Menuju konten utama

Pemerintah Layak Digugat soal Banjir Besar Kalimantan Selatan

Ada unsur kelalaian pemerintah dalam menghentikan deforestasi dan suburnya tambang batu bara serta perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan.

Pemerintah Layak Digugat soal Banjir Besar Kalimantan Selatan
Seroang warga melintasi banjir di Desa Sungai Raya, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (12/1/2021). Antaranews Kalsel/Bayu Pratama S.

tirto.id - Untuk pertama kalinya dalam 50 tahun terakhir, banjir besar merendam 10 Kabupaten Kota di Kalimantan Selatan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 17 Januari 2021 menyebutkan, setidaknya 24.379 rumah terendam banjir dan 39.549 warga mengungsi dan menyebabkan 15 orang meninggal.

Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke lokasi bencana menyebut banjir di Kalimantan Selatan terjadi karena tingginya curah hujan di Kalimantan Selatan selama 10 hari berturut-turut. Curah hujan tersebut tidak mampu ditampung oleh Sungai Barito sehingga mengakibatkan banjir.

"Curah hujan yang sangat tinggi hampir 10 hari berturut-turut sehingga daya tampung Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air sehingga memang meluap di 10 kabupaten dan kota," kata Jokowi.

Namun, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) punya pandangan lain perihal musabab banjir besar ini. Koordinator JATAM Merah Johansyah melihat ada unsur kelalaian pemerintah dalam menghentikan deforestasi dan suburnya tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit di tanah Borneo itu. Sebagai catatan, Kalimantan Selatan memiliki 553 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Non-CnC dan 236 IUP CnC. Oleh karena itu, menurut Merah, masyarakat bisa menggugat pemerintah.

Merah merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Semestinya sesuai dengan Pasal 71, pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penanggulangan bencana.

Meliputi kebijakan pembangunan yang bisa mengakibatkan bencana, kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana, kegiatan konservasi lingkungan, perencanaan penataan ruang, dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pemerintah juga semestinya berani mengevaluasi izin-izin tambang dan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan. Kemudian memberikan sanksi bagi korporasi sebagaimana amanah Pasal 79 dalan UU Kebencanaan; berupa pidana penjara dan denda hingga pencabutan izin usaha.

“Pemerintah bisa digugat dan disanksi karena menyebabkan bencana lewat kebijakannya menerbitkan izin tambang,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (19/1/2021).

Pendapat yang sama diutarakan Staf Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan M. Jefry Raharja. Warga yang merasa merugi akibat bencana banjir, meurt Jefri, selayaknya menggugat pemerintah.

Jefry mengimbuhkan, pemerintah sudah semestinya bertanggung jawab atas bencana ekologis ini, seperti “di hulu terkait perizinan industri ekstraktif dan di hilir soal disaster management sampai emergency response.”

“Pemerintah layak digugat. Seperti halnya bencana ekologis soal kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan yang digugat masyarakat sipil,” ujar Jefry kepada Tirto, Selasa.

Menggugat lewat Class Action

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menambahkan, masyarakat mempunyai hak menggugat pemerintah ketika pemerintah tidak menjalani kewajiban hukum atau bahkan terjadi penyalahhgunaan kewenangan.

Terkait kebencanaan dan lingkungan hidup, masyarakat bisa bersandar pada UU HAM, UU Lingkungan Hidup, KUH Perdata, dan UU Administrasi Pemerintah.

“Dalam hukum sekarang berkembang mekanisme gugatan class action misalnya, warga bisa menggugat melalui perwakilan kelompok, atau bisa melalui citizen law suit,” ujar Isnur kepada Tirto, Selasa.

Gugatan class action di Indonesia ada pada sejumlah undang-undang. Semisal UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen hingga UU Kehutanan yang terbit 1999.

Mahkamah Agung mengatur konsep class action melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 (PERMA 1/2002). Pasal 1 PERMA 1/2002 mendefinisikan gugatan class action sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

Dalam gugatan class action, penggugat harus mengalami kerugian secara langsung akibat perbuatan oleh tergugat atau pemerintah. Nantinya, berbagai kerugian itu akan dikelompokkan ke dalam kelas-kelas dan dimasukkan ke dalam berkas gugatan.

Sementara citizen law suit, penggugat tidak mesti memiliki hubungan sebab akibat dengan perbuatan pemerintah. Dengan demikian, penggugat tak bisa mengajukan ganti rugi.

Dalam menggugat, menurut Isnur, masyarakat bisa menentukan target gugatan; semisal menuntut ganti rugi atau perubahan kebijakan.

“Masyarakat perlu mempersiapkan semua yang dibutuhkan dalam prosedur hukum: gugatan, bukti-bukti, dan dalil,” ujar Isnur.

Gugatan class action pernah ditempuh tiga pengacara untuk menggugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke pengadilan pada akhir 2019. Mereka menilai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lalai dan gagal mengatasi banjir.

Kelompok masyarakat sipil pernah juga menggugat Presiden RI, Menteri LHK, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan DPRD Kalimantan Tengah; lantaran kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Pada 22 Maret 2017, hakim Pengadilan Negeri Palangkaraya menyatakan tergugat bersalah.

Baca juga artikel terkait BANJIR KALSEL atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri