tirto.id - Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik pertumbuhan ekonomi Papua yang tercatat mengalami kontraksi atau minus selama tahun 2019 lalu.
Faisal menilai angka menurunnya perekonomian Papua sebesar 15,72 persen itu lantaran pemerintah tak melakukan apa-apa terkait turunnya produksi Freeport.
Padahal anjloknya performa itu disebabkan karena pemerintah mengambil alih kepemilikan saham mayoritas Freeport.
“Tak ada kompensasi atau antisipasi sama sekali untuk meredam dampak dari tindakan ‘heroik’ pemerintah yang hanya fokus pada aksi korporasi lewat holding induk BUMN tambang PT Inalum,” ucap Faisal dalam websitenya dikutip Selasa (11/2/2020).
Faisal menilai proses pengambilalihan itu telah menyebabkan PT Inalum harus berutang 4 miliar dolar AS atau setara Rp58 triliun jika kurs Rp14.500 per dolar AS. Jika dibagikan secara merata ke masyarakat Papua, maka kata Faisal per orang bisa memperoleh setara Rp17,5 juta.
Menurut Faisal uang sebanyak itu sebenarnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih produktif. Ia pun berkata, “Jika dana sebesar itu digunakan untuk mengembangkan proyek-proyek baru di berbagai bidang, ceritanya bakal lain sama sekali.”
Kritik Faisal ini juga terkait dengan anggapannya bahwa Presiden Joko Widodo gagal membangun pemerataan di Indonesia.
Ia mencontohkan peran Jawa dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai RPJMN 2015-2019 terus naik di angka 59 persen melampaui target 55,1 persen, Papua dan Maluku malah turun. Nilainya hanya 2,2 persen padahal ditargetkan meningkat di kisaran 2,9 persen di 2019.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana