tirto.id - Saya menginjak Yogyakarta dengan lagu-lagu DOM 65 yang melantang lewat earphone.
Mungkin sudah cukup rasanya meromantisasi kota Yogyakarta lewat lagu Kla Project atau Adhitia Sofyan, pikirku.
Ada banyak potret kota ini yang tak dilihat orang. Masalah ada di sana-sini. Sudah banyak orang meneriakkan protes, tapi sebanyak itu juga yang menutup kuping, mengabaikannya, dan bersembunyi di balik segala romantisme usang soal Yogyakarta.
Dalam kondisi ini, musik dan lirik DOM 65 seperti potongan kisah nyata yang enggan ditoleh karena ia terasa getir.
Baru-baru ini, band punk kawakan yang lahir di CC Barmy Army, Yogyakarta, 25 tahun silam, merilis Gembel Perumahan, album mini baru yang jadi pernyataan tegas DOM 65 sebagai band street-punk yang mencoba merespons keadaan kotanya. Benang merahnya: kota ini sedang tidak baik-baik saja.
Gembel Perumahan terdengar seperti sebuah kejutan janggal bagi saya. Apalagi jika membandingkannya dengan album terdahulu, seperti Greatest Pledge Articles, Committed, atau Secret Warehouse yang terdengar megah. Alih-alih meremehkan, saya malah penasaran. Apalagi jika ditilik lebih lanjut, judul itu terasa cocok bagi band yang mencitrakan diri sebagai band punk paling menyebalkan.
Pada suatu hari, sebuah pesan pendek dari Adnan Darma Kusuma, bassist DOM 65, masuk ke ponsel saya. Isinya undangan untuk hadir di peluncuran album baru DOM 65. Tanpa banyak berpikir, dengan kereta api Jayakarta saya pun bersiap hadir menghadiri pesta perayaan kelahiran Gembel Perumahan ke dunia. Ini sebuah ajakan yang susah ditolak.
DOM 65 bisa dibilang sebagai band yang jarang manggung. Terhitung sejak 2010, panggung mereka bisa dihitung dengan jari. Tolong koreksi jika salah, mereka setiap tahunnya bahkan tidak pernah manggung lebih dari lima kali. Entah karena memang idealis atau kurang laku, mereka mengaku selektif dalam memilih panggung dengan berbagai pertimbangan. Anggap saja mereka adalah anak punk yang memegang teguh prinsip.
Panggung terakhir mereka terjadi sebelum pandemi yaitu awal 2020 lalu. Pada 2019 mereka hanya tampil empat kali: di sebuah acara di Malang, di Synchronize Fest, Sound From The Football, dan From Terraces to the Stage. Saya menonton tiga dari empat acara tersebut, dan tidak ada yang mengecewakan.
Perayaan itu dilangsungkan di sebuah bar gelap penuh coretan dinding di daerah Prawirotaman. Acara ini digagas secara kolektif dan mandiri oleh West Mandala yang berkolaborasi dengan Sinar Suara Record. Di pintu masuk, saya sudah disambut oleh anak-anak mbeling yang menenteng minuman beralkohol. Sebuah sambutan yang hangat selayaknya acara gigs HC/Punk. Tampak para pegiat musik di Yogyakarta yang turut hadir pada pesta ini.
Pesta dibuka lepas Isya oleh Coolestterror, seorang DJ yang memainkan playlist reggae dub yang meremix lagu-lagu punk. Pertunjukan pun dilanjut dengan band punk rock penerus DOM 65, yaitu The Genk dan The Kick. Penampilan mereka pun menjadi pembukaan yang menyenangkan.
Jauh sebelum acara ini, saya mengenal DOM 65 secara personal.
Imam Senoaji, sang vokalis penuh tato, bapak satu anak, menjalani hidup sebagai punk dengan melakoni kerja apa saja, mulai dari kurir pengiriman barang hingga jualan miras. Adnan, sang bassist berambut mohawk pendukung PSIM, selalu meluapkan amarahnya via status Whatsapp dan sering menikmati kesendirian di lantai 2 West Mandala. Juga Kemal Akbar, sang drummer asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, sarjana lulusan kampus Muhammadiyah yang pernah keracunan miras murahan tapi tetap betah di Yogyakarta hingga menjadi operator sound system.
Mengenal mereka memberi banyak perspektif baru tentang keadaan kota mereka saat ini. Upah rendah, dikepung pembangunan tak terkontrol, klitih yang nyaris tak bisa diberantas, dan pariwisata yang terus merangsek ke segala lini.
Sebagai penduduk Yogyakarta, mereka seperti gemas dan ingin merespons itu semua. Gembel Perumahan menjadi kontemplasi akan kehidupan mereka sebenarnya. Album ini jadi luapan emosi serta kemarahan para personelnya. Maka tak heran kalau menurut Dimaz Maulana, kurator dari Cemeti: Institut Untuk Seni dan Masyarakat, album ini adalah sebuah karya seni yang bersifat semi etnografi.
Band yang pernah masuk dalam nominasi Indonesia Cutting Edge Music Awards (ICEMA) pada 2012 lalu ini adalah band punk yang unik. Jimi Multazham, vokalis The Upstairs dan Morfem, dalam sebuah postingannya di Instagram pernah menyebut mereka sebagai "...band punk terbaik Nusantara." Dalam obrolan bersama Kiki Pea, ia menyebut DOM 65 sebagai band Yogyakarta yang paling dia suka.
“DOM 65 band yang sudah tidak peduli mau dinamakan apa musik mereka. Eksplorasinya sudah jauh meninggalkan pakem-pakem yang ada. Penulisan liriknya pun keras, lengkap dengan aksen medoknya. Itu yang menjadi khas mereka,” kata Jimi.
Pada pesta peluncuran Gembel Perumahan, DOM 65 tampil istimewa sebagai band yang paling ditunggu. Mereka tampil berempat dibantu Uut Mubarox, mantan personel yang saat ini didapuk menjadi pemain tambahan. Tampil selama 1,5 jam mereka mampu menghibur para Domlimaniak dan Hyena Brigade --sebutan untuk penggemar mereka. . Meski sempat terganggu dengan adanya penonton yang moshing dan tak sengaja menginjak pedal, tapi mereka tetap bisa tampil konsisten dan prima. Penuh tenaga! Mereka pun sempat featuring dengan Acha Straight Answer membawakan lagu “Me And The Kids”.
“Hari ini kalian bebas ngapain aja asal nggak naik panggung. Mosok DOM 65 gak mabuk,” seloroh Imam yang langsung memainkan lagu pembuka "Gentho Kates".
Total mereka membawakan 12 lagu dalam pertunjukan yang dipenuhi alkohol dan asap rokok itu. Selain lagu pembuka, meeka juga membawakan "8 to 8", "Collapse", "Jumbo Bus", "Stone War", "30 Tahun Pengangguran" dan ditutup dengan "Fortuna".
Di tengah pertunjukan, saat efek gitar sedang dibenarkan karena terinjak penonton, mereka sempat menyanyikan lagu "Gara-gara Cinta" milik The Mercys.
Selepas pertunjukan, saya mengobrol dengan Imam mengenai album barunya ini. Secara jujur, ia bercerita album ini dia buat karena kemiskinan dampak pandemi. Dengan pekerjaannya sebagai kurir, dia melihat bagaimana kemiskinan makin mengurat nadi di kota ini. Tak hanya melihat, ia juga mengalaminya sendiri.
“Ketika pandemi ini aku miskin beneran. Gembel Perumahan ini bukan menjual kemiskinan, tapi ini tentang bagaimana seseorang bertahan di situasi yang belum pernah dia alami. Aku tidak pernah kepikiran untuk menjadi kurir, tapi aku perlu pekerjaan yang bisa menghidupi keluargaku,” kata Imam.
Maskot DOM 65 yang dipakai pada album ini, yang juga ada di video klip, memang merupakan gambaran dari kondisi Imam sewaktu menjadi kurir. Maskotnya adalah seorang bermuka hitam dan tangan hitam namun berbadan putih. Itu merupakan simbol dari wajah dan tangan yang menghitam terkena sinar matahari.
Imam mengungkapkan bahwa ia ingin menciptakan istilah baru yang bisa dipakai banyak orang. Secara tengil dipilihlah judul album yang merupakan respons satirnya terhadap kondisi penurunan kelas ekonomi yang tidak hanya terjadi di kampung-kampung kumuh di perkotaan, tapi sudah masuk dalam komplek perumahan yang katanya elite.
“Dulu orang kampung nanya tinggal di mana? Perumahan? Oh orang elite. Lingkungan yang rapi bersih dan sebagainya. Sedangkan sekarang ini banyak perumahan rakyat. Bisa jadi perumahan yang pagarnya bagus, terasnya bagus, belum tentu mereka masak daging. Bisa saja mereka masak Indomie” ujarnya sembari menceritakan pengalaman seorang teman.
Album ini diakuinya penuh kendala realistis: ia kecapekan setelah kerja.
Mengenai pergeseran genre musik yang terus berubah dari album ke album DOM 65, Imam menyebut hal itu terjadi secara natural. Imam menjelaskan banyak ada banyak kondisi yang memengaruhi pergeseran genre, termasuk referensi hingga pendewasaan. Menurut Iman, kondisi itu jelas memengaruhi musikalitas dan penulisan lirik. Termasuk album barunya yang terdengar seperti musik rock alternatif.
“Musiknya bisa berubah jadi alternative rock itu juga aku gak tahu sebenarnya. Karena menurutku aku ini ingin setiap album itu berbeda, benang merahnya gak boleh putus. DOM 65 ini kan sudah punya ciri, tapi dalam gaya sound dan aransemennya dan komposisinya sedikit berbeda, ben ora bosen. Aku ingin berbeda. Dan berbeda itu jadinya alternative rock. Itu alami, benar-benar alami,” kata dia.
Memang, selama menggarap album ini ia terus mendengarkan band-band hardcore dan punk, mulai dari Short Sharp Shock-nya Chaos UK, hingga Fugazi. Ia ingin memadukan musik Oi dari Inggris dan Amerika Serikat. Meski begitu, Imam juga menyebut album ini adalah bentuk rasa penasarannya terhadap Pearl Jam. Bisa jadi, dari sana, secara alamiah musik baru DOM 65 terbentuk.
Menurutnya, perkara perubahan genre adalah hal wajar, termasuk dalam musik punk rock. Menurutnya, musisi punk sebaiknya tak saklek perkara genre
“Kalau punk mandek, dia berhenti. Punk harus adaptif,” tambahnya. []
Editor: Nuran Wibisono