku nggak expect antusiasmenya anak-anak Jakarta—banyak banget yang beli waktu itu sampai aku nggak sempet duduk sama sekali. Puji Tuhan, responsnya bagus. Selama lima hari pameran, dalam satu hari bisa dapat omzet Rp17-25 juta,” kenang Lisa.

Saat itu, Lisa juga sudah mulai memasarkan INA Watch di salah satu platform e-commerce. Sayangnya, belum juga penjualan daring mencapai target, aktivitas mereka terdampak pandemi COVID-19.

Inspirasi Produk Baru

Di tengah iklim bisnis yang lesu inilah, Lisa justru terinspirasi meluncurkan produk baru untuk segmen pasar berbeda.

Menurut Lisa, produk-produk INA Watch selama ini dinikmati terbatas oleh kalangan perempuan. Pada waktu sama, Lisa juga melakukan rebranding pada jam tangan Danawa—dari awalnya semua komponen berasal dari kayu, kini dibuatkan strap khusus dari bahan kulit sehingga menimbulkan kesan aksesori maskulin khas laki-laki dewasa.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Lisa mengajukan KAMA Watch, yang strap-nya bisa dibuat dengan berbagai jenis material dari berbagai motif dan spektrum warna. Sasaran KAMA Watch jelas: kaum muda yang bebas berekspresi dan bergaya, tanpa batasan gender.

Kelak, di platform e-commerce yang konsisten Lisa rawat selama empat-lima tahun belakangan, KAMA Watch menjadi produk andalan mereka dengan angka penjualan tertinggi—diikuti jam tangan kain INA Watch.

Usaha jam tangan ini semua turut melibatkan kakak pertama, Yasinta Eko Kushartanti (34) atau biasa disapa Yas, yang punya latar belakang ilmu akuntansi.

Kekompakan mereka dengan bekal ilmu masing-masing—Lisa bagian pemasaran dan supervisi penjualan, Aan yang mendesain dan merakit produk, dan Yas di keuangan dan perpajakan—sering digoda sekaligus dipuji sebagai “kombinasi mematikan” oleh teman-teman mereka.

Diajeng Lisa Jam Tangan Kayu

Elisabeth Retno Kusharjanti (Lisa) bersama kedua kakaknya, Stefanus Kushartanto (Aan) dan Yasinta Eko Kushartanti (Yas), berada di lokasi workshop jam tangan kayu di daerah Gamping, Sleman. tirto.id/ Sekar Kinasih

Lisa menjelaskan, keseharian bersama kakak-kakaknya dan para pegawai diwarnai dengan kesibukan—terutama pada momen diskon besar 10.10 yang jatuh pada 10 Oktober atau 12.12 pada 12 Desember.

“Kalau ada campaign tanggal cantik, orderan yang masuk dalam sehari bisa dari 300 sampai 500 jam tangan,” terang Lisa, yang konsisten menuntaskan semua pesanan yang masuk sebelum pukul 15.00 WIB pada hari itu juga.

Di rumah produksi mereka yang terletak di Gamping, Sleman, terdapat belasan pegawai dengan tugas masing-masing—dari memotong kayu, mengolahnya jadi komponen-komponen jam tangan, merakit jam dan memasangkan strap sesuai pesanan, sampai memasukkan produk ke dalam kotak wadah yang siap dikirim.

Seperti dijelaskan Aan dan Lisa, mereka sendirilah yang mengolah kayu gelondongan menjadi komponen-komponen siap rakit, sehingga production cost dapat ditekan dengan efektif. Maka dari itu, dibandingkan dengan produk kompetitor lainnya, harga jam tangan kayu buatan mereka tergolong ramah bagi kantong pasar Indonesia.

“Karena aku ingin semua orang bisa merasakan punya barang yang kualitasnya sama dengan yang harganya mahal,” ujar Lisa.

Gigih Pelajari Strategi Iklan

Di balik padatnya aktivitas produksi di bengkel, Lisa tak menampik bahwa selama ini strategi penjualan masih menjadi tantangan utama dalam usahanya.

“Tahun 2020, awalnya cuma tiga orang yang pesan jam tangan KAMA,” kenang Lisa tentang pembeli pertama mereka di e-commerce.

Seiring waktu, Lisa paham bahwa iklan berbayar adalah kunci utama untuk menyokong pemasaran produknya, baik di platform e-commerce atau TikTok.

“Aku dulu masih awam. Aku nggak ngerti dulu gimana cara nge-branding, gimana cara menyebarkan apa yang aku punya. Bingung…”

Setelah menerima saran dari teman-teman kuliahnya, Lisa pun berupaya mempelajari cara kerja ads.

“Aku nggak pernah kursus. Tapi pernah pake agency dua kali. Setelah itu, karena sudah ada history-nya, aku lanjutkan coba-coba sendiri.”

Saat pertama mencoba beriklan, sekitar tahun 2020, Lisa mengalokasikan anggaran iklan di kisaran Rp100-200 ribuan per hari—upaya yang terbukti mendorong jumlah pesanan masuk.

Kini, demi menjangkau market lebih luas, Lisa mulai berani untuk meningkatkan anggaran iklannya. Lisa pun aktif melakukan live shopping di akun-akun jualan, tak terkecuali TikTok.

Diajeng Lisa Jam Tangan Kayu

Produk jam tangan kayu KAMA Watch dengan strap warna polos netral. FOTO/ Dokumentasi KAMA Watch

Sembari terus bereksperimen dengan iklan, Lisa juga semangat mempelajari tentang sistem endorsement.

Hal ini terkait dengan kejadian yang berlangsung pada pengujung tahun 2021. Tiba-tiba saja, mereka menerima pesanan membludak. Setelah ditelisik, ternyata seorang influencer di aplikasi video TikTok membeli produk KAMA Watch dan memberikan ulasannya.

“Dari situ, ternyata videonya ditonton sampai satu juta views. Terus jadi banyak yang beli. Penjualan jadi naik,” jelas Lisa, “Padahal aku nggak endorse dia. Setelah tahu efeknya, aku baru mulai memakai jasa endorse.”

Aan menimpali, “Waktu itu, kami ragu-ragu mau mengeluarkan budget untuk endorse. Impact-nya bagaimana? Sekarang, kita percobaan. Jadi, ada influencer A, B, C, D. Kita tembak semua—yang paling bagus siapa, kita cari jaringannya.”

Strategi marketing endorsement dengan influencer ini masih menyisakan segudang misteri untuk diungkap. Suatu waktu, Lisa pernah mencoba menggunakan jasa influencer yang pertama kali memopulerkan KAMA Watch secara cuma-cuma.

“Tapi impact-nya nggak seperti endorsement pertama. Entah gimana ya cara algoritmanya TikTok bekerja. Makanya, sampai sekarang masih mencari tahu,” aku Lisa.

Terlepas dari semakin dinamis dan luasnya ilmu bisnis dan marketing dari hari ke hari, Lisa menolak untuk berhenti berburu pengetahuan baru demi keberlanjutan bisnisnya.

Perempuan yang hobi belajar bahasa Belanda, Spanyol, dan Rusia ini bercita-cita agar di masa depan nanti dapat membuka toko fisik dan berinteraksi dengan pembeli langsung.

Ia juga ingin mendiversifikasi produknya, sebut di antaranya perhiasan, aromaterapi, makanan, bahkan mungkin pakaian.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Maya Saputri