tirto.id - Raket dan shuttlecock (bola bulu tangkis) atau biasa disebut kok, merupakan salah satu perlengkapan paling penting dalam permainan badminton atau bulu tangkis. Lewat kompilasi aturan permainan Laws of Badminton, Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) juga menjabarkan soal aturan dan ukuran kok dan raket yang bisa digunakan dalam pertandingan resmi.
Raket Bulu Tangkis
Raket merupakan alat pemukul kok dalam olahraga bulu tangkis. Alat ini memiliki 4 bagian yang disebut: handle (pegangan), poros, leher raket, serta kepala raket.
Total panjang frame atau rangka raket tidak boleh melebihi 680 mm, sedangkan ukuran lebarnya adalah 230 mm.
Handle berada pada bagian pangkal raket, yang berfungsi untuk pegangan pemain. Sedangkan pada ujung atau kepala raket juga disebut area senar (stringed area). Bagian inilah yang digunakan untuk menghantam atau memukul kok.
Kepala raket atau area senar harus rata dan dilengkapi dengan pola senar yang saling bersilangan. Pola senar harus seragam dan rapi, serta tidak boleh kurang rapat dari bagian tengah. Area senar tidak boleh melebihi panjang 280 mm dan lebar 220 mm.
Akan tetapi BWF juga memberi tambahan ketarangan bahwa senar bisa meluas hingga leher raket, asalkan lebar area senar yang diperpanjang tidak melebihi 35 mm. Sedangkan panjang keseluruhan area senar tidak melebihi 330 mm.
Area senar harus bebas dari aneka benda yang melekat atau tonjolan, di samping yang berfungsi untuk mencegah keausan atau getaran.
Sementara handle raket bisa ditambah lapisan untuk pengaman tangan pemain, namun harus bebas dari alat apapun yang memungkinkan mengubah bentuk raket. Adapun bagian raket yang menghubungkan handle dengan kepala raket disebut poros raket.
Kok Bulu Tangkis (Shuttlecock)
Mengacu aturan Laws of Badminton, kok bisa terbuat dari bahan alami maupun sintetis. Sementara dari jenis bahan sintetis, karakteristik terbang kok harus serupa dengan yang terbuat dari bulu alami dan bahan bagian dasar sejenis gabus yang dilapisi kulit tipis.
Kok alami alias yang terbuat dari bulu angsa harus dilengkapi 16 helai bulu yang dipasang melingkar di pangkalnya. Tiap bulu wajib memiliki panjang seragam, yakni 62 mm sampai 70 mm, diukur dari ujung atas sampai pangkal.
Ujung rangkaian bulu kok harus membentuk lingkaran dengan diameter 58 mm sampai 68 mm. Rangkaian bulu kok harus diikat kuat dengan benang atau bahan lain yang disesuaikan.
Sedang bagian alas kok memiliki ukuran diameter 25 mm sampai 28 mm, serta bentuk melingkar di bagian bawah. Perlu diperhatikan juga, tiap buah kok wajib memiliki berat antara 4,74 gram sampai 5,50 gram.
Di sisi lain, BWF sejatinya juga telah menyetujui penggunaan jenis kok sintetis. Meski sampai saat ini belum pernah digunakan dalam turnamen besar resmi internasional.
Bagian sayap kok yang awalnya menggunakan bulu alami bisa digantikan dengan bahan sintetis. Sementara ukuran dan diameter ujung, bagian alas, serta berat kok sintetis memiliki aturan yang sama dengan kok bulu alami.
Namun demikian, lantaran faktor berat jenis dan sifat lain dari bahan sintetis terhadap gravitasi yang kemungkinan tak bisa sama persis dengan kok bulu alami, maka kok sintetis diberikan toleransi perbedaan hingga 10 persen.
Spesifikasi kok yang digunakan dalam kejuaraan resmi ditentukan lewat persetujuan Asosiasi Badminton setempat, dengan mempertimbangkan kondisi atmosfer, ketinggian lokasi, serta iklim, yang kemungkinan bisa berpengaruh terhadap laju kok.
Pada awal 2020 BWF sebenarnya telah merencanakan penggunaan resmi kok sintetis mulai tahun 2021. Langkah ini diterapkan sebagai upaya untuk mengurangi sampah dan untuk kelestarian lingkungan.
Akan tetapi selepas penghentian turnamen dunia akibat pandemi COVID-19, follow up rencana tersebut belum terlihat kembali.
Bahkan dalam ajang turnamen presitisius seperti All England 2021 serta Olimpiade Tokyo 2020 (2021) lalu, BWF masih berpegang dengan jenis kok alami.
“Visinya adalah untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang bulu tangkis, dan menjadikan semakin berkurang ketergantungan menggunakan bulu asli untuk kok,” jelas Sekretaris Jenderal BWF Thomas Lund ketika itu, dikutip dari Antara.
Editor: Iswara N Raditya