tirto.id - Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa, menjelaskan keinginan Partai Gerindra untuk menjadikan KPK sebagai lembaga resmi pemerintahan. Menurut Desmond, hal ini diperlukan agar KPK tidak bisa diganggu dengan alasan dibubarkan dan semacamnya.
Meski tidak merinci negaranya, politisi Partai Gerindra ini menuturkan bahwa hampir di setiap negara memiliki lembaga resmi antirasuah tersendiri di bawah pemerintahan. Atas dasar itu, Desmond menegaskan bahwa KPK haruslah tetap ada di Indonesia dan menjadi lembaga resmi dalam bidang pencegahan kasus korupsi, meski apabila nanti Densus Tipikor bekerja secara efektif.
“Kalau menurut saya, KPK harus tetap ada. Minimal dia melakukan upaya-upaya melakukan edukasi tentang budaya antikorupsi dan pengawasan kegiatan-kegiatan yang bersifat keuangan negara. Tetap harus ada,” ujar Desmond, Selasa (17/10/2017).
KPK yang awalnya dibentuk untuk memberantas korupsi di Indonesia ini dijadikan lembaga independen yang sifatnya ad hoc atau sementara. Desmond berharap KPK tidak hanya diposisikan sebagai lembaga penindakan korupsi, tetapi juga pencegahan kasus korupsi. “Kenapa harus ditakutkan?” kata Desmond di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
“Ad hoc itu kan sementara, resmi itu adalah harapan Partai Gerindra ke depan. Maka agar ini tidak ad hoc lagi, perlu ada kerja bareng serentak dalam rangka negara bebas korupsi. Nanti tidak akan ad hoc menurut saya kalau semuanya terukur dan negara sudah bebas korupsi,” tegas Desmond.
Dari rapat antara Komisi III, Kejaksaan Agung RI, Polri, dan KPK kemarin, Desmond berpendapat bahwa KPK memang sebaiknya berada di bawah pemerintahan agar tidak bentrok dengan kepentingan nasional. Namun ia tidak bisa memaksakan kehendaknya. Sebagai wakil dari Partai Gerindra di DPR, ia tidak mau merusak proporsi yang sudah dibentuk oleh pemerintah.
Menurutnya, bukan Partai Gerindra yang sepatutnya bicara soal kedudukan lembaga KPK, tetapi pemerintah, yakni Presiden Jokowi. Apabila memang pemerintah serius tidak ingin KPK dibubarkan karena embel-embel sementara, sepatutnya pemerintah mengajukan perubahan Undang-undang KPK yang mengatur bahwa KPK adalah lembaga ad hoc.
“Hari ini KPK, kita harus lihat bahwa ia tidak berada di bawah pemerintahan karena undang-undangnya seperti itu. Kecuali kalau DPR dan pemerintah mengubah sesuai dengan politik pemerintah,” ungkapnya lagi.
Desmond meyakini bahwa komisi antirasuah itu harus menjadi lembaga resmi karena dasar bagi KPK menjadi lembaga sementara dalam pemberantasan korupsi sampai tuntas di Indonesia. Namun, selang 15 tahun berlalu, pemberantasan korupsi tetap marak. Jikalau demikian, peran KPK sebagai lembaga sementara, bukan tidak mungkin akan diubah menjadi lembaga tetap negara.
"Apa pekerjaan ini perlu 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, 15 tahun lagi, apa 50 tahun lagi. Kita tidak tahu,” imbuhnya kemudian.
Sementara itu, politisi dari Partai PDIP, Eddy Kusuma WIjaya justru menganggap bahwa KPK sebagai lembaga ad hoc boleh jadi ditiadakan setelah Densus Tipikor terbukti bekerja secara efektif dan efisien dalam memberantas kasus korupsi. Menurut Eddy, dasar dari pembentukan KPK adalah karena tidak adanya lembaga yang bebas dari pengaruh manapun dalam pengusutan tindak pidana korupsi pada era reformasi.
Ia meyakini bahwa apabila kasus korupsi sudah bisa ditindak tegas oleh kepolisian dan kejaksaan, tentu lembaga sementara macam KPK tidak perlu dipertahankan.
“Kalau misalnya nanti polisi dan jaksa sudah efektif, untuk apa lagi KPK? KPK itu kan ad hoc [sementara]. KPK itu bukan lembaga negara, tapi sifatnya sementara. Lembaga negara sesuai hukum tata negara itu, penegak hukum itu, polisi dan jaksa. Dan dia sudah ada tugas untuk memberantas korupsi,” kata anggota Komisi III DPR RI, Eddy Kusuma Wijaya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari