tirto.id - Setidaknya sejak radio pada awal abad ke-20 manusia mulai giat mencari keberadaan 'makhluk luar angkasa' (ekstraterestrial). Pencarian dilakukan dengan pemantauan radiasi elektromagnetik untuk menangkap tanda-tanda transmisi dari luar bumi.
Namun, setelah sekian lama mengirim hingga mendesain alat penerima sinyal sensitif, mengapa penduduk bumi tak kunjung menerima pesan dari makhluk luar angkasa?
Pertanyaan inilah yang menjadi diskusi dalam pertemuan para ilmuwan Messaging Extraterrestrial Intelligence (METI) di Paris, Perancis pada 18 Maret 2019. Pertemuan yang dihadiri sekitar 60 ilmuwan ini membahas alien dan upaya-upaya yang telah dilakukan manusia untuk membuktikan keberadaannya.
Para ilmuwan menyodorkan hipotesis Galactic Zoo alias Kebun Binatang Galaksi yang bunyinya kira-kira begini: alien boleh jadi sedang mengamati planet bumi beserta kehidupan manusia di dalamnya.
"Mungkin makhluk luar angkasa memperhatikan manusia di bumi, seperti halnya kita sedang menyaksikan binatang di kebun binatang," kata Douglas Vakoch selaku Presiden METI dikutip dari Science Alert.
Lantas, adakah cara agar para alien penonton itu paham bahwa manusia pun penasaran dengan mereka? Vakoch mengklaim manusia harus meningkatkan upaya mengirim pesan yang mampu menjangkau si pemantau untuk menunjukkan kecerdasan manusia.
Tapi bagaimana jika kita tak bisa melihat alien karena mereka telah mengkarantina kita? Diwartakan Forbes, peneliti Institut National de la Recherche Agronomique (INRA) Jean-Pierre Rospars mengajukan hipotesis (yang terdengar seperti dongeng moral) bahwa mungkin alien mengisolasi manusia agar kedua belah pihak tak mengalami gegar budaya.
Pertemuan METI yang diselenggarakan dua tahun sekali itu diikuti ilmuwan dan peneliti dari berbagai bidang, dari astrofisika, biologi, sosiologi, psikologi, hingga sejarah. Tahun ini, mereka menyelenggarakan lokakarya dengan tema besar "What is Life? An Extraterrestrial Perspective". Berbasis di San Francisco, METI adalah sebuah organisasi riset yang fokus mencari kecerdasan ekstraterestrial (SETI).
Dalam lokakarya tersebut para ilmuwan mendiskusikan beberapa pertanyaan futuristik seperti, 1) apakah makhluk luar angkasa tetap diam karena khawatir jika kontak dengan mereka akan berdampak pada kehidupan umat manusia?; 2) Apakah kita hidup di "kebun binatang galaksi?"; 3) haruskah kita mengirim sinyal radio ke bintang-bintang terdekat untuk menunjukkan bahwa manusia ingin menjalin kontak? 4) akankah kecerdasan luar angkasa mirip dengan kecerdasan manusia?; dan 5) apakah kehidupan dari galaksi lain bisa sampai ke bumi?
Planet bumi sendiri telah berumur 4,6 miliar tahun, sementara penelitian ekstraterestrial baru berusia kurang dari 100 tahun. Dilansir dari Space, sampai 2011 ada total 2.326 kandidat planet yang telah ditemukan oleh Kepler, sebuah teleskop NASA yang berfungsi mencari eksoplanet (planet luar tata surya). Sekitar 680 kandidat sedikit lebih besar dari planet bumi, sementara 48 di antaranya dianggap calon planet dengan zona layak huni. Jumlah tersebut tentunya terus bertambah. Sampai April 2019, jumlah eksoplanet yang telah terkonfirmasi sebanyak 3.940.
"Ketika mencoba memahami alam semesta dengan lebih baik, mustahil menghindar dari pertanyaan apakah kita sendirian di semesta ini," kata Florence Raulin-Cerceau, seorang profesor associate dari Muséum national d'histoire naturelle, Paris, dikutip dari Live Science.
Bukan Gagasan Baru
Kebun Binatang Galaksi bukan barang baru di lingkaran ilmuwan. Ia pertama kali diusulkan pada tahun 1973 sebagai Hipotesis Kebun Binatang" (Zoo Hypothesis). Hipotesis ini menyatakan bumi sebagai planet yang sudah diamati oleh si penjaga kebun binatang yang sengaja bersembunyi dari manusia.
Hipotesis Kebun Binatang diperkenalkan oleh John Ball, seorang astronom dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dikutip dari Science Alert, Ball mengatakan ada kemungkinan alien cerdas di luar sana yang sekadar memantau aktivitas manusia tanpa harus mengusik layaknya orang mengamati ekosistem kebun binatang.
Pada 1950, fisikawan Amerika kelahiran Italia Enrico Fermi terlibat obrolan seru saat makan siang dengan sesama fisikawan seperti Emil Konopinski, Edward Teller, dan Herbert York.
“Di mana mereka?”, tanya Fermi kepada rekan-rekannya ketika melihat karikatur bergambar alien tengah memungut sampah di jalanan Kota New York.
Apa yang dipikirkan Fermi sederhananya begini: usia alam semesta begitu lama dan ukurannya begitu besar, di Galaksi Bima Sakti saja, bertaburan ratusan miliar bintang yang salah satunya Matahari tempat planet bumi mengorbit. Maka, selain bumi, mestinya ada planet-planet lain yang mengandung kehidupan termasuk kemungkinan adanya spesies cerdas yang mampu melakukan perjalanan luar angkasa. Jadi, di mana mereka sekarang?
Dari pertanyaan Fermi itulah muncul diskursus dalam dunia sains yang hingga kini belum terpecahkan, yaitu Paradoks Fermi. Secara definitif Paradoks Fermi adalah sebuah paradoks antara keharusan adanya suatu peradaban ekstraterestrial yang jauh lebih cerdas dari kehidupan di bumi. Namun, hingga hari ini, belum ada bukti ilmiah apapun tentang keberadaan mereka.
Dalam perjalannya, Paradoks Fermi dikembangkan oleh para fisikawan lainnya yang terbelah ke dalam dua kubu, yang pesimis dan optimis dalam memandang keberadaan makhluk luar angkasa.
Salah satu pesimisme itu muncul dalam studi bertajuk "Dissolving the Fermi Paradox" (2018, PDF). Para ilmuwan yang dipimpin oleh Anders Sandberg dari University of Oxford menyimpulkan bahwa kemungkinan 53 sampai 99,7 persen manusia hidup sendirian di Galaksi Bima Sakti, atau 39-85 persen di semesta yang lebih luas—setidaknya sejauh kemampuan manusia mengamati planet-planet luar.
Meski mengindikasikan kemungkinan manusia sendirian di alam semesta, Sandberg tetap tak menutup kemungkinan akan keberadaan makhluk cerdas luar angkasa.
"Orang dapat menjawab Paradoks Fermi dengan mengatakan kecerdasan (luar angkasa) sangat langka, tetapi kemudian harus dijawab lagi dengan amat sangat langka," ujar Sandberg kepada Universe Today. "Kemungkinan lain adalah kecerdasan tidak bertahan lama dan cuma cukup menunjukkan bahwa pernah ada suatu peradaban agar dapat terlihat," pungkasnya.
Fisikawan populer abad ke-21 Stephen Hawking percaya keberadaan makhluk cerdas luar angkasa. Namun ia pernah bilang bahwa manusia tidak seharusnya menyiarkan eksistensi dirinya kepada semesta luas. Hawking khawatir jika sinyal akhirnya ditangkap oleh alien yang berkeliaran di kosmos untuk mencari sumber daya. Ujung-ujungnya, demikian kegelisahan Hawking, si alien akan menaklukkan dan mengeksploitasi bumi.
"Hasil perjumpaan dengan peradaban maju bisa seperti penduduk asli Amerika bertemu Columbus. Tidak berjalan dengan baik," ujar Hawking pada 2010.
Setidaknya sampai saat ini belum ada yang tahu rupa dan peradaban makhluk lain di semesta yang maha luas ini. Apakah mereka lebih maju dari manusia bumi dan pernah bertandang ke bumi saat manusia primitif? Atau mereka kini masih ada di fase peradaban primitif? Apa karena tata surya kita berada di sudut semesta yang sulit ditemukan peradaban cerdas lain? Atau malah manusia hidup sendirian di tengah semesta yang maha luas.
Suatu saat, ilmu pengetahuan yang terus berkembang akan menjawabnya.
Editor: Windu Jusuf