tirto.id - Egy Sinaga kagum melihat para seniornya berkumpul di pintu keluar Gelanggang Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU). Kumpulan puluhan mahasiswa berjaket almamater hijau tua itu meneriaki nama jurusan mereka agar mempermudah mahasiswa baru berkumpul dan mendapat info tentang dunia perkuliahan.
Egy sendiri merasa terbantu. Jauh-jauh dari Sidikalang, Kabupaten Toba, ia datang ke USU di Medan untuk melakukan daftar ulang sebagai mahasiswa baru jurusan Ilmu Hukum. Beberapa minggu sebelumnya, ia dikabari lulus jalur undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Dalam pengumuman itu pula Egy diberitahu agar hadir pada 16 Mei 2017 di USU untuk mendaftar ulang. Ia adalah satu dari 27 siswa SMA Negeri 1 Sidikalang yang berhasil lolos jalur undangan. “Yang mendaftar jalur ini ada sekitar 120-an orang,” kata Egy.
Ilmu Hukum USU memang bukan pilihan pertamanya, tapi Egy sudah membulatkan tekad menerima jurusan itu sebagai almamaternya. Ia tak lagi mendaftarkan diri untuk ikut ujian jalur tertulis Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), yang memang diselenggarakan di hari yang sama dengan daftar ulang lulusan SNMPTN. Egy mengubur mimpinya jadi mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran.
Sedikit lebih beruntung, Lidya Desi Gultom, siswa lulusan SMA Negeri 1 Batam berhasil diterima kampus impiannya, Universitas Gadjah Mada. Desi, sapaan sehari-harinya, diterima di jurusan Teknik Industri. Dua hari sebelum tanggal 16, ia terbang dari Batam ke Daerah Istimewa Yogyakarta untuk ikut daftar ulang. Sama seperti Egy, Desi memutuskan menerima hasil SNMPTN sebagai pilihan almamaternya. Ia tak mencoba peruntungan lain dengan mengikuti SBMPTN.
Jalur SBMPTN sendiri sudah ada sejak 2011 di Indonesia. Namun, namanya masih diseragamkan dengan SNMPTN. Dahulu SBMPTN lebih dikenal sebagai jalur undangan.
Sejak itu hingga zaman Egy dan Desi masuk kuliah, peraturannya masih sama: sekolah berhak mendata siswa-siswanya yang dianggap berprestasi untuk diikutkan jalur ini. Para siswa kemudian diminta untuk melampirkan fotokopi rapornya sejak semester I hingga semester V, serta sejumlah sertifikat dan piagam penghargaan yang diraih sebagai nilai tambah.
Data ini diisi oleh sekolah ke dalam sistem bernama Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS). Kemudian, panitia pusat SNMPTN akan menyeleksi dan mengumumkannya di situsweb-nya.
Sejak 2016, kuota tentang siapa dan berapa saja siswa yang boleh didaftarkan diperketat. Sekolah dengan akreditasi A boleh mendaftarkan 75 persen siswa terbaiknya, akreditasi B 50 persen siswa terbaiknya, akreditasi C 20 persen, sementara akreditasi lainnya 10 persen saja.
Namun, tak semua orang seberuntung Egy dan Desi. Shella Rafiqah Ully, misalnya. Gadis asal Aceh ini harus gagal lulus jalur undangan dan jalur ujian tertulis SNMPTN sebelum akhirnya diterima di jurusan Sastra Cina USU lewat jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) reguler. Ia diterima sebagai mahasiswa pada tahun 2012.
Di zaman Shella, istilah seleksi masuk perguruan tinggi memang berbeda dari tahun ini. Saat itu, SNMPTN dibagi jadi dua jalur: jalur undangan dan jalur ujian tertulis. Jika tak lulus kedua jalur tersebut, calon mahasiswa masih bisa mencoba jalur lain bernama UMB reguler dan UMB Mandiri. Kedua jalur UMB ada sejak 2011 dan selalu dilaksanakan di hari yang sama. Maka, para peserta harus memilih satu jalur saja. Bedanya, UMB Reguler punya harga kuliah yang sama dengan jalur SNMPTN, sementara UMB Mandiri dibuat untuk calon mahasiswa dari kalangan menengah ke atas, sehingga biaya kuliahnya lebih mahal.
Namun, umur nama UMB tak panjang. Tahun 2013 ia dihapuskan. Sejak itu hingga sekarang, jalur undangan diganti namanya jadi SNMPTN, sementara jalur ujian tertulis disebut SBMPTN, dan UMB Mandiri diganti jadi Ujian Mandiri. Perubahan ini adalah salah satu dari perombakan besar-besaran yang terjadi pada sistem seleksi masuk perguruan tinggi di Indonesia, ketika Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disahkan.
Nama jalur seleksi yang digonta-ganti ini bukan baru sekali terjadi. Sejumlah generasi mengingat seleksi masuk perguruan tinggi ini dengan nama-nama yang berbeda.
Gonta-ganti Nama
Seleksi penerimaan masuk perguruan tinggi yang pertama kali digelar serempak di Indonesia terjadi pada 1976. Ia bernama SKALU—Sekretariat Kerja Sama Antar-Lima Universitas di pulau Jawa, yakni: Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga.
Dalam buku30 Tahun ITB: Kisah-kisah Sebuah Angkatan, cerita tentang SKALU digambarkan terang oleh Saiful Halim, salah satu alumni ITB. Ia menulis bahwa program SKALU sudah direncanakan sejak 1971 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat itu sebagai salah satu cara menyeleksi calon mahasiswa-mahasiswa bermutu. Program ini disambut baik karena memudahkan mahasiswa daerah yang ingin mencoba seleksi masuk universitas dari luar daerahnya. Seseorang yang tinggal di Yogyakarta, misalnya, tak mesti berangkat ke Bandung untuk ikut tes masuk ITB.
Namun, menurut Halim, dalam pelaksanaannya SKALU tak jauh dari kritik. Ia yang merupakan purwarupa pertama contoh seleksi masuk bersama perguruan tinggi negeri di Indonesia tentu tidak sempurna. Salah satu kritik yang diingat Halim adalah jarak waktu ujian tertulis yang terlalu lama dari waktu pengumuman kelulusan.
Hal itu menyebabkan dua hal. Pertama, kebanyakan yang lulus jalur SKALU juga lulus di seleksi masuk universitas non-SKALU. Kedua, lebih banyak lagi calon mahasiswa yang tidak lulus SKALU dan tak lulus di universitas non-SKALU karena tidak mendaftar di tempat lain selagi menunggu pengumuman SKALU.
Tapi program ini dianggap baik sehingga dikembangkan pada tahun 1979. Setelah dua kali penyelenggaraannya, SKALU berubah nama jadi SKASU—Sekretariat Kerja Sama Antar-Sepuluh Universitas. Ada lima universitas baru lain yang turut bergabung: Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Sepuluh November, dan Universitas Sumatera Utara.
UGM kemudian membuka jalur penerimaan tanpa tes bernama Perintis I. Tiga universitas lainnya mengikuti. Program Perintis ini dibuat untuk menyiasati kelemahan SKALU dalam hal waktu penyelenggaraan. Selain Perintis I, ada pula dikenal Perintis II, III, dan IV.
Pada 1983, pemerintah menggabungkan semua program Perintis dan menamainya Sipenmaru—Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penerimaan mahasiswa baru tanpa ujian disebut Penelusuran Minat dan Kemampuan alias PMDK. Nama ini juga tak berumur panjang. Pada 1989 Sipenmaru diganti nama jadi UMPTN—Ujian Masuk Perguruan Tinggi, sementara PMDK dihapuskan.
UMPTN menjadi nama seleksi bersama masuk perguruan tinggi paling lama hingga 2001, dan setelahnya UMPTN diganti nama jadi SPMB—Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru—lewat SK Mendiknas No 173/U/2001.
Tujuh tahun kemudian, pada 2008, pemerintah mengganti istilah SPMB menjadi SNMPTN—Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri—dan hanya diselenggarakan lewat jalur ujian tertulis. Istilah ini memang masih dipakai hingga sekarang. Namun, definisinya sudah berubah sejak 2011—sebagaimana digunakan pada mahasiswa 2012 seperti Shella dan mahasiswa baru seperti Egy dan Desi.
Kuliah Lebih Mahal
Bagi Shella, sistem seleksi masuk SNMPTN pada tahun 2012 jauh lebih menguntungkan calon mahasiswa seperti dia kala itu ketimbang generasi ini. Ia yang tak langsung lulus lewat jalur undangan seperti Egy dan Desi masih punya kesempatan mencoba beberapa tes lainnya untuk menembus mimpi jadi mahasiswa Strata I. Bahkan jika ia tak lulus SNMPTN, ia masih bisa mencoba jalur program diploma. Keuntungan lainnya yang dimiliki Shella sebagai mahasiswa 2012 adalah semua jalur tes itu bisa dihadapi jauh lebih tenang karena biaya kuliahnya sama.
Artinya, Shella yang lulus lewat jalur UMB Reguler tetap membayar uang semester yang sama dengan teman-temannya yang lebih dulu lulus lewat jalur SNMPTN atau undangan di jurusan yang sama. Sebagai gambaran, Shella membayar uang kuliahnya Rp1,25 juta per semester, tak berbeda dengan kawan angkatannya.
“Aku pribadi merasauntung sih, soalnya targetku kan memang masuk PTN dan waktu enggak lulus seleksi pertama, paling enggak aku masih punya dua kesempatan lagi. Intinya, zamanku walaupun tiga jalur masuk, tapi uang kuliahnya sama,” ungkap Shella.
Semenjak UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi disahkan, Shella resmi jadi salah satu mahasiswa terakhir yang menikmati kenikmatan tersebut.
Mahasiswa 2013 sudah tak diberatkan uang muka kuliah yang biasa disebut Dana Kelengkapan Akademik, sebagaimana mahasiswa sebelum-sebelumnya seperti Shella. Biaya kuliah mahasiswa 2013 dan tahun-tahun setelahnya dirangkum dalam sistem bernama Uang Kuliah Tunggal.
Dalam sistem UKT, mahasiswa memang tidak lagi membayar biaya apa pun selama perkuliahan selain uang semester, berbeda dengan mahasiswa tahun 2012 dan sebelumnya, seperti Shella. Namun, kecenderungan uang kuliah mereka jauh lebih mahal. Ini disebabkan sistem subsidi silang yang diamanahkan UU Perguruan Tinggi. Dalam pasal 74, UU tersebut memang mewajibkan perguruan tinggi negeri untuk memenuhi kuota 20 persen calon mahasiswa kurang mampu-tapi-berprestasi yang disebar di semua program studinya.
Dua puluh persen mahasiswa tersebut yang kemudian menerima subsidi silang dan hanya membayar UKT golongan paling rendah: uang semester sebesar Rp 500 ribu. Namun, kuota tersebut dianggap banyak pihak masih sangat kurang dibandingkan jumlah mahasiswa menengah ke bawah.
Hal ini membuat uang kuliah setiap mahasiswa berbeda-beda meski di satu jurusan.
Misalnya Desi yang harus membayar Rp6,5 juta per semester di kampus barunya. Harga itu didapatnya setelah mengisi formulir UKT yang mencakup kolom pendapatan dan kekayaan orang tua yang wajib diisi calon mahasiswa generasi ini. Yulien Lovenny Ester Gultom, kakak Desi adalah salah satu mahasiswa 2013 pertama yang terkena imbas UKT malah harus membayar Rp3,25 juta per semester di jurusan Kesehatan Masyarakat USU.
Meski punya jurusan berbeda, baik Desi dan Yulien tentu saja mengisi UKT dengan nilai serupa. Sementara Egy masih belum tahu jumlah UKT-nya, sebab ia masih belum mengisi.
Menurut Yulien, sistem penerimaan mahasiswa baru yang sekarang punya kelemahan yang besar, yaitu sistem perhitungan UKT yang tidak transparan.
“Kita enggak tahu hitung-hitungannya, tiba-tiba kita dikasih tahu harus bayar kuliah segini,” ungkap Yulien. Meski di kampusnya tersedia layanan pengaduan bagi mahasiswa yang keberatan dengan nominal UKT-nya, tapi tetap saja sistem tersebut menurutnya punya potensi membuat bangku kuliah jadi komoditas. Kuota 20 persen itu punya kemungkinan diisi oleh orang-orang yang dekat dengan panitia penyelenggara.
Belum lagi, sistem tersebut punya kesempatan mendiskriminasi orang-orang miskin yang tidak terlalu berprestasi akademik untuk bisa berkuliah. Padahal, prestasi yang kurang baik juga berkaitan dengan kemiskinan. Jika tak ada tindakan afirmatif, agak sulit membuat orang-orang di kelas bawah untuk bisa memperbaiki taraf hidupnya.
“Aku pernah ketemu kawan yang akhirnya memilih bekerja jadi penjaga konter handphone, karena enggak sanggup lihat harga UKT-nya,” Yulien memberi contoh bagaimana biaya UKT bisa membuat calon mahasiswa mundur teratur.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani