tirto.id - “Kamu sering banget nge-drop gini. Coba periksa lho, Nas,” seorang redaktur mengingatkan reporternya yang sering sakit. “Yang serius, bukan sekadar ke dokter umum. Biar jelas sakit apa.”
“Iya, Mbak. Entar deh.” Si reporter menyahut seadanya. Sejak kuliah dia memang punya riwayat darah rendah dan maag yang sering bikin kondisi badan tak fit.
Mendengar kabar dari sang reporter, redakturnya kembali menyeletuk, “Nas, jangan-jangan kamu sakit autoimun deh.”
“Ah, enggaklah, Mbak. Paling nge-drop biasa. Dari dulu Anas memang cepat sakit,” ia balas sambil tertawa.
Kecurigaan sang redaktur bukan asal tebak. Shahnaz Yusuf alias Anas belakangan memang lebih sering bolak-balik puskesmas. Ia mengeluhkan badan yang cepat kelelahan. Dulu, setibanya di Jakarta 2014, Anas masih kuat menjalani rutinitas yang padat. Ia bekerja penuh-waktu sebagai jurnalis di sebuah koran nasional, latihan biola seminggu sekali di Depok, dan sempat kumpul-kumpul tiap minggu bersama teman-teman lamanya saat kuliah di Medan.
Namun semuanya berubah sejak awal 2015. Tubuhnya sering mengalami kelelahan yang amat sangat sehingga ia cuma bisa tidur selain bekerja. Tak ada lagi kumpul-kumpul, tak ada lagi latihan biola. Bekerja pun makin terasa berat.
Anas kemudian beberapa kali mengecek kesehatannya ke puskesmas. Ia pernah didiagnosis “cuma kecapekan biasa” sampai gejala tifus dan diberi obat generik. Tapi kesehatannya terus bertambah parah. Sampai suatu hari, ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya sudah tak terasa biasa.
“Jari tangan rasanya sakit kalau pegang sesuatu. Telapak kaki rasanya kayak nginjak-injak batu-batu di taman. Padahal cuma nginjak lantai,” kata Anas.
Anas akhirnya benar-benar kolaps. Ia dibawa ke rumah sakit. Darahnya dites, dan hemoglobinnya benar-benar rendah. Oleh dokter, Anas diminta opname untuk dicek lebih lanjut.
“Dokternya curiga aku ada kista. Soalnya aku enggak pendarahan, tapi HB-nya rendah,” ungkap Anas.
Ia sempat didiagnosis thalasemia, kelainan darah yang membuat sel darah merah lebih cepat rusak. Tapi tak ada kista. Dan kekurangan HB Anas dinyatakan masih dalam tahap wajar.
Atas kejadian itu, sang redaktur kembali mengingatkan Anas. “Gejala kamu mirip autoimun deh, Nas. Coba periksa deh ke hematolog,” katanya.
Anas tak bebal lagi. Ia pergi ke hematolog alias ahli darah yang disarankan redakturnya. Tapi janji konsultasi yang baru bisa terwujud 1,5 bulan membuat Anas harus mencari alternatif lain. Setelah beberapa kali bertemu hematolog lain, Anas akhirnya mengikuti tes Antinuclear Antibody (ANA) Profile, sebuah tes yang dilakukan untuk mereka yang terduga autoimun.
Hasilnya: Anas positif autoimun, bahkan kadarnya mencapai lebih dari angka seribu. “Padahal ada teman yang aku kenal autoimun juga, cuma di angka 100,” kata Anas. Kondisinya memang sudah parah. Ia juga didiagnosis mengalami pengentalan darah yang sangat berbahaya dan bisa menyerang organ mana saja.
“Kalau ada pengentalan di mata, aku bisa buta. Kalau di jantung bisa gagal jantung, di otak bisa stroke, ya di mana saja bisa bahaya sih,” tambah Anas.
Tubuh manusia dilahirkan dengan seperangkat alat perang bernama sistem kekebalan tubuh atau sistem imun. Fungsinya untuk melawan segala penyakit atau bakteri dan virus yang coba masuk ke tubuh. Namun, bagi mereka yang mengalami gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh ini justru tidak menyerang penyakit yang datang, malah ikut membunuh jaringan tubuh empunya.
Bisa dibilang, segala komplikasi yang diderita Anas disebabkan oleh sistem imunnya yang menggerogoti tubuh Anas sendiri.
Dengan kondisi parah itu, Anas memutuskan untuk kembali ke Medan, tempat keluarganya tinggal. “Kalau sakit kan kita normalnya memang lebih suka diurus keluarga ya, kan. Aku juga enggak enak nyusahin teman-teman di Jakarta,” ungkap Anas.
Sebelumnya Anas sempat pindah beberapa hematolog karena merasa tak sesuai dengan penanganan yang diberikan pada pasien parah sepertinya. Ia juga sempat didiagnosis lupus, meski statusnya negatif saat dites. Pengalaman pindah-pindah dokter dan menjalani serangkaian salah diagnosis diakui Anas memang melelahkan. Tapi ia mafhum.
Dari riset yang dilakukannya terhadap penyakit yang menggerogoti tubuhnya, penderita autoimun lain juga mengalami hal serupa. Ini disebabkan gejala-gejala yang ditunjukkan gangguan autoimun sangatlah umum. Mirip dengan gejala-gejala sakit lainnya. Bahkan tak jarang yang telat didiagnosis dan berakibat fatal.
Di Amerika Serikat, menurut data American Autoimmune Related Diseases Association, ada 50 juta orang Amerika terkena gangguan autoimun. Dan ilmuwan telah mengidentifikasi 80-100 jenis gangguan autoimun dan 40 gangguan yang punya kemiripan dengan gangguan autoimun. Gangguan-gangguan ini bersifat kronis dan mengancam nyawa.
Ketika kadar autoimun tinggi, ia aktif menyerang dan penyakit gampang masuk ke tubuh. Berbagai macam penyakit akan mudah masuk, sehingga gangguan autoimun menjadi salah satu dari 10 penyakit penyebab kematian terbanyak untuk perempuan di segala umur.
Hal itulah yang dialami Anas. Dalam perjalanan ke Medan, tubuh Anas rupanya tengah mengoleksi penyakit lain. Paru-parunya berjamur dan infeksi di saat bersamaan.
Di Medan, ia bertemu dokter Gino Tan. Anas kembali menjalani sejumlah tes untuk memastikan penyakit autoimunnya. Di saat sang dokter menurunkan kadar autoimunnya, Anas juga harus berjuang menyembuhkan infeksi paru-parunya.
Waktu itu, dadanya sampai harus dibolongi untuk dipasangi selang yang menyedot nanah bekas infeksi. Selama beberapa hari. Sebelumnya, ada bagian di paru-paru Anas yang secara harfiah meledak dan membuatnya tersedak napas sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.
“Untung waktu itu autoimunnya enggak terlalu tinggi, jadi bisa sambil fokus untuk perawatan paru-paru,” kenang Anas.
Kini kondisi Anas berangsur membaik. Dibantu steroid dan sejumlah obat-obatan, ia mulai bertenaga lagi. Meski begitu, ia tetap harus menjalani berbagai macam pantangan supaya gangguan autoimunnya tak aktif.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani