tirto.id - Umumnya bagi orang Indonesia, Ramadan adalah bulan kegembiraan dan kenikmatan, bahkan euforia. Unsur-unsur yang membuat ibadah puasa terkesan memberatkan tampaknya tidak berlaku bagi orang Indonesia. Lelahnya menjalani puasa kalah oleh kegembiraan "festival" yang menyertai ibadah di bulan suci ini.
Andre Moller dalam Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2005) mengatakan bahwa bagi orang Jawa, bulan puasa sama dengan merayakan ibadah sekaligus menyelebrasikan kegembiraan. Orang Jawa bisa beribadah sekaligus bergembira di saat yang bersamaan (hlm. 8).
Dalam bahasa Moeller, Ramadan adalah bulan jihad dan kenikmatan. Ramadan barangkali tak ubahnya festival itu sendiri. Pelbagai macam perayaan dilakukan bukan saja untuk mengisinya, namun juga menyambut dan melepaskan kepergiannya.
Orang Indonesia sudah sibuk sejak menjelang masuk bulan Ramadan. Di kampung-kampung pelosok Jawa, misalnya, diadakan tradisi megengan untuk menandai masuknya bulan suci ini. Megengan dilakukan dengan cara bersama-sama berdoa di musala, di masjid atau juga saling berkunjung ke rumah tetangga dengan santapan utama sega berkat.
Suasana tenang tengah malam segera riuh menjelang sepertiga malam. Segerombolan anak-anak keliling kampung membawa alat musik seadanya mendendangkan kegembiraan. Mereka bernyanyi membangunkan warga untuk segera bersantap sahur. Berisik, namun gembira.
Aneka kuliner dan masakan aneh-aneh menjamur di bulan yang oleh para ulama disebut sebagai bulan penuh ampunan ini. Jajanan dan masakan bermunculan di saat-saat menjelang buka puasa.
Malam pun demikian. Malam yang benar-benar hidup dan bising. Toa masjid mendengungkan suara ayat suci yang dilantunkan sahut-sahutan. Mereka berlomba mengumpulkan pundi-pundi ganjaran. Kondisi menyelebrasikan kegembiraan ini puncaknya ada di malam perayaan hari raya Idul Fitri. Gema takbir berkumandang di segala penjuru langit. Saling sahut menyahut. Saling tumpang tindih. Ingar bingar.
Hindari Euforia Berlebihan
Terkait fenomena semarak Ramadan, utamanya tentang riuhnya gema takbir di malam Idul Fitri, Kiai Maimoen Zubair sekali kesempatan menyatakan bahwa yang demikian itu merupakan salah satu pertanda akhir zaman. Zaman sudah benar-benar akhir ketika semarak takbir melebihi keriuhan lalu-lalang orang menyerahkan zakat fitrah.
Kritik Kiai Maimoen ini menyiratkan bahwa esensi zakat fitrah yang berdimensi sosial dan bersifat wajib jauh lebih layak untuk digaungkan ketimbang sekadar takbir keliling yang notebene hanya bersifat sunah.
Mengapa keriuhan untuk mengeluarkan zakat fitrah dianjurkan di malam hari raya?
Sebab Islam ingin memastikan tidak ada satu pun umat yang tidak bisa makan di hari yang diharamkan untuk puasa. Idul Fitri adalah hari untuk merayakan kemenangan. Tidak ada yang diperbolehkan berpuasa. “Kita hari ini kebalik-balik. Takbiran ramai tapi zakat fitrah di malam lebaran sepi. Wajibnya mengeluarkan zakat fitrah di malam lebaran sampai munculnya matahari tanggal 1 Syawal,” demikian Kiai Maimoen berujar.
Kondisi ini, dalam pandangan Kiai Maimoen, membuat keberkahan Ramadan menguap. Euforia dan semangat perayaan kemenangannya sudah benar, namun medium yang digunakan keliru. Seharusnya selebrasi kemenangan dilakukan dengan ramai-ramai mengeluarkan zakat fitrah di malam hari raya.
Agar Tak Ada Umat yang Kelaparan
Hal serupa jauh-jauh hari juga diperingatkan oleh K.H. Hasyim Asy'ari dalam majalah Soeara Moeslimin Indonesia (Edisi Lebaran No. 18 Tahoen II, 27 Ramadhan 1363/15 September 1944). Di Majalah yang diterbitkan oleh Majlis Sjoero Moeslimin Indonesia itu, Kiai Hasyim menulis seruan bertajuk “Keterangan Ketua Besar Masjoemi Paduka Toean Hasjim As’jari tentang Zakat Fitrah”.
Dalam salah satu pesannya yang berjumlah enam butir ditambah risalah keutamaan zakat fitrah tersebut, Kiai Hasyim mewanti-wanti bahwa keutamaan zakat fitrah adalah sebagai upaya untuk mencegah adanya umat yang lapar di hari kemenangan. Kiai Hasyim menulis: "[Zakat fitrah] untuk meratakan pokok makanan pada itu Hari Raya buat semua orang supaya sama dapat merasakan gembiranya orang berhari raya."
Dari sini bisa dimengerti mengapa beberapa orang berpendapat bahwa istilah "idul fitri" itu artinya hari raya iftar (berbuka). Pendapat ini yang teguh dipegangi oleh almarhum K.H. Mustofa Ali Ya’qub. Dengan tegas pakar hadis yang semasa hidup pernah menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal ini mengatakan bahwa idul fitri itu hari raya makan siang tahunannya umat Islam. Pendapat ini ditujukan untuk menampik pemaknaan idul fitri sebagai hari haya kembali ke fitrah atau kesucian yang selama ini populer beredar di masyarakat.
Di hari itu, kita dilarang berpuasa. Itulah mengapa malam akhir Ramadan menjelang masuk hari raya dijadikan sebagai waktu yang sangat dianjurkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Tujuannya, sebagaimana dikatakan Kiai Hasyim Asy'ari, agar tidak satu pun umat Islam merasa lapar dan tidak bisa makan di hari yang berbahagia itu.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Ivan Aulia Ahsan