tirto.id - Facebook Inc akan membuat sejumlah tool untuk mencegah penyebaran berita bohong. Para pengguna Facebook akan bisa menandai artikel-artikel bohong pada News Feed mereka. Facebook juga akan bekerja sama dengan organisasi-organisasi semacam laman penguji fakta Snopes, ABC News dan Associated Press untuk memeriksa keaslian berita.
Sayangnya, rencana tersebut dianggap tidak cukup. Jerman misalnya, menilai bahwa berkembangnya hoax tak bisa lepas dari “lubang” yang selama ini dibiarkan di dalam jaringan Facebook dan media sosial lain. Jaringan yang luas itu mampu memberikan dampak yang negatif tanpa diduga-duga. Jerman menilai perlu ada upaya konkret dan tegas. Muncullah wacana pengenaan denda untuk para pembuat hoax.
Ketua Parlemen Jerman dari Partai Sosial Demokrat, Thomas Oppermann, awal pekan ini mengemukakan rencana membuat peraturan yang memuat ketentuan denda bagi Facebook dan platform media sosial lain setiap kali ada berita palsu yang dipublikasikan oleh penggunanya di masing-masing laman. Sebagai bentuk komitmen tegas, ia mengusulkan denda bagi pelanggar senilai 500.000 euro atau setara dengan Rp7 miliar per item hoax yang terpublikasikan.
“Jika dalam jangka waktu 24 jam Facebook tidak menghapus informasi (berita) yang mengganggu maka mereka harus membayar biaya penalti hingga 500 ribu euro,” kata Oppermann, dalam wawancaranya dengan majalah Der Spiegel.
Ia menilai Facebook tak menggunakan kekuatannya sendiri yang besar secara efektif untuk menanggulangi pengelolaan atas pengaduan yang masuk. Maka ia sekarang ingin “mewajibkan platform marketing seperti Facebook untuk mendirikan pusat perlindungan hukum yang dapat diakses 365 hari dalam setahun di Jerman” dan kantornya akan bertanggung jawab atas tugas menghapus konten fitnah, palsu, maupun yang ofensif.
Oppermann mengaku mendapatkan banyak dukungan terkait rencana tersebut. Partai Persatuan Demokrat Kristen Jerman yang mengeluarkan pernyataan dengan isi serupa setelah Facebook mengumumkan rencananya melawan hoax. Di Jerman telah tumbuh kesadaran bahwa membiarkan hoax bisa merugikan masyarakat. Oppermann ingin mereka yang telah dirugikan mendapat kompensasi, dan kompensasi itu bisa diambil dari denda.
Kekhawatirannya beralasan kuat. Oppermann dan politisi lain belajar dari maraknya peredaran hoax selama masa kampanye dan pemilu AS pada bulan November lalu. Persaingan tak sehat ini membuat demokrasi kehilangan esensinya. Jerman akan melangsungkan Pemilihan Bundestag alias parlemen Jerman pada tahun 2017 mendatang. Jerman tak ingin mengulang kekeliruan AS dalam ajang pemilunya sendiri karena rakyatnya nanti yang akan dirugikan.
Persoalannya, Facebook menganggap dirinya sebagai platform berbagi, bukan media yang memproduksi berita sendiri. Hal ini dibantah oleh Menteri Kehakiman Jerman Heiko Maas, sebagaimana dikutip Reuters, menilai “Facebook harus diperlakukan sebagai media, bahkan jika mereka tidak sesuai dengan konsep media televisi atau radio. Mereka (kelompok media sosial) bertanggung jawab secara pidana karena gagal untuk menghapus ujaran kebencian.”
Maas menyampaikan hal tersebut pada November lalu. Pendapatnya segera didukung oleh kepala Kementerian Hakin Hamburg Till Steffen yang kemudian menekan Maas untuk segera mewujudkan rancangan undang-undang anti hoax di medsos sebelum pemilihan Bundestag dimulai.
Ia berpendapat bahwa seharusnya semua platform media sosial diwajibkan untuk menghapus hoax-hoax yang beredar di lamannya masing-masing dan melaporkannya secara transparan ke publik. Jika perusahaan menolak kewajiban tersebut, maka yang bersangkutan harus membayar denda. Steffen lebih galak ketimbang Oppermann sebab menyarankan denda maksimal sebesar 1 juta euro. Kisaran ini baginya wajar mengingat perusahaan platform media sosial seperti Facebook meraup keuntungan yang besar, dan salah satunya disumbang oleh peredaran hoax tersebut.
Angela Merkel, sang kanselir, tak tinggal diam. Akhir November lalu ia telah menyatakan sikapnya yakni menentang segala bentuk berita palsu di sosial media. Ia memiliki kekhawatiran berita palsu itu digunakan oleh politisi kotor untuk menaikkan namanya dan di masa depan akan merugikan rakyat Jerman. Sebagaimana dilaporkan AFP, ia menilai internet memang bisa jadi jalan yang efektif untuk memanipulasi banyak hal.
“Ada banyak perubahan di era ini. Globalisasi melaju pesat, debat politik berkembang di tempat dan lingkungan baru. Opini tak terbentuk sebagaimana 25 tahun ia hadir di masyarakat. Hari ini situs palsu, bots, trolls, mampu meregenerasi dirinya sendiri, memaksakan opini-opininya dengan algoritma khusus, dan kita harus menghadapi itu semua,” kata Merkel.
Ia mendukung koalisi yang dibuat oleh kubu kanan maupun kiri di Jerman untuk menghabisi ujaran kebencian di media sosial. Persatuan itu baginya penting sebab kini di Jerman dan Eropa secara umum sedang digempur oleh ekstremisme yang berbahaya bagi masa depan demokrasi. Membiarkan hoax berkembang di media sosial sama saja menyiram bensin pada pihak-pihak yang tak kritis serta mudah terprovokasi.
Semangat yang sama ditangkap oleh Martin Schulz, Presiden Parlemen Eropa, yang kebetulan juga berasal dari Jerman. Ia menyerukan kepada anggota Uni Eropa lain agar sama-sama merancang undang-undang pemberantasan hoax. “Facebook harus membayar mahal atas peredaran berita hoax. Facebook dan perusahaan sejenis semestinya bisa jadi lebih dari sekadar perusahaan pencetak uang,” kata Schulz.
Ekosistem Luas, Tanggung Jawab pun Besar
Sejak muncul wacana pemberantasan hoax di Facebook dan media sosial lain, publik bertanya-tanya, bagaimana caranya? Siapa yang terlibat?
Secara substansial, sebagaimana deskripsi Facebook dalam postingan bertajuk “News Feed FYI: Addressing Hoaxes and Fake News”, upaya tersebut masih melibatkan para pengguna Facebook. Perusahaan raksasa yang berkantor di Sillicon Valey itu mengandalkan laporan dari pengguna akun yang secara sederhana bisa dilakukan dengan menuju tombol pilihan di kanan atas postingan. Sayang tindakan ini dikritik oleh sejumlah kalangan karena postingan yang bersangkutan tak bisa serta merta dihapus, melainkan dikurangi penyebarannya.
Facebook menyadari bahwa langkah penanganan hoax tak semudah membalik telapak tangan. Sepanjang usaha mereka dalam menyusun mesin pendeteksi hoax, Mark Zuckerberg dan kawan-kawan berharap bahwa para penggunanya bisa menjadi agen anti-hoax yang rajin melaporkan konten berita palsu.
Perkara klasik yang selalu dikedepankan Facebook adalah kedewasaan dan kritisisme para penggunanya dalam menanggapi tiap postingan di beranda. Meski demikian, sebagaimana visi politisi Jerman, Facebook juga tak bisa lepas tangan begitu saja. Mengutip perkataan Martin Schulz kepada Deutsche Welle, “Jaringan besar yang dimiliki media sosial otomatis menciptakan tanggung jawab yang besar dalam pekerjaan mereka.”
Kabar baiknya adalah masyarakat dunia makin sadar bahwa perlu membentuk semacam komunitas anti-hoax agar teknologi berbasis internet ke depannya tak disalahgunakan lagi. Di Indonesia, sejumlah orang yang merasa resah dengan penyebaran berita bohong atau hoax mendirikan komunitas Masyarakat Indonesia Anti Hoax untuk melawan derasnya informasi tidak benar.
Aktivis media sosial sekaligus Ketua Masyarakat Indonesia Septiaji Eko Nugroho saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (1/12/2016), mengatakan bahwa penyebaran hoax sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan di Indonesia, terutama mendekati masa pemilihan umum di daerah-daerah yang akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2017 besok. Ia dan komunitasnya mendirikan forum untuk mencari kebenaran dari berita yang beredar berdasarkan fakta dan data yang bisa dipercaya.
Sejak dideklarasikan sejak 2015 lalu, dalam sehari komunitas tersebut mendapat sekitar 30 hoax, kebanyakan berupa isu politik, kesehatan dan keuangan. Informasi hoax yang beredar secara viral memicu keributan di dunia maya bahkan dapat berujung pada konflik horizontal fisik di kalangan masyarakat.
Sebagaimana dilaporkan Antara, gerakan tersebut kini memiliki sekitar 13 ribu anggota di media sosial dan tidak berafiliasi dengan kelompok tertentu maupun pemerintah. Aji mengaku saat ini mereka baru mampu mencapai berita hoax yang beredar di media sosial seperti Facebook dan Twitter, namun belum mampu menjangkau pesan pribadi seperti melalui WhatsApp kecuali bila ada yang mengirimkan cuplikan gambar.Selain itu, mereka juga mengunggah berita hoax sekaligus klarifikasi dari pihak resmi maupun penelusuran informasi melalui situs turnbackhoax.id.
Merujuk temuan selama ini, yang paling mengkhawatirkan bagi komunitas tersebut adalah penyebaran berita hoax tidak memandang tingkat pendidikan penyebarnya. Berdasarkan temuan, orang berpendidikan tinggi ada yang turut menyebarkan berita bohong melalui media sosial.
"Ini anomali, tapi, bukti penyebaran hoax berbahaya," pungkasnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti