tirto.id - Dengan konvoi gerobak yang ditarik sapi, diikuti ternak dan anjing peliharaan, mereka berpindah dengan riang. Dari India Utara, orang-orang Romani menyusuri Asia Barat, Eropa Timur, hingga tiba di Spanyol.
Para perempuan Romani biasa melakukan kerja-kerja pandai besi seperti halnya para lelaki. Bedanya, mereka melakukannya sambil memangku anak. Menjelang upacara penting, mereka berdandan, menyisir dan mengepang rambut panjang hitamnya, serta mengenakan banyak perhiasan. Diiringi tabla dan sitar, suku Romani bernyanyi dan menari.
Sejak meninggalkan subkontinten India, orang luar menyebut mereka dengan sejumlah nama, mulai dari Gitan, Tzigane, Bohemian, dan akhirnya Gipsi (gara-gara orang Eropa mengira mereka datang dari Mesir).
Di bagian Bumi lain, kuda menggantikan tugas sapi menarik karavan. Seiring tempat mereka singgah, musik mereka pun perlahan berubah. Cengkok khas India terdengar bertahan melintasi batas negara kini ketambahan akordeon, biola, gitar akustik, dan ritme yang kian intens. Orang-orang Romani menyerap kebudayaan di mana merea melintas, memasukkan unsur-unsur Balkan hingga Spanyol, menjadi musik Romani hari ini.
Tanpa banyak porsi untuk narator, dialog, dan wawancara, dokumenter Latcho Drom (Safe Journey) memampatkan diaspora kaum Romani dengan mantap. Dalam dokumenter yang ditulis dan disutradarai oleh Tony Gatlif—seorang sutradara Romani—ini, kita juga bisa melihat proses transformasi sebuah musik tradisi.
Bahkan, dokumenter yang dirilis pada 1993 itu tak berhenti sampai di situ. Kehidupan kaum pengembara itu tentu tak tercermin tatkala kita memandang Charlie Chaplin, Robert Plant, atau bahkan Andrea Pirlo—sederet figur sukses nan populer yang memiliki darah Romani.
"Seluruh dunia membenci kita. Kita dikejar, kita dikutuk, dihukum untuk berkelana sepanjang hidup," nyanyi sepasang ibu dan anak di kereta. Di lain waktu, beberapa perempuan menyanyikan dengan lantang, sebuah lagu tentang Holocaust, "Dari Hitler sampai Franco, kami menjadi korban dari perang mereka," seiring musik yang kini kental terpengaruh flamenco.
"Salah satu problem terbesar yang kami—komunitas Gipsi Romani dan Travellers—hadapi adalah bahwa kami jarang terlihat di TV, film, dan teater. Ketika kami ditampilkan, itu sering kali adalah representasi yang sangat membingungkan, di mana penulis dan bagian produksi mencampuradukkan kelompok Travellers yang berbeda-beda. Seolah mereka dapat ditukarkan satu sama lain—seorang Gipsi Romani dengan aksen Irish Traveller atau sebaliknya," keluh storyteller, pengarang, dan dramawan berdarah Romani Richard O'Neill.
Cara singkat untuk mendeskripsikannya: Romani merupakan salah satu suku terbesar di bawah payung Travellers (kaum pengembara di Britania, Irlandia, dan daratan Eropa). O'Neill lantas menunjuk film seperti Snatch atau beberapa program TV soal pernikahan mewah kaum Gipsi yang menurut dia justru menampilkan representasi negatif kaum Travellers.
Feature film sebagai salah satu bentuk media hiburan tentu tak bisa sepenuhnya dijadikan patokan tunggal soal kehidupan suatu kaum, tapi darinya kita bisa juga mendapatkan gambaran umum. Seseorang bisa saja selamanya mengira seluruh Travellers berbicara seperti Brad Pitt dalam Snatch.
Orang Romani Di Layar Lebar Abad ke-20
Kaum Romani dan kaum Travellers lain telah menghadapi diskriminasi nyaris sepanjang sejarah eksistensinya, nyaris di mana pun mereka singgah. Dengan lazimnya diaspora di negara-negara berbahasa resmi Inggris, lumrah untuk menemukan kaum Romani dan Travellers sebagai subjek ataupun tempelan latar dalam film.
Sejak awal abad ke-20, The Hunchback of Notre Dame (1911) telah menampilkan karakter seorang gadis Gipsi bernama Esmeralda. Sementara itu, laman British Film Institute mencatat I even Met Happy Gypsies (1967) sebagai salah satu film berbahasa Romani pertama yang dirilis secara global. Adapun salah satu film paling dikenal soal penggambaran orang Romani dirilis setahun sebelumnya.
Jika kau tertarik menelusuri film-film yang menampilkan representasi kaum Romani dan Travellers, berikut beberapa yang bisa kau tengok.
Sky West and Crooked (1966)
Dirilis dengan judulGypsy Girl di Amerika, Sky West and Crooked disutradarai oleh John Mills dan dibintangi anaknya sendiri Hayley Mills (sebagai Brydie White) dan Ian McShane (sebagai pemuda Gipsi Roibin Kresinki).
Brydie adalah seorang perempuan remaja pembuat onar di desa. Dia memotori anak-anak untuk menguburkan hewan di halaman gereja selayaknya manusia—diberi nisan salib dan ditulisi penyebab kematiannya. Kita bisa membayangkan bahwa dia, seperti halnya kaum pengembara, dinilai tak cocok untuk hidup menetap di desanya.
Sementara itu, kaum Romani digambarkan tengah tinggal sementara di sebuah tanah kosong danberaktifitas di sekitar karavan-karavan mereka yang dipenuh ukiran cantik. Film ini juga memuat aspek-aspek sosial zaman itu, seperti anak perempuan yang sudah harus menikah pada umur 17 tahun dan tentunya prasangka terhadap kaum pengembara (disebut Gyppos) yang ditanamkan pada anak-anak setempat.
Plotnya memang membutuhkan skenario penyelamatan nyawa yang dramatis demi mengesankan Gipsi sebagai manusia. Kendati tak menghadirkan aktor berdarah Romani untuk pemerannya, Sky West and Crooked bisa dibilang progresif dalam memotret relasi antara warga tempatan dan suku pengembara pada masanya.
Time of the Gypsies (1988)
Sejak empat dekade lalu, Emir Kusturica disebut-sebut sebagai filmmaker Eropa yang memiliki gaya khas realisme magis dan perhatian pada orang-orang terpinggirkan. Maka wajar Time of the Gypsies bikinannya memadukan kisah dan penggambaran yang natural sekaligus sureal. Berbahasa Romani, Serbo-Croatian, dan Italia, film ini melibatkan elemen-elemen tak lazim seraya menghadirkan juga realitas pahit orang-orang Romani di Balkan dan Italia.
Kusturica menghadirkan karakter seperti Perhan, remaja Gipsi miskin penggemar Richard Gere yang kebelet kawin dan mampu berkomunikasi dengan kalkun. Dia juga menampilkan karakter gelap dalam diri Ahmed, seorang "Seikh Gipsi" yang mempekerjakan anak-anak dan penyandang difabel sebagai pengemis serta perempuan sebagai pelacur.
Di samping sarat akan nyanyian dan pernikahan mewah dengan mahar yang tinggi, Time of the Gypsies jugamenampilkan eksotisme kaum Gipsi yang lekat dengan hal-hal ajaib, seperti kemampuan menyembuhkan hingga telekinesis. Di lain sisi, ia menyoroti mereka yang hidup seadanya di kawasan kumuh—tinggal di gubuk yang bisa tercerabut dinding dan atapnya hanya dengan ditarik mobil—dan perdagangan manusia yang rentan terjadi pada kelompok terpinggirkan seperti kaum Romani.
Snatch (2000)
Selain kaum Romani, grup pengembara lain yang kerap disebut Gipsi adalah Irish Travellers—etnis yang sesungguhnya memiliki akar Irlandia, alih-alih Romani.
Di Inggris, Guy Ritchie baru saja melenggang penuh sukses berkat debut filmnya yang memukau, Lock, Stock and Two Smoking Barrels (1998). Dalam film keduanya Snatch (2000), dia memberi panggung untuk salah satu kelompok pengembara Irish Travellers yang juga kerap disebut Pikeydengan nada merendahkan.
Karakter Travellers di sini digambarkan berbicara dengan dialek yang sulit dipahami orang-orang Inggris. Mereka hadir dalam cerita, baik demi unsur drama maupun poin-poin lelucon, sekaligus memotret kerentanan mereka. Karakter Mickey O'Neill (Brad Pitt), misalnya, sama sekali sulit dipahami perkataannya. Dan sebagai petinju, dia dititahkan harus mengalah pada waktu atau ronde tertentu demi bisnis.
Snatch bisa dibilang salah satu film terpopuler yang menampilkan kaum Travellers, kendati penggambarannya tak bisa dibilang positif. Ia mengangkat stereotip lain kaum pengembara yang penuh kekerasan, vulgar, dan suka bertinju—kelak dihadirkan juga dalam dokumenter berjudul Knuckle (2011).
Chocolat (2000)
Film garapan sutradara Lasse Hallström ini meraih banyak pengakuan, termasuk ganjaran beberapa nominasi di Academy Awards. Selain Gipsi, Chocolat yang diangkat dari novel berjudul sama karya Joanne Harris ini sebetulnya juga menyoroti Traveller atau suku nomaden lain.
Vianne Rocher (Juliette Binoche) adalah seorang janda beranak satu, ateis, berpakaian lebih modis ketimbang warga sekitar. Perempuan berdarah suku Maya ini hidup berpindah seiring berembusnya angin utara. Baginya, menetap berarti memikirkan bagaimana pandangan sekaligus ekspektasi orang terhadapmu sebagai anggota masyarakat. Di suatu desa persinggahannya, dia bertemu kaum Gipsi yang kurang lebih berbagi nasib yang sama.
Dalam pahit manisnya, Chocolat menyoroti perempuan yang berdaya sekaligus pandangan orang-orang Eropa saat itu terhadap kaum pendatang seperti Gipsi. Mereka ditolak warga dengan stempel “amoral”, bahkan dianggap hewan.
Chocolat menghadirkan Gipsi dalam sebutan “river rats” yang merujuk pada cara mereka berpindah melalui jalur air. Representasi ini sebetulnya cukup membingungkan lantaran Roux (Johnny Depp), salah satu orang Romani itu, berbicara dengan aksen Irlandia.
Adapun karakter Roux sedikit banyak mengingatkan kita pada karakter yang dimainkan Ian McShane dalam Sky West and Crooked—sosok laki-laki Gipsi berkarakter petualang yang memikat perempuan berjiwa bebas.
Kendati membawa kisah berbeda, film-film itu setidaknya punya satu kesamaan: magis yang lekat dengan orang-orang Romani dan Travellers. Orang-orang yang terkesan brutal sekaligus eksotis di saat yang sama. Sebuah representasi yang tak sepenuhnya akurat tentu saja. Mudah pula kita mendapati absennya aktor-aktor Romani dalam film-film populer.
Terlepas dari kekurangan tersebut, film-film itu sebenarnya juga menampilkan realitas sampai tahap tertentu. Memberi harapan bahwa para sineas bakal menampilkan penggambaran dan representasi kaum Romani dan Travellers yang lebih tepat dan positif di masa depan, tepatnya di abad ke-21 yang sedang kita lalui.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi