Menuju konten utama

Gelap-Terang Katolik dan Islam di Timor Leste

Katolik dan Islam berkembang di Timor bagian timur sejak berabad-abad lalu. Kekuasan Portugis dan Indonesia mempengaruhi relasi kedua pemeluknya.

Gelap-Terang Katolik dan Islam di Timor Leste
Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 1996 Uskup Timor Leste Carlos Filipe Ximenes Belo memperlihatkan sertifikat dan medalnya selama upacara Nobel di balai kota Oslo, Selasa 10 Desember 1996. Belo dan sesama aktivis pemenang hadiah Jose Ramos-Horta dianugerahi Hadiah Perdamaian 1996 atas perjuangan mereka untuk secara damai mengakhiri dua dekade pendudukan Indonesia atas Timor Timur, bekas jajahan Portugis. AP Photo/Bjoern Sigurdsoen

tirto.id - Timor Leste punya pertautan sejarah nan panjang dengan Portugal. Negara itu menjajah Timor sejak abad 16, membuat Timor Leste dulu dikenal sebagai Timor Portugis. Pada 1975, Portugal meninggalkan Timor. Namun Indonesia, didukung oleh AS, Inggris, dan Australia, menginvasi Timor, dan menjadikannya provinsi ke 27 bernama Timor Timur.

Portugis tak hanya menduduki Timor, tapi juga mengenalkan agama Katolik. John Hodge dalam The Catholic Church in Timor-Leste and the Indonesian Occupation (2013) menulis bahwa Ordo Dominikan menyelenggarakan misi di Timor sejak abad ke-16. Gereja pun mendirikan paroki, sekolah, dan balai pengobatan di daerah-daerah Timor yang dapat dijangkau anggota mereka. Semasa Timor Portugis, sebagian kecil penduduk bersalin menjadi katolik, sementara sebagian besar lainnya menganut kepercayaan tradisionalnya.

"Kadang-kadang Gereja Katolik dituding berwatak aristokratik. Yang menarik, pada kesempatan-kesempatan penting, pengurus Gereja berpihak pada rakyat melawan rezim kolonial [Portugis], yang bahkan menyebabkan Gereja diusir dari koloni selama suatu kurun tertentu," sebut Hodge.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2015, sekitar 97 persen penduduk Timor Leste beragama Katolik. Namun, empat puluh tahun sebelumnya, tak lama sebelum invasi Indonesia, pemeluk Katolik di Timor Leste masih minoritas.

Pada 1973, jumlah mereka hanya berkisar 27,8 persen dari total penduduk. Ketika dikuasai Indonesia, jumlah pemeluk Katolik meningkat tajam. Pada 1989, pemeluk Katolik di Timor Leste telah mencapai sekitar 80 persen total penduduk.

Dalam East Timor: An Indonesian Intellectual Speaks Out (1994), George Aditjondro menengarai ada enam faktor yang mendukung peningkatan jumlah pemeluk Katolik di Timor Leste.

Pertama, Orde Baru mewajibkan setiap warga negara Indonesia menganut satu dari lima agama resmi. Katolik dianggap lebih menarik karena agama lain dianggap agamanya pendatang. Kedua, Gereja Katolik di bawah pimpinan Martinho Lopes dan Carlos Filipe Ximenes Belo, memihak hak asasi manusia dan menuntut agar rakyat Timtim menentukan nasib sendiri lewat referendum.

Ketiga, aktivitas Gereja Katolik jadi satu-satu jalan untuk berkumpul secara bebas dan terbuka. Keempat, ikonografi Gereja Katolik mampu menggantikan bentuk pemujaan terhadap leluhur yang dipraktekkan sebelumnya. Kelima, Katolik masuk lewat jalan darat dengan mudah dari Nusa Tenggara Timur, tetangga Timtim yang penduduknya mayoritas Katolik. Keenam, pertumbuhan Gereja Katolik beriringan dengan pengadopsian Tetun, bahasa lokal, sebagai bahasa resmi peribadatan.

Helene van Klinken menjelaskan dalam "Making Them Indonesians: Child Transfers out of East Timor" (2012) bahwa Katolik menyatu sebagai bagian dari identitas nasional Timor Leste. Ia menjadi pembeda bagi orang Timor dari penindas mereka, orang Indonesia yang mayoritas muslim.

Selain Katolik, Islam sebenarnya juga punya sejarah panjang di Timor Leste. Ambarak A. Bazher dalam buku Islam di Timor Timur (1994), menulis bahwa para pendatang Arab Hadramaut bahkan sudah tiba di Timor Leste sebelum Portugis. Walau, ada pula yang mengatakan mereka tiba bersamaan dengan Portugis. Yang jelas, saat itu mereka tidak menetap. Mereka baru mulai bermukim di Dili pada abad ke-17.

Penelusuran Bazher menunjukkan setidaknya 26 fam Arab Hadramaut pernah menetap di Dili sejak 1678 hingga 1975. Orang-orang yang diwawancarai Bazher menyatakan mereka juga dicurigai pemerintah kolonial Portugis. Beberapa di antaranya pernah dipenjara tanpa tahu alasannya.

Masyarakat Arab Hadramaut tinggal di Kampung Alor, Dili bagian barat, sejak abad ke-19. Daerah ini lalu dijadikan lokasi pendaratan Marinir Indonesia dalam serangan besar-besaran atas Dili, 7 Desember 1975. Sebagaimana dicatat Melissa Johnston dalam "A 'Muslim’ Leader of a ‘Catholic’ Nation?" (PDF, 2012) beberapa orang dalam komunitas Arab di Dili mendukung Partai Apodeti dan integrasi Timor Portugis ke Indonesia. Dalam kata pengantar di bukunya, Bazher menyebut Kampung Alor sebagai tempat bendera merah-putih Indonesia berkibar pertama kali di Timor Portugis.

Salah satu orang Islam berpengaruh dalam sejarah Timor Leste adalah Mari bin Amude Alkatiri. Politikus kelahiran Desember 1949, sudah dua kali jadi Perdana Menteri Timor Leste. Pertama pada 2002 hingga 2006, lalu yang kedua pada 2017 hingga 2018.

Alkatiri adalah salah satu fam keluarga Arab Hadramaut. Kakek Mari Alkatiri dari garis ayah tiba di daerah Timor Leste sekitar 200 tahun lalu. Mulanya ia berdagang, lalu menjadi petani, dan membeli lahan luas di Fatuhada, Dili.

Kalau di Indonesia, orang-orang seperti Mari Alkatiri kerap dipanggil habib karena disangka keturunan Nabi Muhammad. Namun, dokumen Rabithah Alawiyah, organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad, menunjukkan fam Alkatiri termasuk masaikh atau qabail, tidak memiliki hubungan dengan keluarga Nabi Muhammad.

Infografik Agama di Timor Leste

Infografik Agama di Timor Leste

Ketika Indonesia menduduki Timor Leste, militer mendukung penyebaran Islam. Menurut van Klinken, para perwira dan prajurit yang aktif Rawatan Rohani Islam, organisasi kerohanian tentara, gemar berdakwah di Timor Leste.

Selain itu, organisasi Islam paling aktif di Timtim ialah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Kegiatan DDII didukung Majelis Ulama Indonesia (MUI). DDII ini yang kelak kemudian mendirikan Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yakin).

Mengutip Catholic Institute for International Relations, van Klinken menuliskan bahwa bagi banyak orang Timor Leste, masjid dan sekolah Islam adalah simbol kehadiran Indonesia dan penentangan terhadap Gereja Katolik Timtim. Van Klinken mencatat sebagian besar demonstrasi di Timtm berwatak tanpa kekerasan. Namun, antara pertengahan 1994 dan pertengahan 1996, serangkaian kerusuhan berwatak kekerasan terjadi, menarget kaum Muslim dan lembaga-lembaga Islam di Timtim.

Pada 1999, referendum dilaksanakan dan 78 persen penduduk Timtim menyatakan ingin merdeka dari Indonesia. Menyusul kerusuhan yang pecah saat itu, sebagian penduduk Timtim yang pro-Indonesia menyeberang ke Nusa Tenggara Timur. Di antara para pengungsi itu, banyak yang memeluk Islam. Tidak heran bila selepas merdeka, jumlah penduduk muslim di Timor Leste menyusut dibanding sebelum merdeka. Menurut CIA The World Fact Book, jumlah penduduk Islam di Timor Leste hanya sekitar 0,2 persen saja.

Baca juga artikel terkait AGAMA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Nuran Wibisono