tirto.id - Utsman bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga pada 644 M, setelah Khalifah Umar dibunuh seorang budak Persia yang iri kepada pemimpin kharismatik itu. Menjelang kematiannya, Umar menunjuk majelis berisi enam pemimpin yang dihormati masyarakat Madinah untuk memilih penerus dari mereka sendiri. Mereka memilih Utsman, salah seorang pengikut Nabi Muhammad paling awal.
Berbeda dari Abu Bakar dan Umar, Utsman berasal dari klan Umayyah di Mekkah. Utsman sangat kaya dan berkuasa sebelum menjadi Muslim. Tidak diragukan lagi, melihat keberhasilan kebijakan Umar, Utsman berjanji mengikuti langkah pendahulunya dan menegakkan praktik yang sama dengan khalifah sebelumnya.
Latar belakang Utsman dari keluarga bangsawan berperan besar dalam keputusan-keputusannya sebagai khalifah. Keluarga Umayyah cukup berpengalaman ihwal tata negara sebelum datangnya Islam, dan Utsman mengandalkan pengalaman itu dalam keputusan pribadinya. Mu’awiyah, sepupunya, sudah menjadi Gubernur Suriah dan bekerja sangat baik dalam menjadikan wilayah perbatasan menjadi tulang punggung negara Islam.
Ekspansi hingga Persia
Tayeb El-Hibri meneroka dalam karyanya, Parable and Politics in Early Islamic History: The Rashidun Caliphs (2010), bahwa Utsman melanjutkannya dengan menunjuk saudara sepersusuannya, Abdullah bin Sa’ad, sebagai Gubernur Mesir. Utsman berharap keturunan Umayyah akan bekerja dengan baik di Mesir, seperti halnya di Suriah. Sepupunya yang lain dia tunjuk di Irak, tempat mereka memimpin serangan ke tanah Persia pada 23 Ramadan 31 Hijriah, dan lambat laun berhasil menguasai seluruh Kekaisaran Sasanid. Dengan demikian, berakhir sudah Kekaisaran Sasanid (hlm. 124).
Melanjutkan langkah politik dan penekanan pada jalan militeristik, Utsman memerintahkan pembangunan armada angkatan laut pertama dalam sejarah Islam. Tujuannya menggagalkan setiap serangan balik Byzantium. Gubernur Suriah dan Mesir sangat bergantung pada keterampilan orang Kristen lokal dalam membangun kapal laut.
Orang Kristen yang sebelumnya berada di bawah kedaulatan Kerajaan Byzantium menunjukkan semangat besar dalam pekerjaannya bagi pemerintahan baru Arab, terutama mengingat banyak di antara mereka beragama Kristen Koptik dan sekte Kristen lain yang tak diakui Byzantium. Kesediaan Muslim memperlakukan mereka dengan lebih baik ketimbang Byzantium berperan besar pada kesetiaan mereka terhadap khalifah.
Hasilnya berupa masyarakat yang damai dan aman dari ancaman luar. Contohnya, saat serombongan armada Byzantium mencoba menguasai kembali Alexandria pada 646 M, tetapi digagalkan para pelaut Kristen yang bekerja kepada Khalifah Utsman. Selain mempertahankan perbatasan, kekhalifahan Islam juga mampu memperluas pengaruhnya ke Laut Tengah, dengan merebut Siprus dan Kreta, serta menyerang hingga ke Sisilia (hlm. 130).
Menurut Fu’ad Jabali dalam Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana? (2010), keberhasilan ekspansi militer juga terus berlanjut ke daratan, saat Mu’awiyah memimpin pasukan Suriah yang kuat untuk masuk ke Armenia melawan kekuasaan Byzantium. Daerah pegunungan Anatolia, yang isinya sebagian besar penduduk Yunani, menjadi batas alam antara masyarakat Byzantium dan Muslim, terbentuk di sekitar batas modern Turki dan Suriah.
Lebih jauh ke timur, pasukan Muslim terus memaksa masuk ke jantung Persia, di bawah pimpinan saudara Utsman yang lain, Abdullah bin Aamir. Penaklukan sisa kerajaan Sasanid tak secepat penaklukan Irak. Di sana, masyarakat lebih homogen dan lebih berkelindan dengan pemerintahan Sasanid. Akibatnya, perang itu memakan korban yang lebih banyak dari pasukan Muslim (hlm. 149-50).
Akan tetapi, kesempurnaan kemenangan Muslim di Qadisiyya dalam masa kekhalifahan Umar, pada dasarnya telah mengakhiri nasib Kerajaan Sassanid. Hanya masalah waktu untuk meremukkan seluruh kerajaan. Kaisar Sassanid, Yazdegerd, tidak pernah berhasil mengganti pasukannya yang habis pada 642 M. Dan, selama lebih dari sepuluh tahun berikutnya, Sassanid terus berusaha bertahan.
Pada 650 Masehi, dataran tinggi Iran dikuasai dan setahun kemudian Khurasan pun diokupasi. Pada tahun yang sama, Raja Sassanid terakhir ditemukan dalam pelarian dan dihukum mati. Selama satu dekade, pasukan Muslim telah maju dari Irak ke Sungai Oxus, dan mencapai pinggiran Asia Tengah (hlm. 154).
Bagi Utsman, memimpin ekspansi militer yang cerkas seperti Umar tak serta-mesta menghasilkan popularitas yang sama dengan khalifah kedua itu. Kekacauan memburuk saat ketidakpuasan atas kebijakan pemerintahannya mulai muncul, terutama akibat penunjukan saudara-saudara Umayyah-nya. Bersamaan dengan itu, lambatnya penaklukan (dibandingkan ekspansi cepat Umar) menyebabkan sedikitnya barang pampasan perang yang dikirim ke Madinah, sehingga ekonomi mandek.
Sang Khalfah Terbunuh
Popularitas Utsman tentu saja tidak setinggi dua pendahulunya, tetapi terlalu berlebihan bila kita asumsikan bahwa sedang terjadi revolusi massif untuk menurunkannya dari tampuk kekuasaan. Malahan, sekelompok kecil pasukanlah yang akan menimbulkan perubahan penuh kekerasan dan halai-balai pada pemerintahan Madinah.
Menurut Farag Fouda dalam Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (2008), pada 656, sekelompok tentara datang dari Mesir ke Madinah untuk memprotes langsung khalifah berkaitan dengan kebijakannya dan pembagian pampasan antara pasukan dan pemerintahan sipil di Mesir. Utsman mendengarkan perselisihan itu dari dua sisi, dan berjanji mengambil langkah-langkah penyelesaian masalah secara adil.
Dalam perjalanan pulang ke Mesir, para tentara itu mencegat surat yang “diduga” ditulis khalifah untuk Gubernur Mesir yang memerintahkan hukuman mati bagi mereka. Maka, mereka kembali ke Madinah dan mengepung Utsman di rumahnya sendiri. Meskipun menghadapi bahaya kematian, Utsman menolak memerintahkan penduduk Madinah mempersenjatai diri dan melawan pemberontak (hlm. 31).
Utsman bahkan mencegah sepupunya, Mu’awiyah, mengirim pasukan dari Suriah untuk melindungi dirinya, agar tidak terjadi pertumpahan darah di kota Nabi. Banyak sahabat Nabi yang menentang pemberontakan ini, tetapi mereka tak berdaya menghentikannya.
Hukum perang berlaku di Madinah dan penduduknya hanya bisa tercekam ketakutan menyaksikan para pemberontak memaksa masuk ke rumah khalifah. Mereka akhirnya membunuh Utsman, tatkala sang khalifah yang menua dan ringkih itu sedang duduk membaca Alquran.
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan