tirto.id - Mantan Direktur Utama (Dirut) Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya mengatakan harga per keping e-KTP senilai Rp16 ribu. Harga itu juga telah disepakati panitia e-KTP, karena sudah sesuai dengan harga di pasaran. Hal itu disampaikannya saat menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Abdul Basir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat pada Kamis, (04/05/2017).
"Pak Isnu pada persidangan lalu. Di persidangan lalu anak buah Anda mantan Direktur Produksi PNRI Yuniarto menyebut sebenarnya harga perkeping e-KTP itu seharga Rp 9 ribu per keping tapi di kontrak kenapa Rp 16 ribu?," tanya Abdul Basir.
Isnu menjawab bahwa peraturan tersebut ada dalam kontrak kerja. Namun demikian, Isnu enggan menerangkan kontrak kerja tersebut karena bukan kapasitasnya selaku pemenang lelang konsorsium. "Kalau itu sudah ada di kontrak kerja Pak. Jadi yang tahu pasti Pak Andi Agustinus (Andi Narogong), atau Pak Irman atau Pak Giharto," jelas Isnu.
JPU kembali bertanya kepada Isnu terkait dengan asal muasal penetapan harga e-KTP senilai Rp16 ribu itu. "Lalu Anda tahu Pak kenapa harus Rp16 ribu. Bagaimana ceritanya versi Bapak?," tanya JPU Abdul Basir.
Awalnya Isnu mengaku tidak mengetahui kronologi penetapan harga itu. Namun, setelah dipancing JPU KPK terkait dengan adanya dugaan mark up harga Rp7 ribu rupiah setiap kepingnya. Isnu pun menjawab.
"Apa mark up itu dimakan," tanya JPU.
"Kami bekerja keras. Perhitungan harga itu secara garis besar akan di bagi dua. Pertama harga blangko dan personalisasi. Harga blangko itu harga jual Rp12 ribu. Personalisasi dan distribusi Rp4 ribu. Dengan perhitungan yang matang dari pembelian material," tegas Isnu.
Isnu juga menjelaskan alasan keterlambatan pengerjaan proyek e-KTP. Ia mengatakan bahwa rusaknya mesin AFIS (mesin pembaca sidik jari) yang disediakan dan Down Payment (DP) menjadi penyebabnya. Faktor lainnya adalah bahan-bahan yang diperoleh untuk membuat e-KTP masih berbentuk mentah. Sehingga, membutuhkan waktu untuk memproses menjadi bahan jadi.
"Jadi banyak hal mengapa sempat terlambat. Jadi bahan-bahan itu bukan berbentuk KTP. Masih berbentuk bahan baku. Butuh proses yang ujung-ujungnya membutuhkan alat-alat tambahan. Yang alat-alatnya tidak sederhana. Cukup presisi dan cukup mahal," tutur Isnu.
Menanggapi kesaksian Isnu, pengacara dua terdakwa, Irman dan Sugiharto, Soesilo Aribowo sempat menyinggung soal keuntungan yang didapatkan perusahaan Isnu.
"Mohon izin Pak Jaksa saya mau tanya soal keuntungan yang didapatkan PNRI dalam e-KTP. Dari tadi Anda [Isnu] menjawab tidak mendapatkan fee. Saya rasa tidak ada proyek yang tidak dapatkan fee. Coba jelaskan berapa besar kisaran keuntungan yang didapatkan perusahaan Anda?," tanya Soesilo Aribowo.
"Ya saya dengar sebanyak Rp107 miliar. Itu dari informasi yang saya dengar Pak. Karena saat fee itu cair saya sudah tidak menjabat sebagai Dirut lagi hingga proyek e-KTP selesai," kata Isnu.
Soesilo kembali bertanya lagi. "Anda yakin tidak pernah mengetahui laporan fee yang sudah Anda perjuangkan. Apa anda tidak meminta bagian," tanya Soesilo.
Isnu kembali meyakinkan JPU dan Majelis Hakim bahwa dia tidak pernah melihat laporan itu. "Bagaimana saya bisa minta bagian Pak. Kami saja tidak pernah melihat laporan itu. Tapi yang kami dengar itu sekitar Rp107 miliar. Mungkin bisa Bapak konfirmasi sendiri tanya ke Perum PNRI," kata Isnu.
Soesilo kembali bertanya kepada Isnu mengenai modal awal yang dikeluarkan PNRI. "Pak Isnu saya mau tahu berapa besarnya modal awal yang Anda keluarkan dalam proyek ini. Sampai bisa mendapatkan untung Rp107 miliar," tanya Soesilo lagi.
Isnu mengaku bahwa keuntungan PNRI sebanyak 6,7 persen dari modal awal yang dikeluarkan. Sayangnya dia tidak bisa memberikan hitungan pasti berapa besarnya modal awal yang digelontorkan perusahannya itu. "Keuntungan perusahaan kami 6,7 persen dari modal awal. Itu lazim dari bisnis. Tapi pastinya maaf Pak itu sudah lama sekali. Saya lupa," tegas Isnu.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto